Alexa
Satu minggu sebelum berangkat ke Sydney, kami syuting di Lembang. Pengambilan scene saat aku menjadi relawan penyemangat penderita kanker otak.
Pertemuan pertamaku dengan Ken yang diperankan Juna dimulai di situ.
Lima hari syuting di sini dan akan kembali delapan belas hari kemudian. Pengambilan gambar tidak harus runut, tergantung kepentingan. Seperti kami yang minggu depan bertolak ke Sydney untuk syuting ending. Sebab Opera House dan kelabu Harbour Bridge di musim dingin menjadi tujuan.
Mustahil menunggu Juni tahun depan sebab Film Sunshine direncanakan tayang akhir Desember tahun ini.
"Cut. Bungkus." Bustomi mengacungkan tangan. Tersenyum sangat lebar demi scene tiga yang memuaskan. Aku sendiri mengembus lega. Kemistriku dan Juna terjalin sangat baik. Bahkan meski tidak bertatapan langsung, saat Juna menatapku dari kejauhan, aku merinding. Seolah tatapan inten itu berlangsung di hadapan.
Sejak bertemu kembali tiga hari lalu, aku dan Juna belum bercakap banyak kecuali di depan kamera.
Ada perubahan yang terasa ganjil. Meski status kami pacar pura-pura, tetapi bila di depan orang, Juna akan berlaku manis. Seperti saat reading minggu lalu, Juna terus menempel. Memilih bangku di sebelahku. Terkadang merangkul atau menyampirkan dagu di bahuku. Meski risi namun kubiarkan.
Tetapi sejak tiga hari lalu, Juna berbeda. Seharusnya itu baik. Anehnya, hatiku protes.
Ah, stres memikirkan Arya membuatku sensitif. Dicueki Juna beberapa hari saja sangat terasa.
"Lex, kamu dan Juna bertengkar?" tanya Olivia lantang.
Dua juru rias yang sedang merapikan gulungan rambut dan wajah Olivia menyeret langkah cepat mengikuti Olivia yang tergesa ke arahku.
Aku bingung harus jawab apa. Belum ada diskusi antara aku dan Juna bila ada yang mencurigai kami. Jadi aku hanya tersenyum misterius.
Sementara, biarlah Olivia menduga-duga.
"Kusarankan jangan lepas dia. Juna itu sedang jadi buah bibir. Banyak talent RR yang iri padamu," bisik Olivia sambil terkikik.
Aku pura-pura tertawa. Bagaimanapun berdasar kesepakatan, aku dan Juna masih bersama.
"Hei, kalian sedang apa?"
Aku terkejut ketika tiba-tiba sebuah tangan melingkari bahuku dan suara khas Juna menyapu pendengaran.
Olivia menyipit. Telunjuknya digoyangkan kanan kiri seraya menelisik.
"Kalian tidak sedang pura-pura akur, kan?"
Juna menolehkan kepala nyaris menyentuh pipiku.
Aku merinding.
"Memangnya kita bertengkar, Ay?"
Aku menggeleng kaku. Pasalnya aku tidak berani menoleh sebab akan mengenai bagian wajah Juna. Aku juga tidak berani bersuara khawatir intonasi gugupku tertangkap telinga mereka.
"Nah, gitu dong. Jangan kasih kesempatan perempuan sepertiku berharap yang tidak-tidak." Usai berkata Olivia melenggang begitu saja. Menyisakan teka teki di hatiku dan mungkin juga Juna. Sebab setelah itu dia berbisik lirih di telingaku.
"Jangan hiraukan ucapannya."
Aku refleks menoleh dan nyaris menyenggol pipi Juna yang teramat dekat dari pipiku. Rupanya sejak tadi Juna belum mengubah posisinya. Aku lantas mendorong halus dadanya.
"Jangan sedekat ini," kataku gugup. Juna terlihat sama gugupnya. Dia mengucap maaf lalu setengah menunduk beranjak meninggalkanku yang masih tercengang melihat perubahan sikapnya.
Kugigit bibir. Kesalahan apalagi yang kubuat?
*
Juna
Gue kecipakan membasuh wajah di wastafel keran bambu. Sengaja membiarkan air dingin menerobos pori-pori yang beberapa menit lalu bermekaran tidak tahu malu. Emang dasar gue ini nggak punya harga diri. Janji sama diri sendiripun gue nggak sanggup. Otak gue yang harusnya bertindak sebagai komandan kalah oleh teriakan garang prajurit sel yang memerintah anggota tubuh berada dekat Alexa. Menyentuh dan tak mau lepas. Seperti hero bertemu heroin nya.
Bodoh. Bodoh. Bodoh.
Bayangan lima hari lalu berkelebat. Ketika dengan sengaja, gue yang sulit tidur akibat rindu, memutuskan parkir mobil depan rumah Alexa.
Melihat jendela kamarnya dari samping demi meredakan denyut kerinduan di dada. Nyatanya berhasil, gue tertidur sampai azan Subuh berkumandang.
Sepulang dari Masjid, gue lihat balon-balon terbang dari halaman rumah Alexa.
Gue tergopoh berusaha menangkap salah satunya. Meski nyaris terjungkal, gue berhasil menangkap balon putih yang pada benangnya tertempel stiker kecil. Gue menggigil. Alexa masih sangat merindukan Arya.
Pagi itu, entah kenapa gue marah. Cemburu yang selama ini sanggup gue tahan kembali mencuat menyentil ego yang setengah mati gue sembunyikan.
Pagi itu juga gue bertekad menjauhi Alexa. Meski lagi-lagi, gue kalah.
Cinta benar-benar menyeramkan.
Sentuhan lembut di bahu membalik refleks tubuh gue. Olivia menyodorkan gelas karton berisi kopi hitam pekat.
"Jangan terlalu keras pada diri sendiri," ucap Olivia lembut.
Gue yang masih terkejut, menerima uluran gelas karton, ganas meneguk kopi meski panas membakar kerongkongan.
"Jun, hati-hati." Olivia memekik dan menahan tangan gue.
Nyaris cipratan kopi mengenai kaus gue. Sayangnya, sedikit percikan kopi mengenai tangan Olivia.
"Maaf, Liv."
Gue yang nggak enak hati spontan meraih tangan Olivia yang memerah dan meniup-niup, bertepatan dengan suara langkah kaki mendekat. Ekor mata gue mengenali sepatu datar milik Alexa.
*
Alexa
"Maaf." Ucapan itu meluncur spontan dari bibirku.
Jujur, ada yang melesit dari dada melihat genggaman tangan Juna pada Olivia.
Kusesali air kemih yang menuntut dikeluarkan. Jika masih sanggup menahan, aku tidak perlu melihat kemesraan mereka.
"Aku ingin ke toilet," kataku tergesa. Aku tidak tahu harus bagaimana menyikapi 'pemandangan' itu.
Juna tidak menanggapi, hanya Olivia yang menjawab, "silakan, Lex."
Di kamar mandi, bayangan tangan Juna menggenggam jemari Olivia masih melekat. Sampai tak sadar ada yang mengetuk pintu kamar mandi. Astaga! Apakah aku terlalu lama berada di dalam?
Ketika membuka pintu, kudapati Juna berdiri depan pintu kamar mandi. Kupaksakan tersenyum sambil berujar, "maaf kelamaan."
Aku bahkan lupa jika kamar mandi pria dan wanita berbeda.
"Aku sengaja nunggu kamu." Ucapan Juna memutus langkahku.
Kubalik badan gugup, "ke kenapa?"
Juna mendekat, secepat kilat menarik tubuhku ke dadanya.
"Aku nggak sengaja menjatuhkan percik kopi ke tangan Olivia." bisik Juna lembut.
Aku berusaha melepas dekapan Juna namun pria itu menahan kuat.
"Olivia memperhatikan kita. Kumohon jangan lepaskan."
Tanpa sadar mataku berair. Rasa bersalah pada Juna menebas kasar.
*
Alexa
Perasaan adalah sisi paling sensitif manusia. Mudah berpindah arah sesuai kondisi. Mengubah cinta jadi benci pun sebaliknya. Perasaanku pada Arya tidak pernah berubah, akan, dan selalu cinta. Dengan Juna, benci yang berubah jadi cinta. Aku tidak tahu di masa depan kepada siapakah perasaanku bertumbuh, mengakar kuat, dan tak bisa lepas.
Pada yang tidak ada harapan seperti Arya atau yang masih ada harapan namun terbaur rasa bersalah seperti Juna? Atau mungkin pada pria lain yang tidak tahu masa laluku? Aku hanya tidak ingin berdusta pada diri sendiri. Saat ini, menjadi pacar pura-pura Juna jauh lebih baik bagiku. Tetap bisa dekat dengan Juna tanpa olokan rasa bersalah yang kerap menggentayangi saban malam. Membuatku merasa menjadi mahluk paling menjijikkan di muka bumi.
Aku belum ingin bersama siapapun hingga obsesi cintaku ke Arya pudar. Aku tidak ingin menjadikan Juna korban pelampiasan.
Tetapi... lagi-lagi aku menyakiti Juna. Sekeras apapun kusembunyikan, gestur dan ekspresiku saat menangkap kemesraan Juna dan Olivia, kentara jelas, bahwa aku cemburu. Membuat Juna berharap lagi kepadaku.
Seperti saat ini. Aku dan Juna duduk bersisian di bangku taman sambil melihat take scene Olivia dan Jason. Jemari Juna menggenggam erat tanganku. Kubiarkan meski telapak tanganku berkeringat. Melihat raut lunak Juna, aku tidak tega.
Ponselku bergetar. Sebuah email masuk. Mataku membelalak.
Arya.
Refleks kutarik tanganku dari genggaman Juna yang nampak terkejut namun tak berusaha menarik. Tanganku sampai gemetar saat memegang ponsel.
Adikku, Alexa...
Kelopak mataku panas. Ya, adik, memang hanya sebatas itu.
Aku menyingkir dari sisi Juna. Aku bersyukur pria itu tidak mengikuti. Aku butuh privasi ketika membaca email ini. Kabar dari orang yang paling aku dan Winona nantikan.
Apa kabar? Maaf tidak memberi kabar.
Kondisiku baik. Semoga kamu pun begitu.Lex, aku ingin minta tolong. Ibu temanku, Rena, sedang sakit. Tolong bawa ke rumah sakit dan pastikan kondisinya. Aku akan transfer uang ke rekeningmu. Ini alamatnya: Jl. Adikarya 5. Jakarta Utara.
Tolong kabari segera. Terima kasih.
Arya.
Mati-matian kutahan bulir air yang menggenangi kelopak mata agar tidak tumpah. Sekian lama menunggu, sapaan itu datang, meski demi kepentingan lain. Seharusnya tidak masalah. Anehnya, hatiku sakit. Aku memang egois.
*
Arya
Setelah type-erase-type-erase berulangkali, surat eletronik itu kukirim jua. Dadaku bergemuruh. Aku rindu Alexa hingga rasanya kepalaku mau pecah. Tetapi, tetap, tak satupun kalimat mengindikasi rasa ini.
Kaus putih Alexa yang kini telah berubah moka akibat sering kusentuh masih tergenggam erat. Kuciumi aroma khas parfum Alexa. Aigner feminine yang kubeli di sini dan dua hari sekali kusemprotkan ke kaus Alexa yang kuambil dari lemari baju tanpa sepengetahuannya.
Begini cukup. Seharusnya begitu. Meski nyatanya wajah, mata, suara Alexa menderu-deru di kepala. Menghimpit organ dada, hingga saat merindu sakit tak terperi.
Aku tidak punya cara lain. Rena butuh bantuan. Hanya Alexa jalan keluar yang kupikirkan. Aku sadar ini egois. Menghilang sekian lama dan muncul hanya untuk minta tolong. Tidak ada yang kupercaya selain dia. Meski harus sakit membayangkan kemungkinan Alexa cemburu membaca nama Rena.
Ketukan pintu cukup keras memberanjakkanku dari depan laptop. Saat kubuka, Austen muncul dengan wajah kusut.
"You look so.. terrible." Maksudku hanya ingin menggodanya, tetapi Austen kelihatan gusar. Dia menyerobot masuk dan menyinggung bahuku cukup keras hingga aku terhuyung mundur.
"Something bad?" kejarku. Austen duduk di kursi yang sebelumnya kududuki sambil membuka cola yang barusan dia ambil dari saku jaketnya.
Khawatir, kuambil laptop yang masih terbuka di atas meja. Beruntung Austen cuek tidak mencurigai gesturku.
"You like Rena?" tuding Austen begitu aku duduk di hadapannya.
Aku mengerti. Austen melihatku memeluk Rena tempo hari. Aku tertawa namun ekspresi tegang Austen tetap tak mencair.
"I told you if she like my little sister. You know that i'm not interresting in love." Kutepuk bahu Austen.
"But, you hug her?" Austen meneguk cola lalu membuang pandang.
"No one told me that hugs forbidden for sibling." Aku masih berusaha mencandainya. Austen menoleh dan masih memandang gusar.
"You both arent sibling." Austen protes sambil berdiri dan bertelak pinggang. Aku tidak tahu harus tertawa atau justru miris mendengar ucapan Austen barusan. Mengingatkan pada hubunganku dengan Alexa.
"Hang on, Are you, ok?" Entah karena melihatku tertegun atau apa, tetapi Austen melunak.
"No worries."
Ku ambil cola yang beberapa saat lalu Austen letakkan di meja.
Austen dan aku berjarak usia sepuluh tahun sama seperti aku dan Rena. Kumaklumi sifat kekanakannya yang meski berusaha didewasa-dewasakan tetap terlihat. Austen dan Rena kuanggap sebagai adik. Jadi tuduhan Austen sama sekali tidak beralasan hanya karena aku memeluk Rena. 'Adik' yang kucinta hanya Alexa.
"Rena's mom is sick. Do something for her." Kataku. Lalu kuceritakan masalah Rena dan jalan keluar yang kupikirkan. Mulut Austen menganga. Dia menepuk dahinya.
"What should i do?" tanya Austen nampak menyesal.
"My sister will give us news. If Rena's mother get well, we can buy ticket for her and Rena's lil sister," terangku.
Raut masam Austen pudar.
"It'll be a big surprise for Rena," seru Austen berseri.
"But now, we have to pray first."
Kutepuk bahu Austen. Austen memelukku haru.
"I owe you, brother."
"No worries."
Sepeninggal Austen. Aku kembali membuka laptop. Balasan Alexa muncul.
Dear Mas Arya, Insya Allah kulakukan. Salam untuk Rena.
Adikmu, Alexa.
Tak perlu membaca banyak kalimat untuk mengerti kecemburuan Alexa. Aku tersenyum getir mengucap maaf dalam hati.
*
Juna
Gue dan Alexa duduk berhadapan di salah satu kursi di sudut resto De Valley. Menunggu pesanan dihidangkan. Alexa apatis dengan ponselnya sementara gue apatis memandang wajahnya.
Kejadian tadi sore kembali berputar. Saat Alexa kembali ke kursi taman dengan wajah merah seperti habis nangis. Gue menahan tanya meski kepo setengah mati.
"Jun, besok habis syuting bisa menemaniku?" suara Alexa tertangkap lemah di telinga gue. Gue geser duduk lebih dekat.
"Bantu aku nyari alamat teman Arya."
Irama jantung gue kembali meriah. Selalu dan selalu Arya.
Baiklah. Gue mengangguk. Apa yang nggak buat Alexa.
"Tapi malam ini, temani aku ke De Valley," kata gue.
Entah Alexa ingat atau nggak, tetapi seminggu setelah kami jadian, gue ngajak dia makan malam di sana. Kalau ada kuis yang mengetes keserasian pasangan lalu menanyakan tempat yang paling berkesan buat gue, ya, De Valley. Sebab di tempat itu pertama kalinya bibir gue menyentuh bibir Alexa.
Pipi gue memanas saat merekam momen terakhir yang seperti baru terjadi.
Pelayan datang dan memecah lamunan gue, pun Alexa, yang kini meletakkan ponselnya.
"Silakan dinikmati, Mbak Alexa, Mas Juna. Sebelum pulang nanti, boleh nggak saya dan teman-teman foto bersama Mas dan Mbak?" Pelayan beremblem Ratri itu nampak malu-malu saat mengucapkan. Aku dan Alexa mengiyakan.
"Makan, Lex." Kata gue sepeninggal Ratri.
Alexa tersenyum tipis lalu mengambil pisau dan garpu, bersiap memotong steak salmonnya. Sementara gue ditengah kunyahan steak wagiyu sibuk mencuri pandang ke arahnya. Sambil berpikir topik yang sebaiknya gue bahas agar kami tidak diam-diaman terus seperti ini.
"Mmm, teman Arya yang besok kita cari. Di mana alamatnya?" gue langsung bertanya begitu terpikir bahasan yang paling netral.
Alexa yang semula serius dengan kudapannya beralih ke gue.
"Jalan Adikarya, Jakarta Utara. Kamu tahu?"
Gue bukan sopir taksi atau ojek online sampai tahu jalan seputaran jakarta. Tetapi di hadapan Alexa, gue harus terlihat serbatahu agar Alexa bisa mengandalkan gue.
"Selagi masih di Jakarta, gampang."Alexa tersenyum tipis. Jantung gue berdegub tak karuan.Usai makan yang hanya diselingi topik jalan adikarya, sesuai janji, kami foto bersama beberapa pelayan De Valley. Diikuti beberapa pelanggan yang ikut merangsek kerumunan.
Gue nggak masalah. Untung malah. Sebab saat foto adalah saat gue bisa leluasa merengkuh pinggang Alexa. Meski gue panas dingin dengan perut bergelombang, tetap tidak menyurutkan keinginan agar waktu berhenti berputar. Beku seperti dalam foto ponsel.
*
Alexa
Juna menepati janji. Siang, usai syuting terakhir di Lembang, kami langsung meluncur ke Jakarta mencari rumah Rena. Tidak sulit sebab masih seputaran Jakarta.Rumah kontrakan itu terletak tidak jauh dari Kali Sunter. Berdinding hijau lusuh dengan dua bangku reyot di teras. Aku sempat menyangsikan ini tempat yang kami cari. Mengingat Rena tinggal di luar negeri sementara kondisi rumah ibunya mengenaskan.
Nyatanya benar. Santi, adik Rena yang menyambut ketika daun pintu terkuak. Santi menatapku dan Juna takjub, dia sampai membekap mulutnya, lalu menoleh kanan-kiri, sekiranya masuk tayangan reality show yang marak akhir-akhir ini.
"Kami teman Rena," jelasku.
Santi salah tingkah. Gugup dia persilakan kami masuk.
"Buuuu... ada teman Mbak Rena. Artis, Bu...." ucapan gadis remaja itu menukik telinga.
Aku dan Juna tersenyum geli. Ternyata menjadi artis bisa jadi sedekah juga. Membuat orang bahagia.
Suara batuk dan langkah terseret menggantikan cerocosan Santi yang sudah berhenti.
Seorang perempuan lanjut usia muncul mengenakan daster lusuh dan syal yang terlilit di leher yang juga dijadikan alas batuk. Aku dan Juna berdiri lalu mencium tangan ibu Rena.
"Kalian datang dari Brisbane?" Mata ibu Rena berseri. Brisbane? Aku mendegut ludah. Arya ada di Brisbane. Ya, Tuhan, terima kasih atas petunjukMu.
"Bagaimana kabar Rena?" Pertanyaan ibu Rena mengalihkan pikiranku.
Aku berdeham. Meski aku dan Arya tidak membahas bagaimana menjelaskan ke ibu Rena jika bertanya, namun sebagai aktris aku bisa mengkondisikan.
"Kabar Rena baik. Karena sedang ujian, Rena tidak bisa pulang. Dia minta kami membawa ibu ke rumah sakit," terangku. Meski ini adalah white lie, tak urung aku berkeringat.Wajah tua yang semula berseri kembali redup.
"Katakan pada Rena, tidak perlu. Uang kirimannya lebih baik untuk sekolah Santi."
"Bu." Santi meraih tangan ibunya.
"Santi yang cerita ke Kak Rena kalau sakit ibu tambah parah. Lebih baik Santi tidak sekolah daripada ibu sakit. Biar Kak Rena saja yang sekolah tinggi. Santi mengurus ibu saja."
Aku merinding mendengar ucapan Santi. Remaja berkulit bersih dan cantik ini mengingatkanku pada Papa.
Dulu aku juga mengubur cita-cita menjadi dokter demi pengobatan Papa.
"Kebetulan kami berhutang banyak pada Rena. Biaya berobat ibu, biar kami tanggung." Juna buka suara.
Aku tercenung mendengar kalimatnya. Selama perjalanan, aku dan Juna tidak membahas masalah keluarga Rena. Juna mengenali isi hatiku tanpa harus bertanya.
"Tidak. Jangan. Ibu baik-baik saja. Kalian tidak perlu repot," sela ibu Rena sendu. Namun Santi terus menyela dan menyakinkan ibunya.
"Anggap kita sedang berada dalam acara televisi. Ibu memenangkan paket berobat. Dan kami sebagai pembawa acara berkewajiban mengantar."
Aku tertawa kecil. Juna melempar guyonan. Dia pasti tidak tega melihat rengekan Santi. Andai aku bisa selepas Juna.
"Iya, benar." Santi bersorak.
Juna mengerdipkan satu matanya. Aku lega karena setelah itu ibu Rena yang bernama Bu Sari itu setuju.
Sore ini juga aku dan Juna mengantarnya ke praktik pribadi dokter spesialis paru. Mengingat dokter rumah sakit tidak praktik pada Minggu sore seperti ini.
*
Juna
Gue suka Santi. Mengingatkan pada adik tiri gue bertahun silam yang sekarang entah di mana. Polos, ceplas ceplos, dan ceria. Tidak ragu menyuarakan isi hati, tak peduli memalukan atau tidak. Dia berkeras tidak mau memanggil Mas Juna atau Mbak Alexa, melainkan mas dan mbak artis. Seperti saat ini. Di mobil, Santi bertanya keseharian gue dan Alexa menyamakan dengan yang dia dengar atau lihat di tabloid maupun televisi.
"Santi, cantik. Nanti bisa jadi artis seperti Mbak Artis," kata gue pusing sendiri dengan imbuhan artis. Santi tergelak.
Alexa ikut tertawa. Keberadaan Santi memberi warna lain di mobil gue yang dua bulan terakhir ini terasa 'dingin'.
"Kalau Santi jadi artis, banyak uang, ibu bisa berobat ke mana saja. Ketemu dokter hebat. Kalau kangen Kak Rena, tinggal nyusul ke Brisbane," cerocos Santi girang.
Gue lirik Alexa. Sekilas kisah Santi mirip Alexa.
"Sudah berapa lama nggak bertemu Kak Rena?" tanya Alexa setelah mengaminkan ucapan Santi.
"Satu setengah tahun ya, Bu? Sejak kakak diterima sekolah kedokteran." Santi meneruskan tanya ke ibunya. Lalu terdengar jawaban serak ibunya.
"Ya."
"Kalian kenal Rena di mana?"
Gue membeku mendengar suara Bu Sari yang diselingi batuk kecil dari jok belakang. Gue lirik wajah pias Alexa. Gue harus jawab apa?
"Iya, Mas Artis, di mana? Kok, Kak Rena nggak pernah cerita." Santi menepuk bahu gue sambil melongokkan kepala.
"Mmm, waktu Mas dan Mbak Artis syuting di Brisbane," dusta gue.
"Di kedai kopi tempat Kak Rena kerja?" sambar Santi cepat.Gue manggut-manggut. Sambil berpikir bagaimana Arya yang seharusnya berada di Sydney bisa kenal Rena di Brisbane?
"Kedainya bagus, nggak?" tanya Santi lagi. Kritis bukan main.
"Memangnya, Kak Rena nggak cerita?" sela Alexa menyelamatkan gue yang masih mikir mau jawab apa.
"Cerita, sih, tetapi aku pengin dengar langsung dari Mas Artis dan Mbak Artis. Penggambarannya pasti lebih jelas."
"Nanti saja kita lihat langsung," tukas gue. "Kita ke sana bareng kalau Santi sudah jadi artis."
"Beneran, Mas. Yeaayyy...." gadis itu bersorak.
Gue mengulum senyum. Setelah itu Santi duduk manis sampai kami tiba di klinik Dokter Agam, spesialis paru.
*
Alexa
Jadi Arya ada di Brisbane dan kemungkinan besar kerja di kedai yang sama dengan Rena. Kepalaku mendadak pening memikirkan berbagai kemungkinan. Haruskah kuberitahu Winona atau tangguhkan sampai mendapat informasi jelas? Arya, apa hubunganmu dengan Rena? Hingga rela membiayai pengobatan Bu Sari demi gadis yang belum lama kamu kenal. Dan malah tidak bertanggung jawab meninggalkan Winona dan calon anaknya. Tidak seperti Arya yang kukenal.
Hatiku sakit membayangkan Arya berubah.
"Ibu harus melakukan CT Scan dan periksa darah besok," perintah Dokter Agam membuyar lamunanku. Bu Sari nampak murung di sampingku.
"Kira-kira sakit apa, dok?" cecarku. Mengingat besok aku sudah harus berangkat ke Sydney. Setidaknya aku ingin tahu penyakit Bu Sari. Bisa menjadi alasanku bertemu Rena yang artinya juga bertemu Arya.
"Kita lihat besok berdasar hasil foto dan darah. Saya tidak bisa mengatakan sekarang," jawab dokter Agam misterius.
Aku curiga melihat gesturnya. Jika sakit ringan kenapa harus CT Scan?
"Tetapi, besok saya ada pekerjaan di luar kota, tidak bisa menemani. Tidak bolehkah saya tahu sedikit saja?" desakku. Aku betul-betul penasaran. Meski Bu Sari bukan siapa-siapaku, tetapi aku berempati pada Santi dan Rena. Persis sepertiku dulu.
"Mmm, berangkat jam berapa?" Dokter Agam mengecek sesuatu di layar komputernya.
"Pesawat malam."
"Kalau begitu akan saya buatkan pemeriksaan cito. Besok pukul satu saya praktik. Hasilnya bisa langsung saya lihat besok," jelas Dokter Agam.
Aku menyanggupi. Entah kenapa aku sangat ingin tahu kondisi Bu Sari.
*
Esoknya, aku kembali menemani Bu Sari. Juna mengantar Santi ke sekolah lalu menyusul ke rumah sakit tempat Bu Sari CT Scan dan periksa darah.
"Ratih dan Rully sudah membawa koper kita ke RR," ujar Juna begitu duduk di sofa sampingku yang masih kosong.
"Semoga kita masih bisa mengantar Bu Sari bertemu Dokter Agam, ya, Jun. Aku ingin tahu penyakit Bu Sari sebelum pergi. Semoga tidak ada yang serius. Aku tidak ingin Santi sepertiku," uraiku tersendat.
Juna mengelus kepalaku mengamini.
Bu Sari keluar dari ruang pemeriksaan CT Scan. Kusambut dan bantu menuntun. "Ibu makan dulu ya."
Bu Sari tersenyum tipis mengiyakan. Sambil berjalan dia mengelus lembut punggung tanganku. Hatiku berdesir. Baru kenal tetapi aku merasa dekat.Kami makan bubur di kantin sebab Bu Sari mual setelah minum zat kontras demi pemeriksaan CT Scan.
Sambil menunggu hasil, kami duduk di ruang tunggu eksekutif menonton televisi. Kebetulan televisi menayangkan berita syuting film Sunshine.
"Jadi hari ini kalian akan ke Sydney? Bukannya ke luar kota?"
Bu Sari menoleh terkejut ke arahku dan Juna bergantian. Aku menyesal menonton tayangan tersebut. Di berita jelas tersebut tanggal keberangkatan kami.
"Kalian pergi saja. Tidak perlu menunggu ibu. Sydney itu jauh sekali, ibu khawatir kalian tertinggal pesawat."
"Tidak, bu," jawabku dan Juna bersamaan.
"Kami baru berangkat jam sepuluh malam." Juna menambahkan.
"Biar kami bisa memberitahu Rena keadaan ibu," tukasku kemudian.
Bu Sari menatapku dan Juna haru. "Terima kasih, Nak. Ibu titip Rena," sahut Bu Sari dengan suara bergetar. Tangannya yang kering dan berkerut menepuk lembut tanganku. Kelopak mataku panas. Aku ingat Mama.
*
Alexa
Aku terkejut bukan main. Jantungku berdegub kencang dan kelopak mataku memanas. Meski Bu sari bukan siapa-siapaku, tetapi aku turut sedih mengetahui kondisinya. Tak bisa kubayangkan jika Rena dan Santi mendengarnya.Bu Sari divonis kanker paru stadium lanjut. Dokter Agam juga mengatakan bahwa pada tahap ini operasi justru dihindari. Bertahun-tahun Dokter Agam mengoperasi, tiada satupun yang selamat. Mendengarnya hatiku serasa dicubit. Dokter Agam menyarankan kemoterapi dan terapi radiasi untuk penanganan, namun Bu Sari menolak.
"Tidak apa, dok. Usia saya sudah lanjut. Tuhan sudah memberi saya usia lebih dari cukup. Jikapun harus pergi, insya Allah saya sudah siap." Suara parau Bu Sari memutus pertahananku.
Air mataku tumpah.Di mobil kami saling diam. Bahkan tiada kata penghiburan yang sanggup kuberi. Aku betulan syok. Meski Bu Sari tegar tetapi aku tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi Santi dan Rena saat tahu.
Aku pernah melewati tahap itu dan sakitnya bukan main.
"Nak, jangan beritahu Rena kondisi ibu." Pinta Bu Sari lirih dari arah belakang. Aku melirik dari kaca spion depan, Bu Sari melempar senyum saat bersitatap.
"Tetapi Rena dan Santi harus tahu. Saya pernah berada di posisi mereka. Meski tahu kondisi Papa, saat Papa pergi, sulit menerima," tolakku meski ucapanku mungkin menyakiti Bu Sari.
"Paling tidak, izinkan anak-anak merawat Ibu. Memberi yang terbaik untuk Ibu."
"Menjadi dokter adalah cita-cita Rena sejak kecil. Impian itu nyaris pupus sebab kondisi ekonomi. Berkat kerja keras Rena, dia mendapat beasiswa sekolah kedokteran di Brisbane. Ibu tidak ingin Rena kehilangan mimpinya." Suara serak Bu Sari berubah isakan. Sosok yang beberapa menit lalu masih terlihat tegar kini runtuh berkeping. Juna menepikan mobil dan memintaku pindah duduk ke belakang.
Kupeluk Bu Sari. Aku memahami perasaannya meski belum pernah menjadi ibu.
Tetapi, aku juga tidak ingin Rena dan Santi kehilangan saat merawat orang tuanya.
Dulu aku tidak bisa merawat Mama karena masih kecil dan belum terlalu mengerti kondisi Mama. Tetapi, aku sempat merawat Papa, yang meski sudah bertahun-tahun, tetap tidak pernah cukup.
Aku lantas terpikir sesuatu. Dulu, Papa pernah berobat ke Jerman. Bagaimana jika Bu Sari kubawa ke sana? Bukankah ilmu kedokteran di Jerman berkembang pesat. Barangkali penyakit Bu Sari masih dapat disembuhkan. Atau mencari rumah sakit terbaik di Brisbane? Agar Rena dapat terus sekolah sambil merawat ibunya. Masalah biaya bisa kurundingkan dengan Juna dan Arya. Ini akan menjadi prioritasku.
*
Juna
Terkadang Tuhan tidak adil. Menciptakan anak-anak manusia hanya untuk kehilangan induk-induk semang. Ada yang diberi kesempatan bahagia seperti Santi dan Alexa. Ada yang tanpa kesempatan seperti gue. Gue tidak tahu mana yang lebih beruntung. Mungkin lebih baik seperti gue yang kebas dengan yang namanya kasih sayang orang tua.
Analogikan saja dengan kisah cinta gue ke Alexa. Kalau boleh milih, jujur, gue pilih tidak pernah kenal Alexa seperti gue tidak pernah kenal Papa atau Mama yang ada tapi tiada. Mungkin hidup bisa jadi lebih tenang.
Keputusan Bu Sari menyembunyikan kondisi sakitnya bukan ide bagus. Bagaimanapun, Santi dan Rena berhak tahu. Mereka harus mempersiapkan perpisahan. Meski umur ditentukan Tuhan, tetap saja 'sakit' menjadi lampu kuning adanya perpisahan.
Jangan seperti gue. Ujug-ujug Papa pergi, Mama memilih keluarga barunya, Alexa minta putus.
Itu sebabnya gue ikut nimbrung usai tangis Bu Sari dan Alexa reda.
"Alexa benar. Santi dan Rena harus tahu. Mereka berhak merawat Ibu. Yang Ibu pikir benar belum tentu di mata mereka. Beri mereka kepuasan merawat. Ibu bisa pindah ke Brisbane, berobat, sekaligus beri kesempatan Rena merawat."
"Ibu tidak ingin menjadi beban Rena. Sudah cukup dia membagi waktu antara belajar dengan bekerja. Dengan sakitnya ibu, dia akan kehilangan masa depan." Jawaban Bu Sari akan, dan tetap sama.
Gue nggak tahu harus bagaimana menyakinkannya.
Sebentar lagi kami sampai sekolah Santi. Gue tidak tega harus berdusta pada anak polos nan ceria itu.
"Cinta memampukan Bandung Bondowoso membangun candi demi cintanya pada sang ibu. Jangan meremehkan kekuatan cinta, Bu. Saya yakin Rena mampu merawat Ibu sekaligus mengejar masa depan. Lagi pula, ada Tuhan yang akan memudahkan seorang anak yang berbakti pada orang tuanya," urai Alexa penuh tekanan. Dia sama gemasnya dengan gue.
Terdengar helaan napas panjang lalu batuk-batuk kecil beruntun.
YOU ARE READING
No One, But You
RomanceSeharusnya Alexa bahagia. Impian menjadi rising star terwujud. Ditambah limpahan cinta Juna yang menjadikannya istimewa. Namun, hati Alexa tetap gersang, tanpa Arya di sisinya. Juna tahu dirinya menyedihkan. Mencintai wanita yang mencintai pria la...