Arya
Besok akan menjadi hari bersejarah. Entah gimana aku merasa demikian. Semua terasa sudah selesai. Aku seperti tidak punya harapan lain. Apa lagi yang lebih baik dari bertemu keluarga kandung, menjadi calon ayah, dan mantap bercerai dengan Winona.
Usai berpamitan dengan Austen dan pemilik Kafe Calais, aku bergegas menuju bandara.
Sepanjang perjalanan menuju Bandara Brisbane, otakku membayangkan momen pertemuan dengan Ibu. Perempuan lain yang akan kusayang setelah almarhum Mama dan Alexa.
Pasti banyak cerita meluncur dari bibir Ibu seiring kerinduannya padaku. Meski sebelumnya aku tidak pernah membayangkan momen ini, tak pelak hatiku berdegub jua.
Ini bukan kesalahan Ibu. Ini adalah takdir yang mengizinkanku lebih dulu menyayangi keluarga Alexa. Jalan hidup setiap orang berbeda, asal bersedia bersabar, akan menemukan jalan.
Jika boleh memilih. Jika kehidupan kedua betul ada. Aku tetap memilih jalan hidup seperti ini. Mendadak hatiku disesaki kerinduan terhadap Sang Pencipta, yang telah menulis skenario hidup seindah ini.
Setelah bertemu keluarga kandungku, aku akan segera menemui Winona.
Sekejap Winona terlihat seperti kesalahan, tapi aku tidak menyesal dipertemukan dengannya. Tuhan mengirim Winona pasti ada maksudnya. Menjadi pelajaran buatku lebih berusaha menjadi pria mapan. Meski bercerai menjadi keputusan bulat, aku akan tetap membalas budi padanya dengan cara lain.
Ingat calon anakku, hatiku menggembung bahagia seperti calon ayah lainnya. Aku tak sabar ingin menatap kedua bola mata jernihnya. Mengecup kulit lembutnya yang beraroma minyak telon seperti Alexa dulu. Aku akan bertanggung jawab layaknya seorang ayah ke anaknya. Itu sebabnya, aku harus menjaga hubungan baik dengan ibunya. Aku harus dapat membuat Winona mengerti, bahwa cinta saja belum cukup. Seperti cintaku ke Alexa.
Bibirku menyungging senyum. Lima hari menggenggam tangan Alexa adalah hal terindah dalam hidup. Sementara, aku tidak bisa meminta lebih dari itu. Aku tidak ingin egois. Alexa tidak boleh jadi tumbal atas hubungan burukku dengan Winona.
Cintaku pada Alexa terlalu murni. Itu sebabnya, aku akan kembali menyerahkan takdir pada Tuhan. Jika Alexa jodohku, suatu hari, kami akan dapat bersama. Seperti lima hari yang tidak pernah kubayangkan itu. Hadir seperti buah mimpi. Betapa Tuhan Maha Baik. Memberi kesempatan pria sepertiku melayang hingga ke awan.
Aku memejam merapal doa untuk almarhum Papa dan Mama. Semoga, suatu saat, bila kami bertemu di akhirat, mereka tidak marah, karena aku lancang mencintai puteri mereka.
Aku juga berdoa untuk kesembuhan Ibu dan kebahagiaan Winona serta calon anakku di masa depan. Mereka bilang, berdoa dalam perjalanan mustajab.
Aku membuka mata dengan perasaan lega yang belum pernah merasuk sebelumnya.
*
Alexa
Aku tersenyum lega ketika Bustomi membungkus adegan. Meski syuting berlangsung hingga pukul tiga pagi, aku tak merasa lelah seperti biasanya. Mungkin karena beberapa jam ke depan Arya akan tiba di Soekarno-Hatta, tubuhku serasa dialiri energi ekstra. Aku dan Arya akan kembali menghirup udara yang sama.
Rena yang akan menjemput Arya. Aku masih harus syuting hingga tiga hari ke depan. Meski rindu, aku harus menahan diri. Aku harus memberi ruang buat Arya bertemu keluarganya dan menyelesaikan masalahnya dengan Winona.
Setidaknya, Arya telah menggenggam tanganku meski hanya lima hari. Setelah ini, aku akan menyerahkan pada Tuhan takdir hubungan kami. Jika Arya adalah jodohku, suatu saat, kami pasti bersatu.
Dalam hati aku berdoa untuk almarhum Papa dan Mama. Aku juga meminta maaf karena telah lancang mencintai Arya. Aku harap, suatu saat, jika kami bertemu di akhirat, Papa dan Mama merestui.
“Lex...” teguran itu membuka mataku. Juna berdiri tepat di hadapanku menyodorkan gelas karton berisi susu hangat.
“Terima kasih,” ucapku tersenyum lebar.
“Sepertinya kamu sedang bahagia?” Juna tersenyum miring. Aku mengangguk.
“Arya pulang hari ini,” kataku jujur. Anehnya, Juna tetap tersenyum. Matanya juga tidak menyaratkan kesedihan. Apakah dia telah mengiklaskanku untuk Arya?
“Kalau jodoh, kalian pasti bersatu.” Mendengarnya, entah kenapa, jantungku seperti disentil. Meski senyum Juna tetap menghiasi bibirnya.
Aku hanya tersenyum tipis sambil meneguk susu hangat pemberian Juna.
“Setelah syuting film ini, aku akan memenuhi janji. Mengadakan konferensi pers soal kandasnya hubungan kita. Agar semua menjadi jelas dan kamu bebas.” Juna mengacak rambutku. Aku memejam menahan tangis. Entah kenapa, aku merasa, Juna sedang menangis dalam hatinya.
“Ah, ya, soal pengobatan Bu sari, aku sudah janji akan membantu. Beritahu aku mengenai biayanya,” imbuhnya lagi agak serak. Hatiku basah.
“Terima kasih, Jun,” ucapku lirih sambil membuka mata. Juna mengerjab mengangguk lembut kemudian beranjak meninggalkanku.
Setetes air meluncur tanpa bisa kubendung. Menatap punggung pria yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Semoga kamu bahagia, Jun.... doaku dalam hati.
*
Juna
Ini adalah yang terbaik. Gue hapus air mata yang lolos dari sudut mata. Beruntung hari masih gelap, kru dan pemain lain juga sudah masuk ke rumah peristirahatan. Nggak ada yang ngelihat gue seburuk ini.
Gue putuskan melepas Alexa, setelah kemarin, selepas syuting, dengan sengaja gue membahas soal kecupan di lift itu.
“Kamu masih marah karena aku mengecup pipimu di lift?” Alexa nampak terkejut. Tapi dia segera menguasai diri dengan belagak minum kopi yang barusan disodorkan Ratih.
Usai meneguk kopi Alexa menatapku sesaat sebelum kembali tertunduk. “Ada hal-hal yang tidak bisa kita paksakan dalam hidup. Seperti aku dan Arya yang saling mencintai sejak remaja namun tidak dapat bersama karena norma hukum dan tata krama. Ada Papa yang akan tersakiti. Ada masyarakat yang akan menuding keegoisan kami. Tapi, bila suatu saat kami akhirnya bersama, itu karena takdir. Semua penghalang akan menjauh jika dia adalah jodohku.” Alexa terdiam sesaat, mendongak menatap mataku.
“Begitupula dengan kita. Untuk pertama kalinya aku tidak membayangkan Arya ketika kamu mengecupku di lift. Sehingga aku menjadi gelisah. Kenapa hatiku baru bergetar sedemikian hebat setelah kita berpisah. Tapi aku tidak boleh egois. Kembali padamu masih akan menyakitimu sebab separuh hatiku masih milik Arya. Aku tidak tahu mana yang lebih besar kadar cintanya. Yang pasti, setelah ini aku akan menyerahkan diri pada takdir. Jika Arya adalah jodohku maka kami akan bersama bagaimanapun caranya. Begitupula denganmu. Tapi, aku tidak ingin menjanjikan apa-apa padamu dan Arya. Kita jalani saja sesuai rencana Tuhan.”
Hati gue basah mendengar uraian kalimat itu. Alexa benar. Kenapa gue melupakan takdir. Bukan kah, pasangan hidup kami telah tertulis di Lauh Mahfudz. Kenapa gue memaksakan kehendak dengan mengejar Alexa hingga membuatnya gerah. Bukankah, gue pernah mengikrarkan diri bahwa cinta gue ke Alexa tanpa syarat. Maka gue harus membuktikan. Gue harus rela melepaskan. Jika dia jodoh gue, seperti kata Alexa, kami akan bersama bagaimanapun caranya.
Bila dipaksakan, mungkin nasih gue akan seperti Mama. Menderita seumur hidup karena dicampakkan cintanya. Memengaruhi fase hidup selanjutnya.
Keputusan Alexa membuka critical factor. Hari itu, untuk pertama kalinya, hati gue rela melepas Alexa. Menyerahkan nasib hubungan kami pada takdir. Oma pernah bilang, takdir Tuhan pasti yang terbaik.
*
Alexa
“Alexaaaa......!” jeritan itu mengembalikan kesadaranku yang masih melayang setelah baru bisa tidur bagda salat Subuh. Kelopak mataku juga sulit terangkat akibat terlalu banyak menangis sebelum terlelap. Kepalaku rasanya masih berat namun suara tangisan itu tidak bisa kuindahkan begitu saja.
“Kenapa, Ren?” tanyaku serak. Seluruh wajahku terasa hangat dan bengkak.
“Arya....!” pekikan gadis itu sontak mengangkat kelopak mataku. Kuraba dadaku yang mendadak sakit.
“Arya... Arya kecelakaan,” kata Rena tersendat-sendat.
Aku lompat dari kasur dengan kepala berputar. “Mak maksud kamu apa?” tanyaku panik.
“Arya menolak kujemput. Dia bilang tidak ingin menyulitkan adik perempuannya. Tapi.... sudah pukul sembilan dia tidak datang padahal pesawatnya mendarat dari pukul lima pagi.” Suara Rena makin terdengar putus-putus sementara aku mendengarkan setengah melayang. Ragaku seolah tak berpenopang.
“Barusan ada telepon masuk, dari kepolisian, mereka menghubungiku karena nomerku berada paling atas di daftar aliran telponnya. Mereka bilang.... mereka bilang taksi yang ditumpangi Arya menabrak truk di jalan Gatot Subroto. Arya dibawa ke Uki. Aku dan Ibu sedang di taksi menuju ke sana.”
Hatiku serasa disobek. Sama-samar kudengar suara tangisan. Asam lambungku meronta menuntut dikeluarkan. Aku menutup telepon Rena dan langsung memuntahkan cairan lambung di kamar mandi.
Tanpa mandi, aku menelepon Sapri agar bersiap mengantarku kembali ke Jakarta. Meski Bustomi melarang aku akan tetap pergi. Aku tidak peduli dengan profesionalitas pada situasi saat ini. Yang kupikirkan saat ini hanya Arya.
*
Juna
“Bos... bangun!” telinga gue menangkap suara Ruly. Tubuh gue ikut berguncang seiring seruan bising itu.
“Kenapa sih, Rul?” tanya gue keki. Pasalnya, gue belum rela buka mata.
“Bos, ini serius, Mbak Alexa pergi,” tukas Ruly terdengar panik. Gue buka satu mata melihat jarum jam di dinding. Sudah hampir pukul sepuluh.
“Ya, terus kenapa kalau dia pergi?” kata gue kembali memejamkan mata. Ruly nggak tahu kalau gue sudah merelakan Alexa. Jadi gadis itu bebas pergi ke manapun tanpa harus kasih tahu gue.
“Katanya kakaknya kecelakaan di Gatot Subroto. Sekarang sekarat di rumah sakit UKI.”
Penjelasan Ruly terasa mendentum di telinga hingga gue sontak loncat dari kasur. “Terus gimana Alexa?!” tanya gue panik dengan kepala seperti habis ditonjok orang.
“Dia langsung jalan tanpa pamit ke Bustomi. Ratih bilang Alexa nggak peduli meski Bustomi maki-maki atau mecat dia.”
“Di mana Bustomi?” Gue ambil celana jeans dan kaus seadanya. Bergegas ke kamar mandi hanya untuk cuci muka dan sikat gigi.
“Lo mau ke sana juga?”
“Ngapain lo ngasih tau kalau gue nggak ke sana.” Gue ambil handuk kecil mengusap wajah lalu melempar ke atas kasur.
Ruly membuntuti gue menghampiri Bustomi yang sedang rapat singkat dengan kru.
“Gue izin, Bang. Kakaknya Alexa sekarat. Tolong ganti scene gue dan Alexa ke pemain lain,” mohon gue.
“Waktu kita terbatas, Jun. Lo tahu kan, film ini sudah harus rampung minggu ini,” cetus Bustomi sambil mengepulkan asap rokok ke udara.
“Tapi ini masalah hidup dan mati. Nanti gue bicara ke Mister Junot.”
“Kalian nggak bisa seenaknya. Kita terikat kontrak dengan Zugher.”
“Satu hari nggak akan membuat film ini batal. Gimana kalau ini terjadi pada keluarga Abang?” gue menuding telunjuk ke batang hidung Bustomi. Sutradara itu sontak terdiam.
“Ada hal-hal yang bekerja di luar kemampuan manusia bernama takdir,” cecar gue mengikuti kalimat Alexa.
Bustomi mengembus napas keras. “Baiklah, lo boleh pergi.”
“Trims, Bang.” Gue tepuk pundak Bustomi lega lalu berlalu dari hadapannya secepat kilat.
*
Alexa
Ini pasti mimpi. Aku pasti mimpi buruk karena tidak sempat berdoa sebelum tidur. Aku tidak ingin berlama-lama terjebak di mimpi ini. Aku harus bangun. Ini terlalu menyakitkan.
Tapi, sekali lagi, ketika mataku terbuka, aku ada di sini. Di pelukan Rena yang meraung memelukku.
“Mas Arya sudah pergi, Lex.... Mas Arya sudah pergi.....” Lengkingan itu terlalu tajam menukik telingaku. Jika ini mimpi, aku pasti sudah terbangun.
Tapi ini harus menjadi mimpi. Ini tidak boleh jadi kenyataan.
“Kenapa Tuhan begitu kejam, Lex. Kenapa Tuhan tidak mengizinkan kami menebus waktu yang hilang.....” ratap Rena. Air matanya terasa membasahi pundakku.
Aku kembali memejam. Ini pasti mimpi. Bangun, Lex. Bangun!!
Sekejab tubuku terasa ringan. Pandanganku mendadak kosong. “Kenapa kamu menangis? Kita ada di mana?” tanyaku datar. Telingaku hanya menangkap isakan. Pikiranku terbang entah ke mana.
“Lex...” Rena melepas pelukan menatapku. Tangisnya semakin pecah.
Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, kudapati Ratih, Ruly, serta Juna mengelilingiku. Ketiganya menatap khawatir.
“Syukurlah kamu sudah bangun,” kata Ratih mengelus tanganku. Mata gadis itu sembab. Sementara Juna hanya menatap tanpa berkata.
“Aku di mana, Tih?” tanyaku bingung. Aroma menusuk khas rumah sakit menusuk indera penciuman. Kulepas selang oksigen dari kedua lubang hidungku.
“Kenapa aku di sini?” tanyaku lagi mencoba bangkit namun Ratih menahan.
“Yang sabar, Lex...” Ratih sontak memeluk sambil terisak. Pikiranku kembali melayang ke pelukan Rena.
Kudorong Ratih dan berusaha melepas paksa selang infus namun Juna menahan. “Istigfar, Lex,” kata pria itu tegas.
“Ini mimpi, kan, Jun? Ini bukan kenyataan, kan? Aku hanya terlalu terbawa mimpi, kan?” cecarku sambil menarik-narik tangan Juna. Juna mengelus kepalaku lalu memelukku.
“Katakan kalau ini mimpi, Jun. Katakan kalau ini mimpi?!!” teriakku ganas sambil memukuli punggung Juna.
“Istigfar, Lex.... istigfar,” ucap Juna lirih di telingaku.
“Mas Arya hanya ingin membuat kejutan untukku dan Bu Sari. Mas Arya pasti baik-baik saja. Bukan Mas Arya yang mengalami kecelakaan itu. Rena pasti salah. Polisi pasti salah. Ini hanya acara kejutan. Apakah aku ulang tahun hari ini, Jun?” ratapku tersendat-sendat. Aku sulit bernapas sebab derasnya air mata.
“Astagfirullah al adzim...” lirih Juna di telingaku berulang-ulang.
“Ini tidak lucu. Kenapa Mas Arya bikin lelucon seperti ini...” Aku tertawa di antara isak tangis. Juna masih membisikkan kalimat yang sama.
Tidak lama, seseorang menyuntikkan sesuatu ke selang infusku. Aku kembali tidak sadarkan diri.
*
Juna
Bukan hanya Alexa, gue juga berharap ini mimpi. Lebih baik gue sakit melihat Arya dan Alexa menikah dibanding melihat dia sesakit ini.
Arya sangat egois. Beraninya dia ninggalin Alexa tanpa pamit. Gue berharap dia bangun sehingga gue bisa bikin perhitungan. Dia nggak boleh mati. Pengorbanan gue akan jadi sia-sia.
Beruntung Ratih manggil dokter agar menyuntikkan obat penenang. Gue khawatir Alexa hilang kewarasan bila terus seperti ini.
“Terus gimana, Jun?” Ratih menatap prihatin sembari menyusut sisa air matanya. “Mas Arya sudah dibawa ke rumah duka.”
“Biar gue jaga Alexa di sini. Kamu dan Ruly bantu-bantu di sana. Kabari kapan waktu pemakamannya.”
“Bagaimana kalau Alexa belum bangun ketika Mas Arya dimakamkan? Aku tidak bisa membayangkan....” Ratih kembali menangis.
Gue mendongak menghela napas berat. Gue nggak tahu harus gimana ke Alexa. Gue juga nggak tahu harus gimana memberi penghormatan terakhir ke almarhum Arya. Otak gue serasa melompong.
“Biar nanti gue pikirin. Kamu dan Ruly ke sana cari informasi.”
Ratih menepuk bahu gue, mengecup kening Alexa, beringsut ke luar kamar.
Sepeninggal Ratih, gue hubungi dokter yang merawat Alexa. Gue minta Alexa ditangani psikolog atau psikiater untuk mengatasi guncangan jiwanya. Ini bukan hal yang bisa gue tangani sendiri.
Dokter gawat darurat menyarankan gue menemui psikiater. Gue konsul sebelum Alexa bangun. Gue ceritakan soal sulitnya Alexa menerima kenyataan serta hubungan Alexa dan Arya. Psikiater bernama Dokter Mela berjanji akan mendampingi Alexa begitu dia sadar.
Ponsel gue berdering dekat pintu masuk ruang gawat darurat. Dari Ruly. Mengabari bahwa jenazah Arya akan dimakamkan selepas Ashar.
Ketika melewati pintu masuk ruang gawat darurat gue berpapasan dengan sepasang suami isteri yang mendorong Bu Sari di kursi roda. Wajah Bu Sari kelihatan bengkak. Mata perempuan paruh baya itu terpejam dengan bibir komat kamit. Air mata yang berlinang di pipinya dia biarkan jatuh ke pakaian yang dikenakan. Gue hampiri dia.
“Maaf, apakah Bu Sari anfal lagi?” tanya gue ke sepasang suami istri yang memandang gue bingung.
“Anda temannya Rena atau Arya?” pertanyaan si perempuan bermata sembab itu mengejutkan gue.
Kelopak mata Bu Rena terangkat. Air mata masih merembes dari sudut matanya. “Nak, Juna....” rintihnya pilu. Gue yang nggak mengerti pasrah ketika perempuan paruh baya itu memeluk gue sambil nangis sesenggukan.
“Dokter bilang Alexa belum sadar. Ibu titip Alexa,” tuturnya tersendat-sendat.
“Ibu tahu Alexa pingsan?” gue terhenyak.
“Kepergian Arya terlalu mendadak. Mungkin karena dosa ibu terlalu banyak, Tuhan tidak mengizinkan ibu menebus waktu yang hilang bersama Arya.” Bu Sari kembali meratap.
Perempuan yang berdiri di samping Bu Sari mengelus pundak Bu Sari sambil berujar, “sabar, Mbak, ini sudah takdir.”
Sumpah gue nggak ngerti apa maksudnya. Waktu yang hilang?
“Ibu pulang dulu, Nak, Rena bilang, Arya akan dimakamkan sore ini. Ibu titip Alexa.” Bu Sari kembali batuk-batuk.
Meski tidak mengerti tapi gue pilih tidak bertanya. Gue hanya mengangguk dan mengecup tangan Bu Sari sebelum perempuan paruh baya itu didorong ke luar ruang gawat darurat.
Sambil menunggu Alexa sadar, gue bertanya ke suster soal Bu Sari. Suster itu menjelaskan Bu Sari dan Alexa pingsan saking syok dengan kepergian Arya.
Sesuatu berputar di benak gue. Ada hubungan tidak biasa antara Bu Sari dengan Arya.
*
Alexa
Seorang perempuan berkerudung berpakaian khas dokter tersenyum ketika bola mataku bergerak mencari fokus penglihatan. Aku berada di tempat baru. Ratih, Ruly, dan Juna juga tidak nampak. Padahal beberapa saat sebelumnya aku mendengar suara Juna. Tapi, saat itu, kelopak mataku terlalu berat untuk diangkat.
Dokter itu menyenter ke dua bola mataku. Setelah memasukkan senter ke saku baju putihnya dia mengelus tanganku. “Selamat malam,” sapanya hangat.
Aku terlalu lemah untuk membalas sapanya.
“Saya Dokter Mela. Saya akan melakukan pemeriksaan kecil. Cukup kerjabkan matamu satu kali bila jawabannya ya, dua kali bila jawabannya tidak.” Dokter itu kembali tersenyum. Lagi-lagi aku hanya dapat menatap kosong.
“Namamu Alexandra Firman?” Aku mengerdipkan mata satu kali sesuai instruksinya.
“Apakah kamu sadar saat ini sedang berbaring di rumah sakit?” Aku kembali mengerdipkan mata satu kali.
“Apakah kamu ingat kenapa ada di sini?” Aku mengerdipkan mata dua kali. Kepalaku terasa kosong.
“Baiklah, jangan dipaksa. Besok saya akan kembali. Jika ada yang tidak nyaman kamu bisa tekan tombol ini.” Dokter Mela mendekatkan tombol putih panjang ke pangkal lenganku. Aku mengerjab satu kali sebelum kembali tertidur.
Keesokan harinya Dokter Mela kembali datang. Dia menanyakan hal sama. Bedanya, pada pertanyaan ketiga air mataku meleleh.
“Bagus Alexa. Saya yakin kamu gadis yang kuat.” Dokter Mela mengelus lenganku.
Ingatanku melayang ke tangis Rena. Arya! Aku ingin teriak tetapi tidak mampu. Aku seperti kehilangan kendali atas tubuhku.
“Menangislah, Alexa. Menangis sepuas yang kamu inginkan.”
Air mataku berderai tak putus-putus. Tubuhku berhuncang halus.
“Dalam hidup ini, ada takdir yang tidak dapat diubah seperti kelahiran dan kematian. Semua tertulis dalam Lauh Mahfudz. Dunia hanya tempat singgah sementara sebelum kita kembali pada Sang Pencipta.”
Hatiku berontak. Kenapa Arya? Kenapa bukan aku saja yang mati!
“Meski kita menyangkal, tidak terima, marah, takdir tetap tidak berubah. Tapi, sebagai manusia dengan segala kelemahan, kita pasti mengalami semua fase itu ketika kehilangan orang yang kita cintai.”
“Bukan hanya kamu, seluruh manusia di dunia akan mengalami kesedihan semacam ini.”
Tetapi kenapa bukan aku saja yang mati?! Aku sudah tidak punya orang tua sementara dia masih punya keluarga. Dia bahkan belum bertemu mereka. Kenapa Tuhan tidak membiarkan dia bahagia? Kenapa?
“Kamu bisa mendengar saya Alexa?” Aku mengelak mengerdipkan mata. Aku mengerti kalimat penghiburan itu. Masalahnya, aku belum dapat menerima. Aku ingin mati. Aku ingin menyusul Arya.
Napasku tersengal-sengal akibat luapan air mata. Dokter Mela memasang selang oksigen ke hidungku. Aku ingin berontak namun tidak sanggup melakukan. Ragaku betul-betul lemah. Mataku kembali berat. Aku kembali tertidur.
*
Alexa
“Mas Arya...”
“Lex, ikut aku...” Kusambut uluran tangan Arya.
“Mama dan Papa menunggu kita.” Senyum Arya merekah. Wajahnya bersinar membuatnya terlihat makin tampan.
“Di mana?” kataku tak kalah semringah. Aku sangat merindukan mereka.
“Ikut saja.”
Sekejab tubuhku melayang mengikuti Arya. Kami berpindah tempat ke taman yang begitu indah. Taman yang ditumbuhi anggrek warna warni dengan suara gemericik air. Aku belum pernah mengunjungi tempat seindah ini.
“Alexa...” Mama dan Papa muncul dari gazebo tak jauh dari tempatku berdiri. Wajah Mama dan Papa terlihat sama mudanya denganku. Namun aku masih mengenali wajah keduanya.
Tubuhku dan Arya kembali melayang. Kupeluk Mama dan Papa bersimbah air mata.
“Sudah, jangan sedih lagi. Kami akan tinggal selamanya di sini.” Mama menyentuh dadaku lembut. Aku memandangnya tidak mengerti.
“Sekarang kamu pulang dulu. Nanti kita bertemu lagi di sini.” Kurasakan tangan Mama mendorongku kencang hingga dadaku terasa sakit.
Arya kembali menarik tanganku. Namun genggaman tangannya semakin lama semakin longgar. “Masih ada yang harus kamu selesaikan,” teriaknya di antara empasan angin.
Aku menggeleng kuat. Aku tidak mau ke mana-mana. Aku ingin selamanya berada di taman itu bersama mereka. Tapi angin yang menggulung terlalu kuat. Memisahkan genggaman tanganku dan Arya perlahan-lahan.
“Arya....!!!!” teriakanku membangunkan diri sendiri. Mataku nyalang menatap dinding.
“Lex...” Aku terkejut mendengar suara itu. Lampu kamar menyala. Nampak Juna dengan mata kuyu menatap khawatir di sebelahku.
“Jun, aku ingin bertemu Arya....” Tangisku kembali pecah. Juna memeluk hingga aku kembali terlelap.
Keeseokan harinya aku kembali bertemu Dokter Mela. Tubuhku sudah dapat digerakkan. Aku juga sudah dapat bicara. Juna bilang aku sudah berada di ruangan ini hampir satu minggu.
“Apa yang kamu rasakan saat ini Alexa?” tanya Dokter Mela dengan senyum lembut yang menjadi ciri khasnya.
“Sedih. Rasanya aku ingin mati menyusul Arya.”
“Jika kamu mati sekarang, siapa yang akan mendoakan Arya? Dia butuh doa dari orang yang tulus mencintainya. Doa yang mungkin bisa menyelamatkannya dari api neraka.”
Aku terdiam. Air mata kembali lolos dari sudut mataku.
“Doakan Arya. Ambil alih urusan Arya yang belum selesai. Teruskan kebaikannya. Itu jauh lebih membantu almarhum dibanding pergi menyusulnya.”
Hatiku seperti diremas. Yang dikatakan Dokter Mela benar. Tetapi..... kenapa sulit menerima. Dunia seakan runtuh. Waktu seakan berhenti. Masa depan seolah lari. Tidak ada yang kuinginkan selain menyusul Arya.
“Saya yakin bukan ini yang Arya inginkan.” Dokter Mela mengelus kepalaku lembut. Tubuhku kembali berguncang.
“Satu minggu cukup untuk berduka. Sudah waktunya mengunjungi makam Arya. Doakan dia. Lari dari kenyataan tidak mengubah apa-apa.”
“Bagaimana bila setelah mengunjunginya, saya tetap ingin mati?” tanyaku seolah pada diri sendiri.
Dokter Mela meneleng kepala merapatkan bibir, “Temui saya sebelum melaksanakan niat itu.”
Kedua tanganku membekap wajah menangis tersedu.
“Alexa...” Sentuhan lembut di bahu tidak meredakan tangisku yang bertambah hebat.
“Relakan Mas Arya. Kamu akan menyiksanya jika tetap seperti ini.” Suara sengau itu kukenali.
“Kamu jauh lebih beruntung dari kami. Sempat berbagi kehidupan dengan Mas Arya. Tetapi kami, bahkan sudah kehilangan sebelum sempat memulai.” Suara itu berubah menjadi isakan.
Aku menengadah menatap mata basah Rena. Entah sejak kapan gadis itu muncul di ruangan ini.
“Kami juga sulit menerima ini. Tapi, demi Mas Arya, kami akan berusaha.” Rena membekap mulutnya. Isakannya bertambah.
Aku merentangkan tangan memeluknya. “Maafkan aku, Ren. Aku ini egois,” raungku kencang.
*
Juna
Akhirnya gue tahu kedudukan Arya buat keluarga Bu Sari. Dua hari lalu, Ratih cerita semuanya.
Gue nggak mengira, di kehidupan nyata, ada kisah seperti drama. Gue merasa hidup Arya cukup tragis. Secepat kilat, kebahagiaan yang seharusnya dia rengkuh, terenggut begitu saja oleh sebuah kematian.
Kematian mendadak yang sulit diterima. Bila gue jadi Alexa atau keluarga Bu Sari mungkin merasakan kesakitan yang sama.
Itu sebabnya, gue tidak memaksa Alexa segera ke luar dari zona kesedihan. Penyangkalannya masuk akal. Jadi, gue hanya bisa menunggu, hingga waktu menyembuhkan luka hatinya.
Masalahnya, sudah delapan hari gue dan dia mangkir dari syuting Film Sunshine yang seharusnya sudah rampung sejak lima hari lalu. Masih ada tiga scene yang harus gue dan Alexa selesaikan. Kami bakal kena sangsi bila mangkir lebih lama.
Kemarin, gue menemui Mister Junot. Gue ceritakan yang terjadi. Meski berempati namun pria baya itu tidak mampu berbuat banyak. Masalahnya Film Sunshine melibatkan pihak asing. Mister Junot memberi tenggang hingga minggu depan. Bila Alexa belum pulih, kami harus siap menerima gugatan pihak Zugher.
Karena kejadian ini, gue jadi rajin salat lima waktu di Masjid seberang rumah sakit. Meski bukan pria alim tapi gue mengerti hanya Tuhan yang dapat membolak-balik hati manusia. Hanya Tuhan yang dapat memberi jalan keluar.
Seperti malam ini. Selepas salat Isya gue merenung menatap mimbar. Bibir gue merapal zikir. Jika boleh, gue pengin menukar keberuntungan yang ada di diri gue buat Alexa. Dia sudah sangat menderita. Menjadi yatim piatu, kehilangan kakak sekaligus pria yang paling dicintai, ditambah gugatan Zugher yang dapat menghancurkan kariernya. Tidak ada yang tersisa. Wajar, bila dia berulangkali menyatakan niat hendak menyusul Arya.
Obat penenang serta terapi bathin yang diberikan Dokter Mela belum membuahkan hasil. Gue juga sudah berdoa sepenuh hati minta Tuhan menyembuhkan bathin Alexa. Hanya tinggal menunggu keajaiban datang. Bukankah Tuhan Maha Mengabulkan doa.
Gue tekan sudut mata yang terasa berair. Setelah melakukan gerakan sujud gue bangkit dari mihrab. Beranjak ke luar Masjid. Malam semakin larut. Pelataran rumah sakit semakin lengang sebab jam besuk sudah terlewati.
Gontai gue menekan lift menuju lantai atas. Seseorang memanggil nama gue dari belakang. Begitu menoleh gue dapati Rena berdiri dengan mata sembab.
“Eh, sejak kapan di sini?”
“Pas masuk waktu Maghrib. Aku ke kamar Alexa tapi kamu nggak ada. Hanya ada dokter yang merawatnya.”
“Bagaimana reaksinya melihat kamu?” gue bertanya penasaran meski seharusnya bisa menerka melihat mata sembab Rena.
Rena tersenyum tipis. “Alhamdulilah, besok dia berniat mengunjungi makam Mas Arya.”
Gue sontak mengucap syukur. Hati gue dikepung haru. Ternyata Tuhan mengabulkan doa gue.
“Dia malah minta ini.” Rena mengangkat kantung plastik bertuliskan Dunkin Donut.
“Dia bilang almarhum selalu membelikan Croissant Cokelat dan susu cokelat hangat setiap dia sedih. Dia pengin aku menggantikan almarhum melakukan ini untuknya.”
“Terima kasih, Ren,” ucap gue tulus tepat ketika pintu lift terbuka.
*
Alexa
Makam itu masih nampak basah paska hujan semalam. Gemetar aku jongkok di sisi makam mengelus batu nisan bertuliskan nama Aryandra Firman. Air mataku berlinang tak putus-putus sejak memasuki area pemakaman. Di sampingku, Rena berjongkok meletakkan buket mawar putih tanda cinta tulusnya untuk almarhum Arya. Di hadapanku Juna menundukkan kepala dengan satu tangannya menggenggam beberapa helai benang pengikat balon.
Ternyata tidak sesakit yang kubayangkan. Meski air mata menderas namun hatiku tidak sesakit yang kukira. Dokter Mela benar. Aku harus bertemu realita untuk meyakinkan diri bahwa Arya memang telah pergi. Bahwa yang dibutuhkan Arya saat ini hanya doa. Bahwa aku tidak boleh egois dengan keinginan sendiri.
Rena benar. Seharusnya aku bersyukur. Bagaimanapun, Tuhan memberi waktu dua puluh empat tahun bagiku menerima limpahan kasih sayang Arya. Sementara Bu Sari dan Santi bahkan tidak sempat, sedetikpun, mendapat pelukan Arya.
Semalam, usai Rena pulang, aku baru memikirkan semua ini lebih jernih. Menyadari betapa tamaknya aku. Memikirkan betapa egoisnya aku.
Seharusnya aku menunjukkan cinta dengan cara berbeda. Yakni, meneruskan keinginan Arya yang belum selesai. Mencari pengobatan terbaik untuk kesembuhan Bu Sari. Membantu sekolah Santi dan menyemangati Rena agar tidak berhenti kuliah.
Lagi-lagi, Dokter Mela benar. Mungkin itu yang Arya inginkan dariku.
Perlahan tangisku reda. Aku memejam mengikuti Rena dan Juna yang sejak tadi berdoa untuk Arya.
Selesai berdoa aku membuka mata. Menatap kembali gundukan tanah basah. Menyadari bahwa hanya raga Arya yang berada di dalam sana. Kukecup batu nisan sambil kembali memejam.
Jika raga yang membenam di dalam tanah maka aku harus berdialog dengan Arya melalui jiwa. Berharap jiwa Arya mendengar meski telah berada di alam lain.
Mas Arya.... Maafin Lexa baru datang sekarang.
Lexa baru sadar permintaan aneh Mas untuk menggenggam tangan Lexa selama di Brisbane adalah untuk ini. Mungkin saat itu Mas pamit, tetapi Lexa terlalu bahagia untuk memaknainya.
Lexa baru mengerti sikap egois Mas ternyata untuk menyiapkan perpisahan ini.
Sekarang Lexa paham, perpisahan bukan akhir dari segalanya. Perpisahan hanyalah gerbang menuju pertemuan berikutnya
Mas hanya diberi kesempatan lebih dulu menemui Papa dan Mama, sesuai urutan sebagai anak pertama.
Terima kasih telah hadir di mimpi Lexa memberitahu semua ini.
Tunggu sampai waktu Lexa tiba, kita bertemu di kehidupan sana
Semoga di kehidupan selanjutnya, Lexa menjadi bidadari abadi untuk Mas Arya.
Terima kasih untuk semua kenangan yang Mas lekatkan. Lexa akan menyimpan di lubuk hati terdalam.
Selamat jalan, Mas Arya, aku mencintaimu.....
Ketika membuka mata, Juna telah berjongkok di sebelahku. Menyerahkan helai balon yang telah ditempeli stiker. Aku mengukir senyum tipis melepas satu persatu balon ke udara. Untuk Arya, Papa, dan Mama.
Hatiku jauh lebih tenang. Kuraba pundak kananku yang mendadak hangat. Aku membayangkan jiwa Arya yang menyentuh pundak itu. Bibirku kembali menyungging senyum. Meski sadar, arwah seseorang sudah pergi meninggalkan dunia begitu jasad dibenamkan. Namun aku percaya, ada hal-hal yang terjadi di luar kendali manusia.

YOU ARE READING
No One, But You
RomanceSeharusnya Alexa bahagia. Impian menjadi rising star terwujud. Ditambah limpahan cinta Juna yang menjadikannya istimewa. Namun, hati Alexa tetap gersang, tanpa Arya di sisinya. Juna tahu dirinya menyedihkan. Mencintai wanita yang mencintai pria la...