Sorry For The Saddest Word

67 7 0
                                    

Alexa
Sampai beberapa hari, Arya dan Winona menginap di rumah Papa. Membantuku melewati duka. Khawatir aku melakukan hal tak terduga. Sebab sejak kembali dari makam Papa hari itu, aku mengunci diri di kamar.


Winona menganjurkan Arya membawaku ke psikolog agar mendapat terapi kesedihan. Kutolak. Aku masih waras. Aku hanya sedang berduka. Aku yakin dapat keluar dari tempurung kesedihan dengan kesadaranku sendiri. Kuhabiskan waktu di kamar dengan salat dan mengaji. Mungkin ini salah satu hikmah dibalik kepergian Papa. Aku jadi lebih dekat dengan Sang Khalik.


Hari ini hari keenam. Aku merasakan ada yang berbeda ketika membuka mata. Semangat baru. Selepas salat Subuh aku masih menangis, tetapi bukan tangis penyesalan seperti sebelumnya. Aku menangis sebab iklas Papa pergi. Aku tidak ingin karena ketidak iklasanku, memberatkan jalan Papa pergi ke sisi Tuhan.


Kubuka pintu kamar usai merapikan diri. Winona belum ke kantor. Dia masih berkutat di dapur dengan Mbok Sarmi. Satu hal yang kusukai dan membuatku iri sebagai wanita adalah sesibuk apapun Winona, setinggi apapun jabatannya di kantor, setiapkali ke rumah Papa, selalu membantu Mbok Sarmi menyiapkan makanan untuk kami.


Winona terkejut saat kusapa dari belakang. Dia memandangiku atas bawah lalu memelukku. "Aku senang kamu kembali." Hanya itu yang dia ucapkan sebelum kembali menyiapkan sarapan.


Tak berapa lama Arya keluar dari kamar. Sorot matanya berbinar melihatku membuat kopi di meja makan serta berpenampilan rapi.


"Pagi, Mas. Mau Lexa buatkan kopi?" sambutku. Arya tersenyum tipis tanpa sungkan memelukku. Dadaku bergetar. "Alhamdulilah kamu kembali." Ucapan Arya sama seperti Winona.


Aku beringsut dari dekapan Arya. Khawatir terlihatWinona. Meski mungkin Winona tak terusik karena status kami adik kakak namun rasa bersalah tetap menjalar.


"Hari ini kamu mulai syuting, Lex?" Winona datang dari dapur membawa pancake untuk Arya dan Beby. Di belakangnya membuntut Mbok Sarmi membawakan roti panggang kaya untukku. Kuanggukkan kepala kemudian menyesap kopi perlahan.


Lima hari kutinggalkan rutinitas minum kopi. Aku hanya minum air putih dan makan roti panggang. Mulai hari ini aku berniat kembali.


Beby keluar dari kamar diikuti pengasuhnya. "Tante Alexa..." suara ceriwisnya mengisi ruangan. Aku tersenyum. Kukecup rambutnya yang dikepang dua. Beby sudah rapi dan siap ke sekolah.


"Hari ini ke sekolah, Tante yang antar, ya?" kataku sambil berjongkok menatap mata jernihnya. Beby melompat lalu memelukku.


"Tante sudah nggak sedih lagi. Horeeee..." seruan Beby kembali menyadarkanku bahwa dukaku memengaruhi banyak orang. Tekadku untuk bangkit makin bulat.


Winona membubuhkan pancake Beby dengan coklat cair lalu mengangkat puteri kesayangannya ke atas kursi. "Lets eat," tukasnya berseri.


*


Arya


Kuperhatikan air muka Winona. Dia pandai bermain peran. Tidak satu orangpun menyadari kisruh rumah tangga yang sedang kami hadapi. Winona berlaga layaknya isteri sekaligus kakak ipar idaman. Menyambut adik iparnya yang telah kembali dari masa berkabung. Membantu Mbok Sarmi menyiapkan makanan. Meladeni keperluanku, bahkan tak ragu mengecupkku di depan Alexa. Semua nampak baik-baik saja.


Padahal semalam dia kembali memintaku berangkat ke Sydney. Dia bahkan melontarkan ucapan yang menyakiti hatiku. "Kasih semua hak waris Papa ke Alexa. Kamu hanya anak angkat. Kamu tidak punya hak apa-apa di rumah ini." Sejahat-jahat Winona tak kukira dia berujar demikian. Ucapannya jelas merendahkanku.

No One, But YouWhere stories live. Discover now