The Fact

73 7 0
                                    

Arya
Usai membaca pesan balasan Alexa, dadaku berdebar riuh. Ternyata, seperti ini rasanya mencintai dan dicintai.
Sebuah pesan kembali mendeting. Dari Rena. Bisa meneleponku?
"Ya, Ren?" kataku setelah tersambung.
"Ar... Arya, bisa ke apartemenku?" suara Rena terdengar gugup. Aku mengernyit bingung.
"Kenapa?
"Kumohon, datang secepatnya." Suara Rena terdengar parau, seperti habis menangis. Sejak ibunya sakit, Rena berubah sensitif.
"Boleh ajak Austen?" tanyaku melihat Austen memberi tanda dari balik meja kasir. Seolah tahu yang menelponku, Rena.
"Kamu saja. Ini penting." Setelah itu sambungan telepon terputus.
"Rena?" tanya Austen yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Aku mengangguk.
"Katamu, dia ke Indonesia besok. Aku ingin mengunjunginya memberi dukungan."
"Jangan," kataku sambil berpikir ada apa lagi dengan Rena?
Austen mengernyit protes.
"Ehm, maksudku, nanti malam saja. Sore ini ada yang ingin Rena bicarakan denganku."
"Pacarmu ikut?" pertanyaan Austen membentuk senyum. Yang dia maksud pasti Alexa. Aku memang tidak mengenalkan Alexa sebagai adik pada Austen. Austen mendukung hubunganku dengan Alexa. Dia malah secara jujur mengatakan lega, sebab aku dan Rena murni berteman.
"Sepertinya tidak," jawabku yang membuat mimik wajah Austen nampak kecewa.
"Sudah, ya, waktu kerjaku habis. Aku ke Rena sebentar lalu kencan," selorohku. Austen mengacungkan tangan mengucapkan selamat kencan.
Sampai apartemen Rena, suasana berubah mendung. Mata gadis itu sembab ketika membuka pintu.
"Ada masalah dengan ibumu?" tanyaku sambil masuk ke apartemennya yang lebih berantakan dari biasanya. Banyak tisyu bertebaran.
Rena masuk ke kamar lalu menyerahkan amplop putih besar padaku.
"Apa ini?" Rena tidak menjawab tanyaku. Gadis itu duduk di sofa sebelahku sambil menyeka air matanya.
Penasaran, segera kubaca dua lembar kertas dalam amplop tersebut.
"Hasil Tes DNA?" mataku menyipit. Tidak mengerti maksud Rena.
Dadaku seketika bergolak seperti diterjang ombak membaca namaku dan Rena dalam kertas tersebut. Ditambah tulisan kesimpulan di bagian bawah, bahwa ke dua nama di atas, sembilan puluh sembilan persen berhubungan darah.
"Apa ini?" tanyaku gemetar.
"Mas Arya...." Rena sontak bersimpuh, menangis di pahaku. Aku makin tidak mengerti.
"Aku adikmu, Rena." Bahu gadis itu berguncang hebat.
"Adik? Aku tidak mengerti. Ren, tolong jelaskan?" Kuangkat bahunya menjauhi pahaku. Mata Rena makin sipit akibat terlalu banyak menangis. Napasnya tersengal-sengal.
Tubuhku mengejang ketika Rena bercerita perihal kakaknya yang hilang tiga puluh dua tahun lalu.
Aku, yang rasional, tidak serta merta menerima. Tidak mungkin ada kebetulan semudah ini.
*
Alexa
"Ada apa lagi, Lex? Dari tadi kamu bolak balik gelisah kayak gini," tegur Ratih menyentuh bahuku.
"Besok kita pulang. Mas Arya juga sudah ditemukan. Dia juga akan kembali ke Indonesia. Kenapa masih resah?" tanya Ratih lagi.
Aku menggeleng kalut.
"Lex!" Ratih mendudukkanku di bibir ranjang. Memegang pundakku dengan ke dua tangannya. "Juna dan Olivia?" Aku kembali menggeleng.
"Plis, Lex, jangan bikin aku jadi ikutan bingung gini." Ratih duduk di sampingku menatap putus asa.
"Tih." Kucekal lengannya sampai Ratih meringis. Tanganku terasa dingin.
"Mas Arya.... Mas Arya menemukan keluarganya," ungkapku gugup.
Alis Ratih bertaut. "Maksudnya, Mbak Winona ke sini?"
Aku menggeleng repetitif. "Rena... Rena..."
"Iya, Rena teman kerja Mas Arya, kenapa?"
"Rena, adik kandung Mas Arya." Pernyataanku membuat Ratih melotot dengan mulut menganga. Sekejap kemudian dia membekap mulutnya.
"Hasil Tes DNA nya ke luar pagi ini. Barusan Rena memberitahu hasilnya," jelasku gemetaran.
"Tap tapi... gimana bisa?" ganti Ratih gugup. Matanya masih membelalak tak percaya.
Patah-patah, kuceritakan awal kecurigaan Rena terhadap Mas Arya.
"Masya Allah, Lex, takdir Tuhan siapa yang tahu, ya?" ujar Ratih dengan tatapan takjub usai mendengar seluruh cerita.
Kudukku meremang. Awalnya aku juga tidak percaya. Setelah bertahun-tahun, Tuhan mempertemukan kakak beradik itu di sini. Sungguh, keajaiban datang, dari arah yang tidak disangka-sangka.
Aku dan Ratih berpelukan. Kami menangis bahagia.
*

Arya
Aku tidak mengira akan ada hari seperti hari ini.
Rena masih bersimpuh di kakiku sementara otakku masih berusaha mencerna ceritanya yang seperti mimpi ini.
Inilah fase yang dilewati manusia ketika mendengar sesuatu yang mengejutkan, membuat syok, seperti ketika mendengar berita kematian orang yang dicintai. Lima fase yang menurut Elisabeth Kubler-Ross, nyaris dilalui semua orang. Aku pernah melalui ini ketika Papa pergi lima bulan lalu.
Fase denial atau penyangkalan yang selama Rena bercerita berproses di kepalaku. Bahwa yang diucapkan Rena nampak tidak rasional. Bagaimana, tanpa berusaha mencari, teman sekerja mendadak sedarah dan telah melakukan Tes DNA. Ini seperti skenario film.
Fase anger, mengikuti fase penyangkalan, bahwa aku yang tidak tertarik mencari keluarga kandung, dipertemukan secara kebetulan, dengan cara tidak biasa, berpikir aku bagian keluarganya. Kemarahan mencuat begitu saja. Entah marah pada takdir atau diri sendiri.
Fase bargaining. Fase pergolakan hati, haruskah aku menerima kenyataan yang sekian lama terkubur, bahkan tidak ingin kucaritahu. Bahwa yang kuanggap keluarga seumur hidup adalah Papa dan Alexa. Sebab menurut definisiku, keluarga adalah yang membagi hidup bersama, bukan sekadar melahirkan lalu meninggalkan. Lalu bagaimana dengan cerita Rena? Dia tidak nampak meracau. Kesungguhan menguar dari kedua bola matanya.
Fase depression. Fase yang kulewati selama beberapa hari ketika Papa meninggal dunia. Tetapi tidak saat ini.
Fase acceptance. Ini yang akhirnya kupilih. Menerima kenyataan. Bagaimana tidak, bila kertas putih yang sekarang tergolek di lantai itu nyata. Hasil yang didasarkan pada pemeriksaan rangkaian rantai polimerase, menyocokkan pola pita atau blue print genom manusia, bahwa dua atau lebih lokus basaku cocok dengan milik Rena. Apa lagi yang harus diragukan. Ini, terbukti secara ilmu pengetahuan.
"Mas tidak pernah dibuang. Ibu dan almarhum Ayah mencari bertahun-tahun. Ini murni kasus penculikan. Tidak ada yang menduga bahwa Bulik Minah meninggal seminggu setelah menculik Mas. Bulik Minah mengalami gangguan jiwa. Tidak ada yang tahu ke mana Bulik menitipkan Mas. Setelah sepuluh tahun tidak ada perkembangan, kasus penculikan itu ditutup. Tapi Ibu dan Ayah tidak menyerah, hingga Ayah pergi lima tahun silam dan kami tidak mencari lagi." Rena sesenggukan. Air matanyanya merembes tak putus-putus.
Kuusap kasar air mata yang lolos dari sudut mataku. Kesentuh bahu Rena hingga gadis itu mendongak menatapku pilu. Kuukir senyum getir lalu kupeluk dia.
"Adikku...." tangisku pecah tak terbendung.
*
Juna
Ini adalah fakta. Fakta bahwa gue masih sangat mencintai Alexa.
Kalian boleh muak. Tapi ini terlalu nyata untuk gue sangkal.
Sejak bertemu dua hari lalu di Pantai Surfers Paradise, dilanjutkan naik cruise hingga larut malam, setiap tidur gue selalu disuguhkan mimpi yang sama. Mimpi dengan potongan-potonga aneh yang kesemuanya menggambar Alexa.
Paginya, terpaksa bangun karena Ruly seperti sengaja membuka daun jendela agar sinar matahari yang nyentrong mengganggu indera penglihatan gue.
Sumpah. Kalau boleh milih, gue pengin selamanya terjebak di alam mimpi. Sebab, kenyataan setelah membuka mata, bikin jantung gue ngilu. Keintiman Alexa-Arya merobek hati gue.
Mungkin ini yang dirasa Alexa waktu lihat.keintiman Arya-Winona.
Gue mendadak ciut. Alexa, yang notabene perempuan dapat tegar menjalani hingga bertahun-tahun, sementara gue, yang notabene laki-laki, merasa tidak sanggup menahan, meski baru satu minggu. Padahal mereka bilang laki-laki lebih kuat dari perempuan. Parah! Rasanya itu salah!
Kenyataannya, laki-laki mudah rapuh bila menyangkut perasaan. Laki-laki, kayak gue, hanya gengsi menunjukkan, dengan belagak kuat. Sementara perempuan, tidak sungkan menunjukkan kerapuhan dan tangisnya, sementara hatinya sekuat karang.
Ah, pantas perempuan bisa nahan sakitnya melahirkan, sementara gue, waktu di sunat, merasa dunia kiamat. Padahal, waktu gue dan Bagas iseng nyetel video perempuan melahirkan, naudzubilah, mungkin gue bakal wafat kalau sampai ngalamin itu.
Ingat perempuan melahirkan gue jadi ingat mama. Mama mengalami kesakitan itu waktu ngirim gue ke dunia. Sayangnya, Mama nggak sanggup melihara gue hanya karena gue mirip Papa. Mama milih gue salah paham yang berdampak pada hubungan yang buruk hingga saat ini.
Gue mendesah. Haruskah gue memaafkan Mama dan mulai semuanya dari awal?

---------------------------------------------------------------
Hello readers... ini adalah part terakhir yang di upload sebelum quiz. Part 16-18 akan di upload setelah jawaban quiz terkumpul.
Sudah tahu, kan pertanyaan quiznya? Yup! Tebak akhir cerita😄
Kira2 seperti apakah akhir cerita kisah ini?
(A) Alexa kembali bersama Arya. Juna bersama Olivia. Winona kembali menjanda
(B) Alexa kembali bersama Juna. Arya kembali bersama Winona.
(C) Alexa kembali bersama Arya. Juna tetap menjomblo sampai bertemu gadis lain. Winona kembali menjanda
(D) Alexa kembali bersama Juna. Arya tidak dengan siapa2. Winona kembali menjanda
(E) Alexa tidak memilih Arya maupun Juna. Arya kembali pada Winona. Juna jadian dengan Olivia
(F) Alexa tidak memilih Arya maupun Juna. Arya tetap menceraikan Winona. Juna tidak jadian dengan Olivia alias setia menjomblo sampai dapat gadis lain.
Nah, kalian tinggal pilih jawaban A, B, C, D, E, atau F. Follow intagram @angelique.puspadewi lalu kirim jawaban kalian via inbox instagram.
Jawaban yang paling cepat dan tepat akan dikunci sebagai pemenang.
Mau tahu kan, hadiahnya? Nah, ini dia... Pemenang pertama mendapat tas warna silver+novel No One But You+gantungan kunci koala.
Pemenang kedua dan ketiga mendapat novel The Rising Star (jika sudah punya akan diganti dengan mug)+Novel No One But You+gantungan kunci koala/bendera australia
Gimana? Gampang tho?

Jawaban kalian ditunggu sampai tanggal 7 desember 2016. Pengumuman pemenang tanggal 11 desember 2016 di instagram dan facebook penulis. Selamat menjawab

Salam,
Angelique P.

No One, But YouWhere stories live. Discover now