Finding Arya

81 6 0
                                    

Alexa
Sepertinya aku tidak waras, menyetujui ide Juna menjadi pacar pura-pura. Meski mudah dilakukan sebab kami baru putus. Kemistri di antara kami masih besar. Tetapi justru itu yang paling mengiris hati. Apa yang lebih menyakitkan dari membohongi diri sendiri?
Sudahlah. Aku sedang tidak ingin memikirkan Juna. Aku harus memikirkan cara mencari Arya. Winona semalam ke rumah dan kembali memohon agar aku mencari Arya. Berbagai cara kulakukan. Dari mulai mengiriminya BBM, Whatsapp, Line, FB Messenger, Path, email. Tidak satupun balasan. Arya seperti sengaja menghilang.
Aku menangis merindukan Arya yang artinya menghianati Winona. Aku benci diriku yang seperti ini. Namun tak kuasa menolak.
Usai menangis aku beranjak ke kamar Arya. Berharap menemukan petunjuk.
Kamar Arya masih seperti dulu. Menyimpan banyak memori. Dulu aku sering mampir ke kamar ini pura-pura menanyakan pe-er yang susah, atau minta dibantu mengerjakan tugas, padahal aku hanya ingin melihat wajah tampannya.
Aneh, kami sudah bersama sejak aku lahir, tetapi aku tidak pernah bosan menatap wajahnya dari dekat.Pandanganku beranjak ke meja belajar. Masih ada dan tidak pernah diganti meski Arya saat itu sudah bekerja dan mampu membeli meja yang lebih layak.
"Masa kamu nggak bisa, hanya tinggal membuat garis seperti ini." Tangan Arya terjulur melewati bahuku. Memegang tanganku, menuntun membuat garis. Saat itu aku tidak bisa konsentrasi. Jantungku berdegub tidak karuan. Aku berharap setiap hari guru memberi pe-er susah agar punya alasan dibimbing Arya. "Lex, apa aku ngajar les saja, ya? Sepertinya aku berbakat. Buktinya kamu selalu dapat tiga besar," sesumbar Arya.
Saat itu hatiku diliputi cemburu. Aku tidak rela berbagi Arya dengan gadis seusiaku. Aku takut mereka menarik perhatian Arya.
"Jangan, Mas. Nanti siapa yang ngajar Alexa." Aku cemberut di kursi meja belajar itu. Lalu Arya menghampiri dan memelukku.
"Mas hanya bercanda. Mas hanya untuk Alexa."
Saat itu aku belum mengerti maksud kalimat Arya. 'mas hanya untuk alexa' kuasumsikan sebagai 'mas hanya akan mengajarkan alexa'. Padahal mungkin saat itu Arya sudah jatuh hati kepadaku. Arya sudah memberi sinyal dan aku tidak mengerti.
Pernah suatu hari, selepas pesta perayaan ulang tahunku yang ketujuh belas, aku menghampiri Arya di kamarnya. Kukatakan bahwa aku baru jadian dengan Adam, mantan kakak kelasku yang saat itu kuliah di UI. Wajah Arya muram. Kupikir dia seperti Papa yang tidak setuju jika aku pacaran sebelum lulus SMU. Aku jadi memusuhi Arya karena berpikir bersekongkol dengan Papa. Padahal, mungkin saat itu Arya sedang cemburu. Air mataku menitik. Aku semakin merindukan Arya.
Aku melangkah ke tempat tidur Arya dan duduk di atas kasurnya. Sambil memeluk bantal, mataku memejam. Aku pernah menangis di bantal itu. Dulu, ketika tahu Arya pacaran dengan teman kuliahnya, sementara aku putus dari Adam.
"Kenapa, Lex, Mas salah apa?" Arya bertanya sambil berusaha memelukku tetapi terhalang bantal. Saat itu aku tidak berani mengatakan aku tidak suka Arya pacaran dengan Gendis.
"Mas mau menjemput Mbak Gendis. Kalau kamu masih kesal, tidur di sini saja. Nanti setelah Mas pulang, cerita, ya." Arya masih berusaha membujukku. Aku bergeming. Tangisku kian pecah.
"Lex!" Arya mungkin kesal karena setelah itu dia meninggikan nada suaranya. Mendengar suara Arya yang seperti itu aku lantas berteriak.
"Mas pergi saja, jangan pedulikan Lexa. Urus saja pacar Mas yang cantik itu!" Aku tidak sadar jika ternyata ucapanku menyaratkan kecemburuan.
"Mas nggak pergi kalau kamu nggak suka. Kalau perlu, Mas putusin Mbak Gendis, biar Mas bisa terus sama Lexa," ucapan Arya membuat tangisku reda. Kubuka penghalang kami, si bantal, agar aku bisa leluasa memeluk Arya.Seminggu berikutnya, kudengar Arya betul-betul putus dari Gendis.
Andai kala itu aku membaca buku psikologi tentang tanda seseorang jatuh cinta, mungkin akan menyadari bahwa kami sudah saling jatuh cinta sejak remaja, atau bahkan sejak masih kanak-kanak. Aku dan Arya beda usia delapan tahun. Mungkin Arya yang lebih dulu jatuh cinta kepadaku. Membayangkan Arya menyimpan cinta serapi itu, dia pastilah sangat dewasa. Bukan tipe yang terburu-buru mengambil keputusan. Memikirkan baik-buruknya jika melakukan ini atau itu. Jadi, rasanya mustahil, Arya pergi begitu saja meninggalkan Winona. Terlebih wanita itu mengandung anaknya.
*
Arya
Kulihat ponsel. Suhu udara mencapai delapan derajat dini hari ini. Kurapatkan mantel demi menghalau dingin yang menusuk. Minuman cokelat yang berada di genggamanku mulai dingin. Pikiranku melayang ke Alexa yang ketika kecil paling suka beli minuman cokelat dingin yang dijaja abang-abang gerobak. Meski mama-papa melarang sebab Alexa mudah sakit bila jajan sembarangan, tetapi aku tidak tega tiap gadis itu merengek. Saat itu, aku seperti jin dalam lampu wasiat yang akan meloloskan semua permintaan Alexa tanpa tapi.
Tetapi, kali ini aku memilih keluar dari lampu wasiat. Aku tidak bisa meloloskan keinginan Alexa agar membalas surat yang dia layangkan ke emailku. Beruntung di email tidak ada teknologi apakah seseorang sudah menerima pesan atau belum seperti BBM, WA, Line, atau wadah interaksi sosial lainnya. Aku memang sudah menonaktifkan akun media sosial kecuali akun hotmail.
Sudah hampir satu bulan. Aku tinggal di lantai tiga flat bertarif murah di pinggiran kota Brisbane. Menyambung hidup dengan bekerja di beberapa tempat sekaligus.
Pagi, membantu Austen, teman yang kukenal di bus menuju Brisbane dari Sydney, menyetempel perangko. Siang hingga sore, menjadi pelayan di gerai kopi Calais, juga bersama Austen. Austen sama sepertiku. Dia pelarian yang rela bekerja apa saja demi bertahan hidup. Malam hingga dini hari seperti saat ini, membersihkan sampah sepanjang garis pantai Gold Coast. Pukul tiga pagi dan mataku belum terpejam. Aku merindukan Alexa. Kupandang langit sambil berharap Alexa melakukan hal sama. Sejauh apapun jarak memisahkan, kami berada di langit yang sama.Aku tidak tahu kapan tepatnya jatuh hati kepada Alexa. Kurasa hambar berpacaran dengan beberapa gadis tanpa tahu pasti. Mereka cantik. Mereka baik. Mereka menyenangkan. Tetapi tidak ada yang menggetarkan hatiku seperti yang kurasa setiap melihat Alexa tersenyum, memeluk, terutama mengecup, hingga perutku seperti digulung-gulung. Sensasi awal yang dulu kurasa seperti orang kebelet pipis. Alexa. Gadis kecil yang tanpa sengaja mengalihkan duniaku. Ada saat aku tidak mampu menyembunyikan kecemburuan. Seperti saat Alexa dengan raut bahagia, usai acara sweet seventeen, mengatakan baru jadian dengan Adam.
Saat itu, rasanya aku ingin menghampiri Adam dan mengancamnya agar tak bersama Alexa. Hatiku sakit bukan main. Seperti diperas, ditusuk, dikucuri jeruk nipis. Membuatku tidak bisa sandiwara mengucapkan 'selamat, ya, adikku' seperti yang biasa kulakukan tiap dia meluapkan bahagia.
Seperti anak kecil. Aku membalas sakit hatiku dengan memacari Gendis, teman satu kantor yang sudah lama mengejarku. Aku hanya ingin menunjukkan pada Alexa bahwa aku juga punya pacar. Aku tersenyum getir mengingat betapa cinta mampu mengubah perilaku seseorang.
Pernah suatu kali saat akan menjemput Gendis, Alexa menangis di kamarku. Memeluk bantal lalu bicara keras soal aku yang akan menjemput Gendis.
Saat itu, entah kenapa aku berpikir Alexa cemburu. Bisa saja itu pikiran naif karena aku berharap cintanya. Kukatakan jika dia tidak suka, aku akan memutuskan Gendis sebab aku hanya untuknya. Ternyata tangisnya reda. Senyumnya kembali rekah. Mungkin dugaanku benar, Alexa mulai menyukaiku, seperti aku menyukainya. Aku bahagia seperti menang undian. Meski seminggu setelah putus dari Gendis, rumor beredar di kantor bahwa aku pecinta sejenis. Aku tak ambil pusing, yang penting Alexa berhenti uring-uringan.
Lalu apa? Meski tahu perasaan Alexa, aku tidak mungkin memacari apalagi menikahi. Meski secara agama tidak diharamkan, sebab bukan saudara sepersusuan, tetapi aku dan dia terikat surat adopsi. Kami bersaudara secara catatan sipil. Aku, kakak yang seharusnya menjaga amanah, bukan ngelunjak mencintainya.
Mungkin ini balasan yang pantas untukku. Aku telah menghianati Papa dan Mama. Menghianati diri sendiri. Menghianati Winona dan anak-anak. Aku tidak bisa kembali kepada mereka. Pun Alexa. Aku harus memulai semua dari awal. Kembali menjadi Arya, si yatim piatu yang harus berjuang sendiri menjalani hidup, meninggalkan masa lalu yang tidak seharusnya. Kenangan bersama Alexa, Papa, dan Mama, cukup menjadi bahan bakar untuk menjalani hari sampai mati.
*
Alexa
Winona datang ke rumah dengan mata bengkak dan linangan air mata. Lingkar hitam sekeliling kelopak mata menandakan wanita itu belum tidur beberapa hari. Rambut yang biasa digelung rapi, berantakan. Baju yang dikenakan kusut dan gelap.
"Aku sudah sewa orang untuk cari Arya di Sydney, tetapi sampai hari ini tidak ada kabar. Apa yang harus kulakukan, Alexa?" Winona duduk di atas kasur seraya menelungkupkan wajah ke lutut.
Terlepas yang telah Winona lakukan padaku. Aku bertekad membantunya mencari Arya. Harus mencari sendiri tanpa orang suruhan. Meski belum tahu akan mencari ke mana sebab yakin Arya tidak berada di Sydney. Mengingat berkuasanya Winona, Arya pasti sudah pertimbangkan isterinya bakal menyewa detektif swasta.
"Tarik detektif swasta itu, Mbak. Kita saja yang cari," kataku kemudian.
Winona yang masih menelungkupkan kepala mendesis, "tidak mungkin."
"Tidak ada yang tidak mungkin, Mbak. Kita punya Tuhan yang memungkinkan semua. Tuhan pemilik langit dan bumi. Jika Tuhan berkehendak, hanya tinggal menunjukkan keberadaan Mas Arya. Tetapi... kita harus tetap berusaha. Usaha yang diiringi doa."
Entah bagaimana aku mengucapkan semua itu. Aku bukan hamba Tuhan yang taat. Salatku masih bolong-bolong. Apalagi ibadah lainnya. Tetapi, bukankah Tuhan Maha Pemaaf? Jika aku bertobat dan mendekatkan diri, bukankah masih ada kesempatan?
"Tuhan? Sudah lama Dia tidak berpihak padaku. Benny meninggal. Arya menghilang. Apa aku masih bisa percaya kepadaNya?" Winona mengangkat wajah dan memperlihatkan ekspresi sinis.
"Astagfirullah, Mbak. Meski aku juga tidak agamis, tetapi aku yakin semua kesialan yang terjadi bukan karena Tuhan, tetapi karena diri sendiri. Kita harus bertobat, Mbak. Hanya Tuhan yang bisa bantu kita menemukan Mas Arya. Mungkin ini teguran buat kita agar kembali kepadaNya," uraiku bak ketiban hidayah. Begitulah manusia, baru mengingat penciptanya ketika mentok dan putus asa.
"Jika kita pergi mencari Arya, bagaimana perusahaan?" rengekan Winona berikutnya membuat darahku tersirap ke kepala.
"Jika perusahaan lebih penting buat Mbak. Jangan cari Mas Arya!" ketusku. Pipiku memanas. Dia pikir dapat menggerakkan dunia untuk menemukan Arya dengan uangnya. Tidak! Hatiku panas.
"Bukan... bukan begitu maksudku. Kita harus realistis, Lex. Perusahaan itu sumber penghasilanku. Aku harus menghidupi Beby dan Lovyta. Aku tidak boleh egois." Winona bicara seperti orang linglung. Mata sembabnya menyorot tidak pasti.
"Perusahaan tidak akan bangkrut hanya karena Mbak pergi. Mbak kenapa jadi bodoh begini? Mbak sudah punya sistim yang kuat di perusahaan. Orang-orang hebat yang akan terus bekerja meski Mbak tidak ada. Mbak yang tidak realistis," cecarku membuka pikirannya.
Winona bengong sesaat. Dia tidak seperti Winona yang kukenal. Aura percaya diri yang selama ini melingkupi seperti runtuh. Bagai orang tersesat yang butuh bimbingan. Melihatnya begitu, aku kembali kasihan. Kudekati dan kuelus bahunya."Maaf jika aku menggurui. Aku tahu pengalaman hidupku tidak sebanyak Mbak. Tapi, Mbak, dalam hidup, kita harus membuat skala prioritas. Apa yang terpenting buat hidup kita. Uang, strata sosial, pasangan, anak, atau apa? Jika uang lebih penting dibanding Mas Arya, maka aku akan menjadi orang pertama yang kecewa pada Mbak."
Tubuh Winona kembali bergetar. Dia kembali menelungkupkan kepala dan terisak tanpa bicara. Lima menit kemudian dia menengadah menatapku. "Berjanjilah kamu akan mengembalikan Arya padaku," katanya parau. Aku mengangguk kaku.

No One, But YouWhere stories live. Discover now