No One, But You

171 12 0
                                    

Satu tahun kemudian
Juna
Kilatan blitz kamera menyambar mata gue begitu turun dari sedan Mercedez hitam kiriman RR. Bersama Olivia yang melingkarkan tangan di lengan gue, melenggang percaya diri di atas karpet merah menuju ballroom acara penganugerahan Festival Film Indonesia.
Film Sunshine masuk dalam nominasi film terbaik karena mendapat sambutan hangat di Indonesia dan beberapa negara tetangga. Karena itu pula, gue mendapat nominasi sebagai aktor pendatang baru terbaik.
Gue tahu tidak ada yang sia-sia. Meski nyaris mendapat somasi dari pihak Zugher satu tahun lalu akibat musibah yang menimpa Alexa, namun Tuhan punya rencana lain. Tuhan mengabulkan doa gue di detik terakhir. Berupa kesanggupan Alexa merampungkan tiga scene tanpa halangan berarti.
Jika gue mengilas balik selama satu tahun ke belakang. Gue takjub. Semua yang terjadi di tiga ratus enam puluh lima hari lalu menjadi titik balik kehidupan yang begitu ajaib buat gue dan mungkin juga buat Alexa. Menyadari bahwa kami tidak boleh bangga hati dengan rencana-rencana atau pemikiran-pemikiran yang lebih banyak didominasi egoisme manusia. Ada kekuatan lain bernama takdir yang mengatur semua rencana. Asal kami bersabar dan terus berusaha.
Yup, keajaiban buat gue adalah mampu memaafkan Mama. Sepuluh bulan lalu, gue mengantar Alexa dan Bu Sari ke Brisbane. Selain berobat, mereka ingin menghabiskan hari di flat Arya yang sisa kontraknya masih berlaku hingga satu tahun ke depan. Alexa bilang demi mengentas rindu yang kadang masih membelenggu. Alexa cuti selama satu tahun dari RR menyelesaikan tugas yang belum sempat Arya tunaikan untuk ibu kandungnya.
Melihat perlakuan Alexa ke Bu Sari, gue merasa tersindir. Gue yang masih punya ibu kandung malah menjauh hanya karena merasa diabaikan. Sementara gue menghindar sementara waktu terus menggeragas mencuri kebersamaan. Bagaimana jika waktu Mama atau gue tidak lama lagi. Tidak ingin menyesal seperti keluarga Bu Sari, keesokan harinya gue ke Rosewood.
Gue masih ingat betapa terkejut Mama mendapati gue yang langsung memeluknya begitu sekat pintu terbuka. Meminta maaf dan mengatakan perasaan gue sebenarnya. Bahwa gue sayang Mama dan butuh Mama di sisi gue. Gue juga memperpanjang waktu singgah di Rosewood untuk membantu Mama menyelesaikan administrasi perceraian.
Sebulan setelah itu kami kembali ke Indonesia. Gue dan Mama menempati rumah Oma. Setiap hari kami saling mencurahkan kasih sayang menebus waktu yang hilang.
Betapa Tuhan Maha Adil. Mengirim Mama sebagai penghibur kesedihan karena ketidakberadaan Alexa. Meski kami hanya berteman baik namun cinta gue buat Alexa belum padam hingga detik ini. Wajar kiranya gue masih diliputi kerinduan dalam.
Pikiran gue kembali ke alam nyata setelah Rachel dan Rayyan menyekat langkah gue dan Olivia. Mereka menyalami dan mengucapkan selamat. Meski belum tentu menang namun menjadi nominasi yang disejajarkan dengan aktor papan atas lainnya memiliki nilai tersendiri buat RR.
"Di sebelah sana." Panitia pengatur menggiring gue dan Olivia duduk di kursi sederetan dengan Mister Junot yang rupanya telah tiba lebih dulu. Gue menyalami dan mencium takzim punggung tangan penasihat RR tersebut.
"Alexa tidak datang?" tanya Mister Junot yang duduk tepat di sebelahku. Aku menggeleng.
"Waktu cutinya sudah hampir habis. Lagi pula dia masuk nominasi aktris pendatang baru terfavorit."
Gue tersenyum getir. Sejujurnya gue sudah memberitahu Alexa soal itu. Sayangnya, dia menolak datang karena belum dapat meninggalkan Bu Sari.
"Terry yang mewakilkan bila Alexa menang," kata gue ke Mister Junot yang tersenyum kecut. Gue yakin dia sama kecewa seperti gue.
Padahal, gue yakin, ini adalah acara yang paling Alexa nantikan sepanjang kariernya di RR. Sayangnya, lagi-lagi, manusia berencana, Tuhan menentukan.
"Jun, aku nggak nyangka bisa dapat nominasi aktris pemeran pembantu terbaik dan penyanyi soundtrack film terbaik versi ajang ini. Padahal ini film pertamaku. Aktingku juga pas-pas-an." Olivia berbisik di telinga gue.
"Kalau Bara tahu, mungkin dia bakal tertarik ke kamu," ledek gue yang bersambut cubitan di perut.
"Sayangnya Bara milih ngurus usahanya di Jepang setelah gagal nyaleg," bisik Olivia lagi cekikikan.
"Sabar, Liv, nanti juga ketemu yang seperti Bara," kata gue menyemangati.
"Kalau sama kamu saja gimana?" Gue tertawa, rupanya Olivia masih penasaran.
Gue jadi ingat, dua bulan lalu, Olivia ngajak pacaran. Gue tolak sebab tidak ingin menyakiti dia. Bagaimanapun gue pernah suka Olivia, gue nggak mau nyakitin dia hanya karena ingin sama-sama move-on dari patah hati. Untungnya, saat itu, gue mampu memberi pengertian sehingga Olivia tidak merasa ditolak. Kami berteman baik sampai sekarang, seperti gue ke Alexa.
"Kok malah ngelamun?" Olivia menyiku lengan gue. Gue cubit pipinya.
"Perempuan secantik kamu tuh, nggak pantas sama laki-laki macam aku. Pantasnya jadi pendamping pangeran artha cahaya."
"Juna, ih, jahat banget." Olivia menjulurkan lidah sebelum kembali jaga image karena beberapa artis serta pemilik rumah produksi menyapa.
"Masih nunggu Alexa?" Rupanya Olivia masih penasaran. Dia melempar tanya itu satu menit sebelum acara dibuka. Gue tersenyum jahil. Save by the host, sehingga gue nggak perlu menjawab pertanyaan yang sangat jelas jawabannya.
*
Alexa
Aku tergesa menaiki taksi yang baru saja menurunkan penumpang di pintu kedatangan. Aku tidak punya waktu menunggu antrean taksi sebab waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Kalau tidak salah lihat undangan yang dikirim Juna minggu lalu, ajang festival film akan dimulai pukul delapan malam.
Di taksi, aku menyalakan lampu kabin. Touch-up secepat yang aku bisa. Aku sudah mengganti pakaian ketika turun dari pesawat. Mengenakan gaun hitam sederhana agar tidak menarik perhatian. Lagi pula, Juna bilang, kalau aku menang, Terry yang akan mewakilkan.
Aku sengaja merahasiakan kedatangan dari Juna dan manajemen RR, termasuk Ratih. Karena terlanjur mengatakan tidak datang.
Ajang Festival Film Indonesia adalah impianku sejak menjadi anak buah RR. Ajang bergengsi yang menempatkanku sebagai nominasi aktris pendatang baru terfavorit.
Mataku berlinang ketika Juna memberitahu. Beruntung kami hanya saling menyapa melalui media Whatsapp, sehingga Juna tidak melihat cairan bening itu meleleh di pipiku. Sayangnya aku tidak bisa datang karena masih harus mengantar Bu Sari radioterapi sebelum kembali ke Indonesia.
Tapi takdir berkata lain. Tanpa sengaja Rena mengetahui soal undangan itu. Dia dan Bu Sari memaksaku menghadiri acara tersebut. Rena mengatakan dia yang akan mengantar Bu Sari kembali ke Indonesia setelah radioterapi selesai. Rena diizinkan cuti kuliah.
"Sudah terlalu banyak yang kamu lakukan untuk kami, Alexa," kata Bu Sari saat itu. Keadaan Bu Sari sudah jauh lebih baik. Bu Sari sudah tidak mengalami batuk beruntun. Dari hasil pemeriksaan darah penanda tumor serta MRI, tumor di paru-paru Bu Sari sudah mengecil, dari ukuran diameter sebelumnya enam senti meter menjadi satu senti meter, tanpa penyebaran. Karena itu aku menyanggupi pintanya.
Di sini lah, aku sekarang. Berjalan cepat di karpet merah di antara kilat cahaya kamera pencari berita. Penampilanku yang tidak menyolok tidak mendapat perhatian besar dari media.
Acara sudah dimulai. Aku diizinkan duduk di kursi yang tidak sesuai undangan. Dari kursi paling belakang aku melihat Bunga Citra Lestari menyanyikan lagu terbarunya.
Ketika pembacaan nominasi aktor pendatang baru terbaik jantungku berdegub kencang. Aku menunduk dan berdoa.
"Arjuna...." tepuk tangan meriah membahana seisi ruangan. Mataku memerah. Meski tidak mendapat penghargaan sebagai aktris pendatang baru terfavorit namun aku bahagia untuk Juna. Dia layak mendapat penghargaan tersebut.
Juna muncul di tengah panggung, mengangkat piala dengan bangga. Tak terasa air bening mengaliri pipiku.
Juna berdiri di mimbar memegang mic memulai pidatonya. "Assalamualaikum. Selamat malam." Tepuk tangan kembali membahana. Beberapa siulan ikut terdengar.
"Terima kasih atas kepercayaannya. Jujur saya tidak menyangka bisa berdiri di sini memegang tropi ini." Tepuk tangan kembali membelah ruangan.
"Piala ini saya persembahkan untuk RR manajemen yang telah banyak membantu mewujudkan mimpi ini." Juna diam sesaat. Menebar pandangan ke sepenjuru ruangan. "Terlebih untuk dua perempuan yang sangat saya sayangi. Mama dan Alexa. Tanpa mereka, saya tidak akan pernah seperti ini." Riuh kembali terdengar. Beberapa tamu undangan ada yang berdiri termasuk aku. Air mataku tak henti berderai. Haru menyeruak kalbu. Raga serasa terbang.
Aku tidak mengira, Juna tanpa sungkan menyebut namaku di ajang sebesar ini. Meski tidak bertanya, kadang Ratih mengabari soal Juna. Juna yang masih setia menjomblo. Juna yang masih menyimpan cinta untukku.
Selama ini, aku hanya berusaha menyembunyikan rinduku padanya. Selama Juna tidak mengatakan apa-apa dan hanya bercerita soal kesehariannya bila kami melakukan video call atau bertukar kabar melalui Whatssapp. Aku mengira, Juna nyaman dengan hubungan pertemanan kami. Tapi, malam ini, aku kembali merasakan kerinduan. Kerinduan yang belum terlampiaskan meski telah melihatnya di depan sana.
*
Juna
Sesuai perkiraan, wartawan bakal ngerubutin gue sepulang dari acara ini. Terry dan Ruly sudah koordinasi dengan beberapa bodyguard RR agar segera membawa gue ke mobil tanpa bertemu wartawan. Anehnya, gue menolak.
Meski itu untuk kebaikan gue, tapi gue sadar, menghindar tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka akan terus mengejar dan itu tidak baik buat Mama yang tidak terbiasa dengan liputan media. Mama bakal tidak tenang tinggal di rumah Oma sebab wartawan sudah tahu di mana gue tinggal sekarang.
Gue pilih menghadapi pers. Sebelum mulai sesi wawancara gue berdoa semoga yang gue lakukan tidak berdampak buruk pada popularitas dan nama baik RR.
Awal-awal mereka bertanya soal perasaan gue memenangkan ajang festival film bergengsi itu. Gue jawab dengan gamblang.
Tetapi, begitu mereka tanya mengenai pernyataan pidato gue soal Alexa, gue mulai berkeringat.
"Mas Juna balikan lagi sama Alexa? Bagaimana dengan Olivia? Kalian kembali mengalami cinta segitiga?" Pertanyaan memborbardir tanpa ampun.
Gue pasang muka tenang meski jantung berdebar kencang.
"Memangnya harus pacaran, ya, kalau sayang ke seseorang?" kelakar gue yang bersambut tawa pers.
"Jadi Mas Juna pilih Olivia atau Alexa?" tanya wartawan perempuan berambut gimbal.
"Saya pilih kamu saja," kelakar gue lagi yang bersambut keriuhan pers.
"Jadi, Mas Juna kembali pacaran dengan Alexa?" serobot wartawan lelaki bermata sipit yang susah payah mengangsur recorder ke depan bibir gue.
"Ya, kami kembali pacaran." Suara lantang itu terdengar di antara bingar wartawan yang langsung putar arah ke sumber suara.
Jantung gue mencelus. Mengucek mata tidak percaya. Alexa!
"Maaf, saya telat datang karena langsung terbang dari Brisbane." Alexa mengusap keningnya yang berkeringat. Gue yang masih terpana hanya terpaku memandangnya tanpa berkedip.
Seperti mendapat durian runtuh, para wartawan makin semangat melontarkan pertanyaan. Alexa menjawab tanpa terlihat tertekan. Ternyata, satu tahun, mengubah Alexa cukup banyak.
*
Alexa
Juna menatapku speechless.
"Selamat, ya, Jun," kataku setelah kerumunan wartawan lerai. Aku maklum melihat reaksi Juna. Jangankan dia, akupun terkejut dengan reaksiku. Reaksi yang muncul begitu saja melihat Juna didesak wartawan.
Juna menerima uluran tanganku. "Bagaimana kamu ah..." Juna menyisirkan jemari ke rambutnya. Dia menggigit bibirnya menatapku tidak percaya. "Bagaimana kamu datang tanpa memberitahu?" Dia memasang wajah protes.
Aku sudah memikirkan ini belasan kali. Dan mungkin ini saatnya.
"Aku datang karena merindukanmu."
Juna kembali terpaku. Pria itu tidak bergerak dari posisinya. Dia pasti tidak mengira aku berani berujar demikian. Tidak Juna, aku tidak gegabah. Aku telah memikirkan ini belasan kali. Sejak Ratih cerita soal perasaanmu yang dia ketahui melalui Ruly. Sejak aku merasakan rindu yang tidak biasa, enam bulan setelah kami pisah. Sejak aku sepenuhnya merelakan Arya pergi. Aku hanya menunggu waktu yang tepat.
"Iya, kamu nggak salah dengar," kataku lagi demi meyakinkannya. "Aku. Rindu. Kamu."
Sedetik kemudian, tubuhku berada dalam pelukan Juna. Pria itu mendekapku sangat erat seolah akan kehilangan.
"Jun..." aku berusaha melonggarkan dekapannya. Meski luar gedung mulai sepi namun aku masih merasa sungkan.
"Ini bukan mimpi kan, Lex?" suara Juna terdengar bergetar di telingaku. Aku mengangguk. Kulepas pelukannya.
Juna menarikku ke halaman samping yang lebih sepi. Di bawah pohon yang diterangi lampu taman Juna mencubit lengannya. "Ini bukan mimpi," desahnya lega.
Aku menarik tangannya. Kami saling bersitatap. Aku mendegut ludah sebelum bicara.
"Selama ini kamu yang selalu datang mengejarku. Kali ini, biar aku yang datang." Kuelus rambut klimis Juna. Kutatap bola matanya yang berkaca.
Hatiku berdebar kencang. Tidak mengira hari pengakuan itu jatuh malam ini. Malam yang tidak kurencanakan.
Juna meraih wajahku, mengecup lembut rambut, dahi, mata, hidung, pipi, dan bibirku. Air matanya menetes di pipiku.
"Terima kasih, Lex. Sampai kapanpun, akan selalu kamu." Matanya mengunci erat mataku.
Aku mendesah lega. Untuk pertama kalinya, ketika Juna menyentuh bibirku, yang kubayangkan bukan Arya. Melainkan pria tampan yang sekarang berdiri di hadapanku, memakai tuxedo hitam, menatapku penuh cinta
---------------------------------------------------------
Nah, sudah tahu kan jawaban endingnya yang mana?
(D) dong pastinya. Alexa kembali dengan Juna. Arya tidak dengan siapa2 (karena meninggal), Winona tetap menjanda (janda karena ditinggal mati)
----------------------------------------------------------
Mau lanjut baper? Lihat video No One But You di Youtube Angelique Puspadewi 😍

No One, But YouWhere stories live. Discover now