After Losing You

82 4 0
                                        

Alexa
Ada saat di mana kelopak mata memilih pejam. Menafsikan benda sekeliling agar tidak mengingatkan sesuatu pada. Pada bingkai berisi fotoku dan senyum Juna yang merekah, seakan lengan yang melingkari pinggangku kala itu adalah berkah yang patut dia syukuri. Pada foto keluarga yang berisi aku, Papa, Arya, Winona dan kedua anaknya. Senyum Papa yang sama rekah dengan Winona, sementara aku dan Arya yang sama kaku. Pada foto Mama yang belasan tahun lalu meninggalkanku. Pada semua kenangan yang beberapa minggu ini berusaha kuhindari. Agar dapat merampungkan syuting film yang tinggal beberapa hari itu tidak berantakan.


Aku tetap Alexa, perempuan bercara bodoh yang berusaha profesional demi mempertahankan satu-satunya alasan hidup. Beruntung Tuhan mengabulkan.


Hari ini aku bebas. Bebas memejam. Bebas berair mata. Bebas bermalas. Aku hanya tinggal berdua dengan Mbok Sarmi. Sejak Arya pergi. Sejak Juna pergi.


Hari ini, hari ke delapan Arya pergi. Hari ke sepuluh Juna pergi. Arya pergi karena keinginannya sendiri. Juna pergi karena pintaku.


Hari ini, hari pertama aku kembali jadi pengangguran, sebelum film selesai diedit, masuk badan sensor, lalu muncul di bioskop. Sebelum kembali aktifitas promo film dan menyungging senyum munafik.


Hari ini aku hanya ingin sendiri. Kutolak tawaran Ratih menemani. Aku ingin melihat diriku lebih jernih. Membiarkan hati mengolok diri. Atau membiarkan otak mencari kebahagiaan sendiri. Misalnya, mengulang semua kenangan indah yang pernah ada. Akan kubiarkan diri ini memilih sendiri. Sehari saja. Terbebas dari si munafik, Alexa.


Kutegakkan tubuh yang semula merebah dengan mata yang masih terpejam. Bak pimpinan orkestra, tanganku bergerak gemulai. Membayangkan telinga menangkap musik Beethoven. Muncul bayangan ketika kecil. Papa yang setiap pulang kerja selalu menyorongkan kedua tangan untuk menggendongku. Menciumi wajah serta rambutku dan berkata, "kamu asem, tapi papa suka." Kemudian aku cemberut lalu Papa merayuku dengan plastik bawaan ayam siap saji dan susu ultra cokelat. Aku yang semula belagak cemberut lalu tertawa berseri. Kurasakan senyumku ikut mengembang mengenang masa itu. Papa, Alexa rindu. Saat terbaik adalah saat bersama Papa, yang meski sering melarangku ini-itu, tetapi selalu memberi waktu mendengarkan dan memberi peluk kehangatan.


Ingatanku meloncat ke usia remaja, saat menarche, haid pertama yang membuatku menangis di kamar mandi, tepat satu tahun setelah kepergian Mama. Papa yang saat itu sedang membaca koran di meja makan tergopoh mengetuk pintu kamar mandi. Aku tidak bersedia membuka sebab malu. Lalu Papa dengan kelembutan yang dipaksakan berhasil menggerakkan tanganku menggeser engsel kunci. Papa memeriksa kepala, sela kuping, wajah, leher, tangan, kaki, hingga sela-selanya dengan teliti, lalu menatapku dan bertanya, "apa yang sakit, Lex?" Aku kecil menggeleng tetapi kedua tanganku seolah memberitahu melalui tangkupan tangan di antara sela paha. Papa lalu memutar tubuhku seperti sadar sesuatu. Darah samar di rok belakang menegaskan dugaan Papa. "Tidak apa, Lex, artinya kamu sudah remaja." Papa lalu memelukku dan mengusap kepala hingga tenang. "Alexa, takut, Pa," rengekku. "Tidak apa, sayang, Mama pasti senang sekarang punya anak gadis. Semua perempuan akan mengalami ini ketika beranjak dewasa." Sebenarnya aku tahu, hanya saja, aku takut dengan perubahan diriku. Yang paling mengharukan, Papa pergi ke warung beli pembalut untukku. Menghampiriku di kamar, tanpa sungkan mengajariku memakai pembalut. Papa yang nampak gagah di mataku kala itu berubah menjadi selembut Mama.


Secara acak pikiranku mengajak berselancar ke musik rhythm and blues, bergantian antara Marcel dan Glen Fredly. Mengenang Arya. Bayangan sembilan hari lalu. Satu hari setelah putus dari Juna. Dan satu hari sebelum Arya pergi.


"Aku lega kamu kembali syuting. Besok, aku ke Sydney," ujar Arya yang tidak berani menatapku. Sepatu mengilap lebih menarik perhatiannya. Masih kuingat malam itu, kami bertemu di Anomali Kafe.

No One, But YouTempat di mana cerita hidup. Terokai sekarang