When Holiday Comes

131 4 0
                                    

Alexa
Thanks God, its wrapped!
Beberapa kru Zugher menyalami aku, Juna, Olivia, serta Bustomi. Wajah keempat perwakilan rumah produksi itu nampak puas.
"Cant wait to watch the whole scene," kata pria bule bermata biru yang menurutku paling tampan di antara keempatnya. Pria itu menepuk punggung tanganku dua kali seraya mengerdipkan satu mata.
"So do i." Juna yang membalas. Entah sejak kapan pria itu berdiri di sebelahku, luwes menjabat tangan pria bule itu.
"Good job. You both damn good," puji bule tampan itu lagi. Semenit kemudian, entah bagaimana caranya, bule tampan itu beringsut dari hadapanku. Berjalan berdua Juna menghampiri Olivia.
Aku berpaling ke Bustomi, menyalami sutradara hebat itu. "Makasih Bang, sudah bikin ending yang cepat dan manis."
"Heh, masih harus syuting di Lembang. Belum kelar ini," tanggap Bustomi cengengesan. Aku menepuk dahi turut tertawa.
"Paling nggak, RR kasih kita liburan seminggu," kataku usai tertawa. Bustomi manggut-manggut lalu mengambil ponselnya yang berdering-dering.
"Mister Junot," katanya sambil berlalu dari hadapanku.
Aku menengadah. Menatap langit Sydney yang hari ini sangat cerah. Besok aku akan meninggalkan kota paling sibuk di Australia ini menuju Brisbane. Kembali mencari solusi masalah Arya dan Rena.
Aku tahu itu bukan urusanku. Urusan Arya dengan Winona. Urusan keluarga Rena, semua di luar kewenanganku. Masalahnya, Winona minta bantuan mengembalikan Arya. Sementara membantu Bu Sari menelusupkan kebahagiaan tersendiri yang aku tidak tahu apa. Melihat Bu Sari membuatku ingat Mama. Aku ingin, dalam hidup yang singkat ini, berguna untuk orang lain.
Dulu, aku tidak dapat melakukan karena keterbatasan finansial. Lalu Tuhan mengirim Winona menjadi malaikat finansial buatku dan Papa. Aku dan Papa mendapat perawatan yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Meski, dulu, Winona punya tujuan lain, setidaknya, dia tetap orang asing yang mendadak muncul di kehidupan kami.
Jadi, sekarang, bila aku ingin membantu Rena rasanya tidak berlebihan. Aku punya kelebihan finansial. Bila dulu untuk Papa, sekarang untuk Bu Sari.
Satu lagi, kulakukan juga demi Arya. Entah kenapa, tapi bila Arya mengkhawatirkan Rena, maka aku pun harus.
Rencanaku membawa Bu Sari ke Brisbane. Mencari second opinion. Rena bisa bertanya ke pengajarnya di Griffith, barangkali ada pengobatan terbaru bagi penderita kanker paru stadium lanjut. Setelah ada saran baru kami pikirkan lebih lanjut. Pengobatan total di Brisbane atau melanjutkan di Jakarta berdasar referensi dokter sebelumnya. Masalah biaya, kubantu semampuku, ditambah Juna dan Arya. Bila masih kurang, aku bisa menggalang dana melalui media sosial. Bukankah, Tuhan membantu orang-orang yang berniat membantu sesamanya. Tuhan Maha Kaya, kenapa harus takut?
Tawa yang berderai dari ujung sana mengusik lamunan. Aku menoleh dan lagi-lagi, kedapatan tatapan Juna, meski sekilas, menimbulkan irama berbeda di hatiku..
Entah kenapa, beberapa hari ini, ada yang berbeda pada perasaanku ke Juna.
*
Juna
Darah gue berdesir. Segera gue larikan pandangan kembali ke Olivia dan Scott, pria bule yang beberapa menit lalu bikin dada gue panas. Enak saja dia megang tangan Alexa lebih dari lima detik. Kampret! Gue nggak rela.
Untung gue berhasil narik Scott ke sini. Mengalihkan perhatian ke Olivia yang nyatanya berhasil bikin Scott ngobrol lama. Yah, laki-laki mana yang sanggup menolak pesona Olivia. Gue salah satunya. Tapi itu dulu. Sekarang, Olivia gue anggap sebatas sahabat, yang kalau perlu, bisa gue peluk, buat pelampiasan, selama dia nggak protes.
Jahat sih, gue. Tapi mau gimana lagi, perasaan bukan hal yang bisa gue atur semaunya. Lagi pula Olivia tidak keberatan. Dia tipe perempuan yang tidak mempermasalahkan sentuhan fisik. Mungkin karena profesinya yang banyak bersentuhan dengan lawan jenis, Olivia jadi terbiasa. Dia bilang, semua tanpa rasa, kecuali ke pria yang bisa menyentuh hatinya.
"Jun, besok rencana ke mana?" tanya Olivia begitu Scott pergi.
"Ke tempat nyokap di Rosewood sehari terus lanjut surfing di Gold Coast. Gila aja gue jauh-jauh ke Aussie nggak ke Surfers Paradise," jawab gue lantang. Padahal, Gold Coast hanya pelampiasan dari rencana yang mendadak melenceng. Sejak kecupan di lift dan semua jadi bubar.
"Aku kira kamu bakal pergi sama Alexa." Olivia mengedikkan dagu ke Alexa yang masih di posisi sebelumnya, menghadang langit.
Gue manyun jujur, "Nggak diajak." Olivia tergelak.
"Sensitif amat sih, Jun, lama-lama jadi perempuan, kamu," cela Olivia masih tertawa-tawa.
"Kalau sudah menyangkut cinta, bukan cuma cewek yang boleh sensitif," tangkis gue, bikin tawa Olivia makin pecah.
"Udah, ah, aku mau balik hotel, dingin," kata Olivia usai tertawa sembari mengancing mantel yang sebelumnya terbuka.
"Bareng, yuk."
"Siapa takut." Olivia luwes melingkarkan tangannya ke lengan gue. Sambil jalan sambil gue ngelirik Alexa yang masih memejamkan mata. Entah apa yang menganggu pikirannya. Gue nggak punya hak lagi untuk tahu.
*
Alexa
Kami satu pesawat. Ruly bilang Juna mau ke rumah mamanya di Rosewood, sekitar tiga puluh menit berkendara dari Brisbane.
Juna pernah cerita soal mamanya. Miris. Aku turut simpati. Setelah dengar cerita Juna, aku jadi tahu kenapa Juna dulu begitu menyebalkan. Rupanya kehidupan masa kecil Juna jauh lebih rumit dari aku.
Dia duduk dua seat lebih depan dariku. Bersebelahan dengan Ruly. Kupikir, Olivia bakal liburan bareng Juna. Melihat kebersamaan yang intens beberapa hari terakhir. Mengingat tawa lepas Juna saat bersamanya, mereka layak jadi pasangan. Nyatanya, tadi pagi sebelum ke bandara, Olivia bilang akan pergi ke Melbourne mengunjungi sepupunya. Entah, aku harus senang atau sedih mendengarnya.
Seharusnya, ada yang menemani ketika dia mengunjungi mamanya. Juna butuh orang yang mendukungnya bila dia, bisa saja, sedih setelah bertemu mamanya.
Bila tidak ada kejadian di lift waktu itu, mungkin aku yang akan menemani Juna. Astaga, kenapa aku jadi keterusan mikirin dia. Ada Ruly yang bisa bantu.
Kualihkan pandangan dari Juna ke hamparan awan melalui sisi jendela pesawat. Pikiranku berpindah ke Arya. Dia berjanji menjemput di bandara. Arya sengaja cuti satu hari untuk mempertemukanku dengan Rena. Dari bandara kami berencana mengunjungi kampus Rena dan membahas soal Bu Sari.
*
Juna
Gue jelas kaget lihat Arya. Kikuk gue salamin pria itu. Sambil bertanya dalam hati apakah dia tahu gue sudah putus dari Alexa?
"Alexa nggak bilang kamu ikut." Gue garuk kepala yang tidak gatal mendengar ucapan Arya. Kenyataannya, memang gue nggak ada urusan di Brisbane. Bandara ini hanya persinggahan menuju Rosewood dan Gold Coast.
"Gue mau ngunjungin nyokap ke Rosewood," jawab gue canggung.
"Oh, nggak jauh, bisa kuantar."
"Nggak usah," tolak gue langsung. Ruly memandang gue seolah ngomong, 'bego amat, bos, nggak mau di antar'
"Ya, sebaiknya di antar," cetus Alexa membuat mata gue kembali nyelonong menatap dia. Dada gue berdebar nggak karuan.
"Kebetulan aku sewa mobil enam seat. Kita berlima," kata Arya sambil telunjuknya menghitung. Ruly dan Ratih mengangguk semangat.
Entah bagaimana akhirnya gue mengiyakan.
*
Alexa
Kuhela napas lega. Entah bagaimana Tuhan mengabulkan keinginan menemani Juna ke Rosewood dengan cara tak terduga.
"Janjian sama Rena jam berapa?" bisikku ke Arya sebelum dia ambil mobil. Arya melihat arloji. "Masih ada waktu tiga jam. Kebetulan Rena ada praktikum siang ini."
Di mobil situasi sedikit canggung. Sepuluh menit pertama kami hanya saling diam mendengarkan radio lokal. Arya menatap lurus ke depan. Juna yang duduk di sebelahnya serius menatap ponsel. Ratih menatap ke luar jendela sementara Ruly memejamkan mata.
Sementara aku sibuk memperhatikan gestur Arya dan Juna bergantian.
"Mamamu, sudah berapa lama tinggal di Rosewood?" akhirnya Arya memecah kebekuan. Kulihat Juna memasukkan ponsel ke saku jaket lalu menjawab Arya.
"Entahlah, kami tidak akrab." Jawaban Juna cukup mengejutkanku. Juna bukan pria yang suka mengumbar masalah pribadi. Apa lagi di mobil ada Ratih dan Ruly. Ruly mungkin tahu karena asisten pribadinya, tapi Ratih?
"Oh." Tanggapan Arya selanjutnya kembali membekukan suasana. Kuasumsikan Arya sama terkejut denganku. Mendadak canggung dan tidak tahu harus menanggapi apa.
"Sudah berapa lama di Brisbane?" Ah, aku bersyukur Juna menggeser topik.
"Sekitar tiga bulan."
"Oh." Juna lantas terdiam. Aku jadi merasa bersalah. Ide mengantar Juna sepertinya kurang baik untuk situasi kami saat ini.
"Winona tahu Mas Arya di sini?" pertanyaan Juna selanjutnya meremangkan kudukku. Aku belum cerita soal Winona ke Juna.
"Mmm, kami akan segera bercerai," jawab Arya mantap.
Mataku nyaris mencolot. Bukan hanya aku yang terkejut, Ratih menyenggol sikuku, matanya menghujam tanya..
"Oh." Juna terdiam dan perjalanan kami kembali canggung.
*
Juna
Gue mendadak gerah. Gue buka kaca mobil demi menyerap udara sejuk. Gue butuh tetap waras dalam perjalanan kurang lebih dua puluh menit ini.
Berbagai dugaan sontak mengepung benak gue.
Sudah tahu, kah, Alexa sejak dari Jakarta?
Ikut andil, kah, Alexa dalam usaha perceraian ini?
Akan, kah, mereka menjalin hubungan setelah Arya bercerai?
Apa yang akan mereka lakukan selama seminggu di Brisbane?
Apakah mereka berselingkuh karena Oom Firman sudah tidak ada?
Gila! Harusnya gue pikirin ini dari jauh hari. Pantas Alexa nggak ngasih gue kesempatan. Pantas Alexa sesedih itu waktu gue ngecup pipinya di lift. Ternyata semua untuk ini!
Gue turunkan risleting jaket yang terasa menyekik. Gue harus secepatnya ke luar dari mobil ini agar emosi ini nggak meledak parah.
*
Arya
Maaf, Jun.... Aku tahu ini nggak adil. Untuk sekali ini, aku ingin menjadi egois.
Jika kamu dalam posisiku mungkin akan berpikiran sama.
Sekali saja dalam hidupku melakukan hal yang kuinginkan tanpa intervensi orang-orang yang mudah menuding tanpa memikirkan posisi orang yang dituding. Aku belum tahu akan seperti apa. Sementara aku hanya akan menunjukkan egoisme dalam bentuk seperti ini. Membiarkan perasaan terbaca satu demi satu.
Kuakui ide mengantarmu terbit setelah semalam Alexa mengatakan kalian sudah putus. Itu sebabnya aku sengaja menyewa mobil enam seat.
Aku bersyukur kamu bertanya soal Winona. Memang itu yang kuharap. Entahlah, mungkin aku sudah tidak waras.
Demi Alexa, biarkan sekali ini aku berpikiran sempit.
*

Alexa
Mama Juna sedang tidak di rumah. Aku tidak punya kesempatan bertemu.
Sejak turun dari mobil, wajah Juna beku. Wajah itu seperti hendak menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Aku sungguh khawatir.
Sebenarnya aku ingin menunggu. Aku ingin menemani Juna melewati detik pertama bertemu mamanya. Tapi kami kehabisan waktu. Arya mengajak kembali dan aku tidak mampu menolak.
Juna seperti sengaja menghindariku. Dia hanya menyalamiku sambil melihat ke arah lain. Dia bahkan tidak mengantar sampai ke mobil. Biarlah, perasaannya sedang kacau balau, aku tidak dapat memaksa masuk ke dalamnya.
Dalam hati aku hanya dapat berdoa yang terbaik bagi Juna.
Sebelum masuk mobil, kupanggil Ruly, kuminta dia menjaga Juna.
"Sebenarnya yang dibutuhkan bos hanya Mbak Lexa," bisik Ruly sebelum melangkah mundur dan melambaikan tangan.
Hatiku basah. Aku tahu namun tidak dapat berbuat apa-apa..
*
Arya
Usai mengantar Ratih ke hotel, aku dan Alexa ke kampus Rena. Gadis itu telah menunggu di kursi taman kampus yang menghadap danau kecil.
Alexa nampak canggung ketika menyalami Rena. Matanya menelisik atas bawah, kuasumsikan Alexa sedang menilai Rena. Hal ini Alexa lakukan sejak dulu. Acap kali aku mengenalkan dia pada teman wanita.
Aku jadi ingat ketika dia berkenalan dengan Gendis. Ada saja yang dikomplain Alexa dari wanita itu. Padahal secara fisik aku menilai Gendis tidak punya kekurangan. Tapi di mata Alexa, berat badan Gendis tidak sesuai dengan tingginya yang menjuang bak model cat walk, pipinya terlalu tirus, kulitnya terlalu pucat, pemulas bibirnya terlalu berkilau, dan masih banyak lagi yang membuatku berkesimpulan bahwa Alexa tidak mengizinkanku bersama wanita selain dia.
"Ini kubelikan minum." Ucapan Rena memutus khayalku. Kuterima coke yang masih dingin. Kubukakan untuk Alexa lalu kuberikan padanya.
"Kalian bersaudara tetapi tidak mirip," kelakar Rena usai meneguk cokenya.
"Kami memang tidak sedarah," jawabku enteng. Alexa melirik protes namun tak kuhiraukan. Mulai sekarang aku ingin terbuka soal segalanya. Ada perasaan yang menarikku melakukan hal itu.
Mendengar ucapanku Rena nampak kikuk. "Maaf," katanya yang kutanggapi dengan kibasan tangan.
"No worries. Sekarang kita bahas soal ibumu," kataku tak ingin membuang waktu.
"Ah, ya, Alexa, terima kasih sudah menyempatkan waktu mengantar ibuku. Santi cerita soal kamu dan pacarmu, ehm, maaf aku lupa namanya."
"Juna," sahut Alexa. "Dan dia bukan pacarku lagi." Entah kenapa mendengar jawaban Alexa hatiku lega.
"Oh. Maaf." Lagi-lagi Rena merasa berdosa.
"Apakah kamu sudah bertanya soal terapi terbaru?" kataku memecah kecanggungan.
Rena mengangguk lalu mengutip ucapan profesornya. Bahwa kemoterapi dan radiasi tetap menjadi pilihan pada kanker paru stadium lanjut.
"Jadi, tidak perlu membawa Ibu ke Brisbane. Prof Hans memberiku cuti dua minggu untuk mengurus Ibu. Jadi, bisa, kah, aku meminjam uang untuk pulang? Aku akan segera mengganti, bila telat, boleh kamu kenakan bunga."
Aku mengelus pundak Rena. "Pakai uangku dan kamu tidak perlu ganti."
"Tapi, kamu juga perlu uang itu. Kamu bekerja hingga dini hari pasti karena ada keperluan."
"Hei, aku ini pria. Pria ditakdirkan untuk bekerja lebih keras dari perempuan. Demi masa depan, bukan semata ada keperluan," kelakarku. Namun Rena tetap terlihat enggan.
"Aku jauh-jauh datang ke Brisbane karena ingin menolong Rena. Jadi, aku akan tersinggung bila kamu tidak menerima bantuanku," cetus Alexa yang tiba-tiba saja mengulurkan amplop putih ke Rena.
Rena menoleh ke arahku yang kutanggapi dengan mengangkat bahu.
"Aku pernah berada di posisimu. Jadi, biarkan aku membalas kebaikan orang yang pernah menolongku melalui kamu," jelas Alexa, mengagumkanku.
Rena menerima angsuran amplop putih lalu memeluk Alexa. "Aku tidak mengira, masih ada manusia berhati malaikat sepertimu," ucap gadis itu dengan mata berkaca.
*
Alexa
"Aku bukan malaikat," kataku usai melepas pelukan Rena. Kuseka air bening yang lolos dari sudut mata Rena. "Aku hanya ingin membalas kebaikan Tuhan melalui kamu."
"Tapi kita baru kenal," sahut Rena parau.
"Kita memang baru kenal. Tetapi kita sama-sama keturunan Nabi Adam. Lagi pula, sahabat Arya adalah sahabatku. Seperti orang yang dulu menolongku." Kusunggingkan senyum demi meyakinkan Rena agar tidak merasa sungkan.
"Baiklah. Suatu hari akan kubalas kebaikanmu," janji Rena menggenggam tanganku. Aku mengangguk lembut.
"Kapan kamu pulang?" tanya Arya.
"Mungkin minggu depan. Aku harus menyelesaikan tugas ganda dari Prof Hans," jawab Rena.
"Itu artinya, kamu juga cuti dari Calais?" telisik Arya lebih lanjut. Rena menggeleng cepat.
"Aku butuh uang. Aku hanya akan kehilangan waktu tidur dan itu tidak masalah."
Aku kagum mendengar ucapan Rena. Arya benar, Rena adalah gadis yang penuh semangat. Melihat gadis itu, entah kenapa aku yakin, dia dan Arya murni berteman.
"Kalau begitu, belilah tiket untuk hari senin minggu depan. Aku berharap dapat satu pesawat denganmu," pintaku setelahnya.
"Akan kulakukan," sambut Rena berbinar.
"Ah, ya, bagaimana kalau kita foto. Ibu dan Santi pasti senang melihat kita bertemu," imbuh Rena. Aku dan Arya mengangguk setuju.

No One, But YouWhere stories live. Discover now