Decision

72 5 2
                                    

Juna
Gue senyum-senyum sendiri. Ide pacaran pura-pura bikin gue balik semangat. Pagi ini matahari kelihatan lebih cerah. Kamar gue kembali berisi. Dahsyat! Gue geleng-geleng ngetawain diri sendiri sambil ngacak rambut yang nge-jigrak sambil berujar, "lo emang menyedihkan, Jun."
Mungkin ini karma. Waktu SMP, gue antipati sama yang namanya film Romeo dan Juliet. Saat teman-teman cewek sekelas heboh nyeritain film yang menduduki peringkat pertama di bioskop tahun itu, gue gusar sendiri. Gue sempat mencap Shakespeare penulis cengeng. Gue juga menobatkan dia sebagai penulis yang bukunya tidak akan pernah gue sentuh. Mengagungkan cinta seperti tidak ada hal lain yang lebih penting dalam hidup. Mana mungkin cinta sejati ada? Mana mungkin ada yang rela minum racun supaya bisa mati bersama orang yang dicintai? Omong kosong! Hanya dongeng! Ilusi! Halusianasi! Mama yang mengandung gue saja tidak mampu memberi cinta.
Sekarang, gue pengin ke toko buku dan baca tulisan Shakespeare dalam versi asli. Gue pengin belajar gimana mempertahankan cinta sejati. Kalau memang cerita itu benar seperti yang mereka gemborkan dengan adanya rumah Juliet di Verona, maka kisah gue tidak ada seperberapanya. Tidak ada yang menentang hubungan gue dengan Alexa. Tidak harus ada yang mati demi menghadang atau mempertahankan cinta. Gue hanya perlu usaha lebih agar kadar cinta Alexa ke gue bertambah. Alexa pernah bilang dia mencintai gue. Hanya saja kadarnya tidak sebesar cinta dia ke Arya. Jadi, yang perlu gue lakukan tetap positif mengejar cinta Alexa sampai gue benar-benar lelah dan berhenti sendiri. Seperti yang pernah gue lakuin ke Olivia dulu.
Ponsel yang berdering di bawah bantal membuyar lamunan. Gue angkat cepat meski nama yang tertera di layar tidak sesuai harapan. Gue sedang bahagia dan telepon ini nggak boleh mengubah suasana hati gue.
"Can i help you, Ma'am?" sapa gue ceria. Pasti yang menelepon dari benua sana terkejut.
"Ini, kamu, Juna?" Mama menyahut tak percaya sesuai dugaan.
"Ya, Ma, kenapa?" Nada suara gue nggak berubah. Entah kenapa pagi ini kekesalan seolah menguap bersama embun pagi. Yaelah, anjrit, kenapa gue jadi puitis gini?
"Kapan kamu ke sini? Mama rindu," rengek Mama. Gue yang biasanya bosan mendengar pintanya karena tahu Mama nggak betulan rindu, kali ini malah menjanjikan sesuatu. Mungkin ini saatnya doa Mama terkabul.
"Bulan depan aku syuting di Sydney. Mama tunggu saja. Siapa tahu aku bisa mampir ke Rosewood."
"Benar, kah?! Kamu harus mampir, sayang." Mama menjerit. "Terima kasih Tuhan mengabulkan doaku. Terima kasih, Jun, anak kesayangan Mama. Malam ini Mama bisa tidur nyenyak."
Terserah. Suka-suka Mama. Gue tersenyum tipis. Yang penting hari ini gue bahagia membayangkan dapat kembali dekat Alexa meski hanya sebagai pacar pura-pura.
*
Alexa
Kulangkahkan kaki memasuki ruangan Mister Junot setengah hati. Padahal ini adalah impianku. Masuk ke ruangan Mister Junot setelah menjadi anak buahnya yang berprestasi. Diajak minum teh bukan karena disuruh membuat skandal seperti tahun lalu melainkan diajak diskusi bagaimana meningkatkan prestasi. Selain itu aku juga harus melihat surat kontrak Film Sunshine. Vera bilang aku boleh negosiasi soal pembayaran. Bisa dibilang, derajatku naik. Tetapi kenapa kaki seperti enggan melangkah.
"Lex." Ada yang menjawil bahuku. Karena sedang melamun jadi tidak ngeh. Ketika membalik badan tubuhku mendadak beku. Juna. Aku belum tahu harus bagaimana sebagai pacar pura-pura
"Kita masuk sama-sama," ujar Juna yang tanpa permisi menarik tanganku dalam genggamnya. Aku menahan langkah. Juna menoleh bingung. "Kenapa?"
Mataku beralih ke genggaman tangannya. Seperti sadar dia lalu melepasnya. "Ehm. Maaf. Tetapi mereka belum tahu kita putus. Mister Junot pasti senang lihat kita mesra. Tidak perlu membangun kemistri untuk Sunshine," dalih Juna, yang cukup cerdas di mataku. Karena setelah itu aku tidak bisa menolak.
Kuikuti langkah Juna masuk ke ruangan Mister Junot setelah mengetuk pintu. Tanganku terasa hangat dalam genggamnya.
"Aku senang kalian akur. Belum ada yang berani datang ke hadapanku bergandengan tangan." Mister Junot terkekeh. Aku risi. Juna malah terbahak dan mempererat genggaman tangannya.
"Satu setengah tahun lalu kalian menghadapku dengan wajah tegang. Sekarang, lihatlah, kalian seperti daun dengan ranting. Tak terpisahkan." Tawa Mister Junot makin pecah. Aku terpaksa tertawa demi tidak mengecewakan. Meski mungkin, jika ada yang merekam, tawaku terdengar aneh.
"Terima kasih telah menyatukan kami." Juna melepas tanganku dan menyalami Mister Junot yang masih terbahak. Aku lega.
Mister Junot lalu menyilakan kami duduk. Sofa yang sama yang dulu membuatku gerah. Kami berbincang ringan sambil menunggu teh dihidangkan dan Vera membawa surat kontrak.
"Kenapa syuting Sunshine terkesan buru-buru?" tanyaku bosan dengan basa-basi Juna dan Mister Junot. Membahas hal-hal yang membuatku gerah. Rendevouz skandal sampai kami pacaran. Tidak penting. Anehnya Mister Junot setia mendengarkan.
Mister Junot berdeham, "tidak apa kita membahas yang berat-berat sekarang?"
Aku tersenyum tipis. "Memang itu tujuan kami dipanggil," kataku, tepat ketika Wati dan Reni, pelayan khusus Mister Junot pada perayaan khusus afternoon tea, masuk.
Wati membawa nampan berisi empat cangkir dan satu teko ke hadapan kami. Cangkir porselen putih berlukis bunga persik yang sangat cantik. Jadi ini cangkir populer itu? Yang mereka katakan hanya dikeluarkan bagi tamu penting penasehat RR.
Wati menuang teh ke cangkir Mister Junot lalu menuangkan susu perlahan dengan campuran yang sepertinya sudah sangat dimengerti. Ehm, aku pernah dengar bahwa ada perbedaan dari cara menuangkan teh atau susu di Inggris. Teh dulu biasanya dilakukan oleh kalangan kelas atas Inggris, sementara susu dulu adalah sebaliknya. Meski sekarang hal tersebut sudah tidak berarti.
"Mbak Alexa dan Mas Juna pakai gula?" tanya Wati mengejutkanku yang sibuk memperhatikan dia menuang teh dan susu ke cangkirku dan Juna. Aku dan Juna sama mengangguk. "Sedikit saja," jawabku.
Sementara Wati menyelup gula, Reni meletakkan cake stand porselen yang juga berwarna putih yang diisi berbagai jenis kue. Ada cupcake, muffin, dan aneka pastry warna warni. Air liurku langsung berkumpul. Wow, jadi ini suguhan Mister Junot pada tamu istimewanya. Aku jadi merasa sedang berada di Kensington Palace menikmati afternoon tea.
Mister Junot menyilakanku dan Juna menikmati teh dan pendampingnya usai Wati dan Reni keluar ruangan. Ruangan hening sejenak. Masing-masing menikmati sesapan teh melumuri mulut. Rasanya luar biasa. Berbeda dengan teh susu yang biasa kuminum, ada sensasi gurih, sepat dan manis bercampur jadi satu dengan takaran yang sangat pas.
"Silakan kue-kuenya. Aku sudah tua. Hanya bisa makan muffin bagian atas yang memang dibuat tidak manis untukku." Mister Junot tertawa kecil sambil mengambil kue ke dalam saucer porselen.
"Kamu mau apa, Ay?" Aku berdebar. Juna kebablasan dan aku tidak bisa protes. Apalagi di hadapan Mister junot.
"Aku bisa ambil sendiri," jawabku sesopan mungkin. Juna tidak membantah.
"Mmm, mengenai pertanyaanmu tadi. Sebenarnya tidak terburu-buru. PH Zugzher minta sejak tahun lalu tetapi kami belum menemukan pemeran yang paling cocok. Kami sengaja tidak mengadakan open casting sebab ingin RR sendiri yang pegang projek ini. Zugzher bahkan sudah mengucurkan setengah investasinya ke RR enam bulan lalu. Kami tidak bisa mengelak lagi dan terpilihlah kalian." Penjelasan Mister Junot terasa ringan. Tidak terbayang seandainya kami menolak.
Vera masuk seraya memohon maaf atas keterlambatan. Dia membawa beberapa map lalu menyerahkan ke aku dan Juna.
"Olivia baru bisa datang lusa," katanya ditujukan kepada Mister Junot. Mister Junot manggut-manggut seraya meletakkan saucer.
Aku membaca isi kontrak sambil sesekali menyesap teh yang sudah tidak hangat. Sebenarnya apapun isi kontrak aku setuju sebab punya misi yang lebih penting usai syuting Sunshine. Kontrak ini adalah tiketku mencari Arya. Tanpa pikir panjang, usai meletakkan cangkir yang telah kosong, aku minta pulpen untuk tanda tangan.
Vera mengernyit, "kenapa buru-buru?"
"Bukankah untuk Sunshine semua harus serbacepat?" dalihku menutupi kecurigaan.
"Ini yang aku suka." Mister Junot tersenyum puas.
"Kalau begitu aku juga langsung tandatangan. Biar cepat ketemu kanguru." Juna menambahkan jenaka. Tawa kami membelah ruangan.
*
Juna
Gue masih euforia. Tidak peduli protes Alexa usai keluar ruangan Mister Junot menjelang Maghrib. Gue sudah biasa dijutekin. Hanya perlu lebih sabar demi meraih simpatinya.
Buktinya, gue berhasil ajak dia pulang bareng. Gue berhasil sogok Sapri agar pulang lebih dulu alih-alih istrinya yang sedang hamil muda minta di antar kontrol ke dokter kandungan.
"Salat Maghrib dulu di masjid." Gue terkejut mendengar ucapan nada rendah yang meluncur dari bibir Alexa.
"Maksud kamu kita merapat ke masjid dulu sebelum pulang?" ulang gue setengah tak percaya. Seperti mendengar anak gadis yang tidak pernah pacaran lalu minta kawin ke bapaknya. Bukannya tidak mungkin, hanya janggal.
Alexa mengangguk mantap. Gue melongo. Gue suka, hanya saja... mmm, gue penasaran. "Kamu sedang ada masalah?"
"Maksud kamu?" tanggap Alexa kalem.
"Selama ini, kalau kita sedang di mobil menjelang atau saat maghrib, kita menjamak salat di rumah," analisa gue.
"Aku hanya ingin lebih dekat dengan Tuhan," jawabnya datar.
"Mmm, gimana kabar Arya di Sydney?" Gue alihkan topik demi mengubah ekspresi dingin di wajah Alexa. Meski gue nggak suka, tetapi buat Alexa, topik Arya selalu jadi pengubah suasana hati.
Aneh. Alexa malah makin murung. Aih, lagi-lagi gue salah bicara. Eh, jangan-jangan...? Gue makin penasaran.
"Beritahu Arya bulan depan kita ke sana. Dia kan bisa...."
"Kenapa harus bicara soal Arya?" tanya Alexa memutus ucapan gue. Wajahnya berubah kusut.
"Lex, aku nggak maksud gitu." Gue ulurkan tangan hendak mengelus rambutnya tetapi dia tepis.
"Jun, sudah kubilang jangan seperti ini. Aku tahu kamu menderita karena aku dan Arya. Tidak usah bersikap baik. Tunjukkan perasaan kamu yang sebenarnya. Sikapmu yang seperti ini membuatku menderita." Alexa terisak. Ya, Tuhan, kenapa gue selalu bikin dia nangis, sih?
Gue diam seribu bahasa. Beruntung di depan sana terlihat masjid. Gue menepi dan keluar dari mobil tanpa bicara.
*
Alexa
Tidak seharusnya aku sinis ke Juna. Yang salah itu aku bukan dia. Tetapi kenapa keadaan selalu memosisikan terbalik?
Setiap Juna menyinggung soal Arya hatiku sakit. Sebenarnya aku marah pada diri sendiri. Marah melihat Juna terluka. Marah pada cintaku ke Arya yang menyakiti banyak orang. Ditambah masalah hilangnya Arya, aku makin sensitif.
Aku menangis saat bersujud. Memohon maaf atas kesalahan yang telah kulakukan hingga membuat semua kekecauan ini.
Aku berdoa kusyu minta dipertemukan dengan Arya dan diberi solusi atas masalah yang menimpa kami. Aku memohon agar Tuhan menghapus cintaku ke Arya begitu pula sebaliknya. Aku memohon agar Arya dan Winona kembali bersatu. Aku juga mendoakan Juna agar mendapat jodoh yang lebih baik dariku dan memohon kebahagiaan untuknya. Usai berkeluh kesah pada Sang Pencipta, aku merasa lebih tenang.
"Mbak Alexa, ya?" seorang gadis berkerudung merah muda menegurku saat sedang melipat mukena. Aku mengangguk, tersenyum sopan kepadanya.
"Boleh minta foto, Mbak?" Gadis itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangannya.
"Boleh, tetapi di luar saja, ya. Tidak enak foto-fotoan di sini," kataku sok bijak. Padahal aku khawatir mataku terlihat bengkak akibat terlalu banyak menangis. Gadis itu mengangguk dan membuntutiku ke luar.
Di luar Juna sudah menunggu. Menatapku prihatin namun tidak menghampiri dan bertanya ini-itu.
"Masya Allah, itu Mas Juna!" gadis yang tadi membuntutiku menjerit seraya membekap mulut. "Subhanallah. Aku makin kagum sama Mbak dan Mas Juna. Kalian menepi ke masjid untuk salat." Mata gadis itu berbinar. Aku tergerak menepuk bahunya.
"Biasa saja, Dik. Sama seperti adik. Begitu Tuhan memanggil, sudah selayaknya kita datang." Mendengar ucapanku mata gadis itu kian berbinar. Aku jadi malu. Aku tidak seperti yang dianggap gadis ini. Aku baru mau belajar mendekatkan diri pada Sang Khalik. Itu juga karena sedang ada masalah.
"Aku akan minta Juna fotoin kita, ya." Aku yang awalnya mau kabur karena tidak ingin mata bengkakku tertangkap kamera jadi mengurungkan niat. Kupanggil Juna dan minta menjempret fotoku dan gadis bernama Irina itu.
Selanjutnya Irina minta kami foto bertiga. Tidak seperti gadis ABG kebanyakan, yang kadang tidak peduli berjilbab atau tidak, asal bertemu idola, meski lawan jenis, peluk cium begitu saja. Irina berbeda. Gadis itu memilih berdiri di sampingku.
Saat pamit, Irina mencium tanganku dan menangkupkan kedua tangannya saat dengan Juna. Dia muslimah sejati dan aku kagum kepadanya.
"Dia gadis baik. Aku suka dia," kataku begitu mobil yang dikendarai Juna membelah jalan raya.
"Aku setuju."
"Kalau cari istri yang seperti dia," tukasku lagi. "Cantik, berahlak baik."
"Aku setuju."
Aku menoleh ke Juna yang memandang lurus ke depan. Seolah kepadatan jalan ibu kota lebih menarik dibanding membicarakan gadis baik tadi. Sesaat aku teringat doa yang kupanjatkan untuknya di masjid tadi. Lalu kusambungkan dengan kemunculan Irina.
"Kamu pantas mendapat yang seperti itu," ceplosku, agar Juna melek bahwa masih banyak wanita yang lebih pantas untuknya dibanding aku yang ambigu ini.
"Kenapa aku nggak pantas mendapatkanmu?" Bukannya menjawab Juna malah membalik pertanyaan yang membuat rongga dadaku mendadak sempit.
*
Juna
Ngapain ngejodoh-jodohin gue ke gadis itu? Kesal dengan ucapan Alexa, gue balikin omongannya. "Kenapa aku nggak pantas mendapatkanmu." Gue lirik wajah pucat Alexa melalui spion depan.
Hening. Hanya terdengar deru napas gue dan dia. Kebetulan gue juga nggak menyalakan tape. Pas sudah susana mobil bagai kuburan.
"Soal pacaran pura-pura, aku putuskan terima tawaran kamu ." Alexa akhirnya bicara meski bukan jawaban pertanyaan yang gue lempar. "Dengan satu syarat..."
"Apa?" tanya gue nggak mau kehilangan kesempatan.
"Jangan tanyakan yang seperti itu lagi," tutur Alexa lirih. Gue ketatkan rahang sekadar melepas kecewa. Gue harusnya tahu dia nggak bakal ngejawab itu.
"Kalau hanya itu, berarti di depan orang, aku bebas improvisasi. Kamu jangan protes," tekan gue keki. Alexa mengangguk. Gue kebas. Perasaan senang yang tadi pagi mendominasi mendadak lenyap. Gue seperti gadis menstruasi yang mudah berubah mood. Lex, sedalam ini kamu mempengaruhi hidup gue.....
*
Alexa
Ketika masuk kamar dan menyalakan stop kontak lampu, aku terkejut mendapati Winona duduk bersila di atas kasur. Seperti yang terakhir kali kulihat, matanya sembab, wajah kusut masai dengan rambut berantakan. Melihat penampilannya, aku yakin dia belum masuk kantor. Sudah sedepresi itu masih sempat-sempatnya mikirin perusahaan? Aku tidak habis pikir.
"Lex, maaf sudah lancang masuk kamarmu," kata Winona begitu aku mendekatinya. Kuletakkan tas tangan di atas meja lalu menarik kursi dan duduk di hadapnya. Jujur hari ini aku lelah sekali. Tetapi melihat Winona 'berantakan' begitu, aku berempati. Apalagi di perut Winona ada calon keponakanku. Sebisa mungkin kuberi dia perhatian.
"Mbak sudah makan? Lovyta dan Beby di mana?" tanyaku basa-basi. Dalam arti tidak langsung bertanya 'ada apa lagi dia datang'.
"Aku sudah memutuskan, Lex." Winona tidak menjawab tanyaku malah memberi pernyataan.
"Mbak makan dulu, ya? Wajah Mbak pucat. Aku nggak mau sampai ada apa-apa dengan janin Mbak," sergahku kurang menghiraukan pernyataannya barusan.
"Aku pilih ikut mencari Arya. Kamu benar, prioritasku saat ini mencari dia. Perusahaan tidak akan bangkrut hanya karena kutinggalkan beberapa minggu. Lagipula, tanpa Arya, aku merasa semua berantakan dan tidak bertujuan," tutur Winona parau. Aku terkejut sekaligus senang. Winona kembali seperti dulu. Menjadi Winona yang tulus mencintai Arya. Yang membuatku rela melepas Arya demi dia.
"Lalu bagaimana Beby dan Lovyta?" Aku tidak ingin kepergian kami membengkalai kedua putri Winona.
"Ibu dan adikku tidak keberatan datang ke Jakarta menjaga mereka," jawab Winona sendu. Kupeluk dia penuh syukur.

No One, But YouWhere stories live. Discover now