1.Tenggelam

337 15 8
                                    

Kau takkan pernah tau, saat kau mulai berjalan menelusuri banyaknya cahaya, namun yang selalu kau temui adalah kegelapan tersendiri. Aku melangkah mengikuti denting waktu, mengikuti alur perjalanan yang ada lalu tiada. Masa dimana aku merasa bahwa aku dewasa, namun tak kunjung dimengerti, mencari jati diri yang sesungguhnya. Dengan menemukan beribu-ribu orang yang tak pernah ingin ku kenal dalam hidup.

"kau pernah menjadi sebagian dari tanda-tanda kehidupan, kau pernah layak dimiliki semesta. Ketika akhirnya kau yang sadar bahwa ada penantian panjang dari seorang gadis untuk dirimu. Terlelap dia, dan terbangun. Menunggu fajar datang, terlelap kemudian. Kau hiasi dengan pesona suci dari taman firdaus. Mengubah diri menjadi manusia. Manusia yang tak sia-sia selalu menyapa fajar. Kemudian dia selalu terjaga, ini cinta".

Semua orang tiba-tiba memberikan tepuk tangan untuk diriku. Aku senang, aku selalu bisa menulis apa yang ingin ku tulis. Saat sendu bahkan dalam kegelapan sekalipun. Tak mengerti sebesar apapun kesibukkanku.

Tapi setelah mengenal dia, banyak kata-kata yang selalu terlintas di benakku.

Menggerogoti seluruh permukaan otakku. Menghabisi sisa-sisa dari waktuku. Mencabik-cabik isi kepalaku.

Lelaki itu adalah Adi. Aditya Satya yang
selalu ada, selalu menemaniku, hingga saat ini. Sudah 5 tahun aku bersamanya.Sejak kami mulai duduk di bangku SMP, tentunya kelas VII. Hitung saja, seberapa banyak aku selalu menghabiskan waktu dengannya.

Dan kami masih seperti ini hingga sekarang. Adi yang selalu mengantarku pulang di saat hujan deras mulai turun. Aku yang selalu ada di saat dia sedang bermain basket di bawah teriknya matahari.

Tak ada yang bisa menghentikan hujan, bahkan sekalipun jika langit ingin dia takkan memberikan pelangi.

Adi telah pergi, bersama kenangan manis yang tersimpan rapih. Aku sayang padanya. Mengolok diri sendiri, mengiris kesendirian.

Tak peduli dia pada seberapa lama kita bersama, sungguh egois bukan? Menempatkan hati pada tempat yang di puja, namun tak membalas memuja.

Pesan masuk (16.00 pm) :

"gua udah capek sama semua ini, bisa ga? Lo sama kehidupan lo, gue sama kehidupan gue. Mungkin gue butuh waktu buat sendiri. Kayanya lo juga. Gausah sedih, gue gamau lo sedih. Dari awal juga gue udah bilang, gausah berharap orang yang bakal sama lo hari ini, adalah yang bakal terus sama-sama lo:bukan begitu. Makasih atas semuanya"

Itulah pesan singkat terakhir yang dikirimkan oleh Adi, tak ku jawab.
Benarkah tak ada yang lebih sakit daripada di tinggalkan? Tak ada yang setia jika dia tak bersedia.

Aku yang tadinya digenggam erat oleh tangannya, akhirnya terlepas begitu saja. Menghitung banyaknya benih-benih yang pernah kita tanam. Menjelajahi samudera bersama. Ku tuliskan secarik puisi untuk sang malam.

Rupawan

Pernahkah dirimu merasa..
Bahwa di dalam sungai deras..
Kau menjadi keras..

Pernahkah dirimu merasa..
Bahwa di bawah surya..
Kau menjadi sirna..

Pernahkah dirimu merasa..
Bahwa di pucuk daun..
Kau menjadi lampau..

Ku bergurau semata..
Kau mencabik semesta..
Yang dulu kau rasa..

Ku bergurau ria..
Kau menghitung waktu..
Yang sekarang terhenti..

Tak peduli seberapa iri mentari, terlaksana kau bagi muram durja.
Yang tiba-tiba menepi ke ruang bawah tanah. Aku mulai sadari kini, kau bukan lagi ku milikki.
Kita berbeda ternyata, tentang rasa yang ada lalu tiada. Menghidupkan kesempurnaan. Namun, terbuang kesepian.

Aku hanya terdiam diluar cafe tepat di depan sekolahku. Sambil menghitung berapa banyak rintik hujan yang jatuh.
Aku melihat, seorang lelaki berkacamata sedang membawa payung di luar sana, dan terlihat basah sambil memegang buku di tangannya. Ku lihat dia seperti itu, aku merasa iba padanya. Tak ada satu orangpun yang menghiraukannya.
Tiba-tiba aku berinisiatif untuk keluar dari cafe ini, dan menolongnya. Tak ku urungkan niatku. Aku berlari kecil menuju teras cafe.

"heyy, mau di bantuin ga tuh? Kayaknya susah tuh"

Dia kaget, dan langsung melongo.

"boleh" dia menjawab dengan singkat.

Aku hanya tertarik kepadanya, entah mengapa ada rasa ingin membantunya, ada rasa untuk mengemasi pikiran dengan menolong. Entah darimana asalnya.

Aku memperhatikannya cukup lama, alhasil buku yang ku pegang terlepas dari tanganku,
"yaampun, maaf, bukunya jadi basah semua"

"yaudah gapapa"

"hmm gue dinda, gue sekolah di depan tuh, SMA N 2 Sucipto"

"aha iya oke"

"hm, terus nama lo siapa?"

"Raden."

Betapa iri mentari karena telah mandiri. Menemukan seseorang yang membuat hatimu menjadi semakin bertanya, mengapa langit menurunkan hujan? Sedangkan, langit tak ingin menangis.

"makasih ya.."

Setelah itu, hilanglah dia di belahan bumi di bagian yang tak bisa ku lihat.

Selepas pulang dari cafe aku berjalan sendiri memainkan detak jantung, berjalan mengikuti cahaya, mencerna isi kepala, mengisi cairan di dalam hati, mengangkat kepala dan mengaduk pikiran.

"bagaimana bisa tenggelam sendiri di kala serpihan hati meradang di pikiran, lalu sedikit demi sedikit memakan dan menghabisi kesesalan, terbitlah dari lubuk terdalam, mengalir secara bergilir. Bersandar pada dinding, terombang-ambing sedalam keresahan, lalu akupun semakin tenggelam".

"Kau tahu? Apa yang lebih sakit dari kesendirian?"

Katakan pada bintang-bintang yang ingin dipetik, tentang kesendirian yang mencekik.

Setelah waktu yang kau punya terhabisi, lalu terisi dan terhabisi kembali.

Mengulang lembaran baru, tanpa dirinya. Sendiri, mandiri. Kau tertawa di semak-semak kehidupan.

Lalu senyummu terselip di balik rongga-rongga keseluruhan yang mencakup isi kepalamu saja.
Kau menari sendiri dengan lirih, kemudian kau berbisik kecil.

Tak ada yang lebih baik dari ini bukan? Katakanlah padaku, mana yang lebih baik?
Aku tanpamu atau kamu tanpaku?

Selaras hati yang waras, aku masih tetap orang yang sama.

Menanti, sebagai gadis yang mencintaimu dalam derap pengharapan.

Sungguh, aku cinta.

****

Hingga Kau LupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang