"Sungguh, langit menjadi manja. Sungguh, ku menjadi rela. Sajak bahkan tertulis sendiri di atas kertas. Kau menjadi pelumas diri ini, kau berbisik di sehelai kuping. Ku menggiring kepala. Kau tersenyum kecil, ku menari lebih cepat. Kau mengubur dendam, ku bangunkan sang malam dari tidur panjangnya. Aku melepas berat gravitasi dari tubuh, kau mulai terbang. Dan ku ingin selalu terjaga sepanjang hari, terimakasih luka".
Adi pergi, menuju tambatan hati yang lain. Aku melihatnya sedang asik dengan yang lain.
Secepat apakah dia melupakan rembulan yang datangnya saat senja? Membiarkan kenangan menjadi kunang-kunang yang terbang di malam hari.
Ku menangis, bagaikan mengiris hati.Pada kaca-kaca ku tuliskan sebuah makna kehidupan yang tak pernah kulupakan. Pada langit-langit kamar, aku gambarkan sebuah makna cerita dalam kehidupan yang tak dapat ku habisi oleh pikiran.
Aku terlambat, rembulan senja bukan lagi diri ini. Aku sekarang terbiasa, dan dia menjadi binasa.
Untuk apa aku memohon matahari datang? Sedang rembulan tak lagi ada.Aku selalu menuliskan puisi di dalam sebuah cafe tepat di depan sekolahku. Cafe, aku selalu mendapatkan inspirasi, ketika melihat gemericik hujan, dan langkah kaki seseorang.
Dan bell yang selalu berbunyi ketika orang masuk ke dalam cafe. Cafe yang di selimuti nuansa emas, dan di sela pintu serta di ujung gagang pintu bermanjakan warna coklat, dengan tembok berwarna putih, dan pot-pot yang tergantung di depan cafe, serta kaca tembus pandang yang indah.
Jadi, aku bisa melihat rintik hujan, bahkan sang mentari yang tersenyum.
Aku menunggu kedatangan Raden.
Yang tak pernah ku ketahui dirinya.Hanya datang untuk sementara waktu. Terakhir kali aku melihatnya, aku hanya melihat punggungnya hilang di telan malam. Ingin ku cari, kapankah aku menemukan dia lagi? Semua telah sirna, tak ada yang bisa ku tulis.
Hanya rembulan senja yang masih teringat. Padahal diriku bukanlah lagi rembulan senja.
Aku berdiri dari tempat duduk dan meninggalkan cafe.Inginku bunyikan bell cafe, dan ku bunyikan gemericik hujan. Namun sayang, hujan tak turun. Aku berjalan dan mendapati taman yang indah, aku duduk di kursi taman berwarna putih.
Di sebelahku duduk sepasang kekasih, kakek dan nenek.
Kakek itu berjalan dan mendorong kursi roda sang kekasih. Aku tertegun, mereka tersenyum. Pohon-pohon berteriak karena tertiup angin, rumput-rumput menari dengan lembut. Rambutku menikmati angin lembut yang menerpa. Ku tulis secarik puisi untuk alam semesta.Musnahkah aku?
Aku sendiri..
Merasa iri..
Pada sepasang kekasih..Aku tertawa..
Merasa suka..
Pada kursi roda..Aku terjatuh..
Merasa iba..
Pada seseorang..Aku terdiam..
Merasa di rajam..
Pada diriku sendiri..Musnahkah aku?
Tanpa dirimu?Aku menengok ke sebelah kiriku, sepasang nenek dan kakek itu bergurau.
"pernahkah kau bayangkan? Jika kita menjadi pohon, kita akan tetap terlihat, akan tetap kokoh dan kuat, aku dan kamu, kamu dan aku"
Sang kakek bertanya kepada kekasihnya. Lalu, nenek itu menjawab sambil menatap mata kekasihnya.
"aku hanya membayangkan, aku kokoh di antara pohon-pohon itu dan kamu adalah pohon yang masih sama ketika pohon lain sudah tak sekokoh yang dulu"
Dua pasang kekasih itu hanya tertawa, aku menyerngit. Jika pohon-pohon itu runtuh apakah mereka masih tetap bersama? Padahal banyak pohon-pohon yang akan lebih kokoh dari mereka.
"hei, kau anak muda, bahkan orang yang tak kau kenal, bisa menjadi pribadi yang kokoh untuk siapapun. Jangankan sebuah pohon, orang yang kau sayangi, rasa sayangnya akan tetap kokoh jika di bandingkan dengan kekecewaan semata."sang kakek berbicara kepadaku.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan sepasang sejoli yang masih dirundung rasa cinta. Walaupun gurat wajah serta umur tak lagi muda.
Lalu, mereka berdua berjalan bersama, dan meninggalkanku sendiri. Ya benar, mereka pohon yang kokoh.
Aku masih saja di tempat yang sama, duduk di atas kursi taman berwarna putih. Melihat di sekelilingku. Tak kusadari hujan mulai turun, dan aku tak ingin berpindah dari tempat ini.
Ku nikmati air hujan yang menyentuh rongga-rongga kulitku.
Seketika, tak kurasakan ada air yang jatuh lagi."Hujan-hujan gini malah duduk di taman?" aku terbelalak dan kaget.
Aku menemukan dia lagi, pilu ku menjadi malu.
"Raaden. Ko bisa tau gua ada disini?"
"kalo butuh pake aja," dia menyodorkan payung ke tanganku.
"wahh baik banget, berhati malaikat"
"jangan seneng dulu, ini gara-gara kemaren lu udah bantuin gue"
"dih siapa yang seneng, masih bagus dapet pujian"
Dia hanya tersenyum kecil, akhirnya aku bisa melihat senyumannya.
Di bawah hujan yang jatuh aku tertawa, menikmati hujan ini. Hujan menuliskan banyak cerita, tak ada habisnya. Bahkan, langit gelap pun sekali lagi, membuatku terbawa.
"kenapa masih disini?" Raden menanyakan kepadaku.
"gua pulang kalo hujan ini udah reda."
"kenapa gitu?"
"karena gue mau menikmati hujan yang turun dari langit, karena setiap tetesnya bisa buat gue merasa tenang, karena gak ada hal yang lebih baik dari ini"
"hah? Duduk disini? Hujan? "
"ya makanya, coba gak usah pake payung." Raden menyetujui permintaanku itu. Dia langsung melepaskan payungnya, dan menutup payungnya.
"not bad"
"hahaha, gue gak akan pernah tau, berapa banyak orang yang akan jatuh untuk kesekian kalinya, dan berapa banyak orang yang bakal pergi untuk waktu yang lama"
"maksudnya?"
"karena hujan datang untuk sementara, banyak dan deras. Tapi bisa aja hujan menghapus jejak dan pergi untuk selamanya"
Raden hanya terdiam, sambil melihatku menutup mata merasakan rintik hujan yang jatuh di sekujur tubuhku.
Tiba-tiba dia tertawa melihatku seperti itu, ternyata hujan menuliskan puisinya lagi.
Tak ada "Rembulan Senja" untuk kali ini, yang ada hanya hujan yang menangis melepas kepergiannya.
"sungguh, ini luka"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Hingga Kau Lupa
RomanceGadis mana yang lebih tangguh, menunggu di lupakan atau melupakan? Dinda Jasmine, selalu merangkai kata yang terlintas di benaknya. "aku dapat memuisikanmu dalam seribu larik" Perasaan bukan untuk di rasakan, namun untuk di rangkai menjadi sebuah...