14.Perjalanan

49 4 0
                                    

"membolak-balikkan kenyataan, tapi memang seutas tali tidak mampu mengikat, dan hanya ada tiang yang mampu mengiringi perjalanan, masuk kedalam perjalanan hidupmu, denganmu."

Aku tau mungkin ini salahku,
harusnya sebagai seorang anak aku
yang harus mengalah pada ibuku.
Tapi, mana mungkin om Faris tidak
bercerita pada ibuku, bahwa dia
memiliki seorang anak bernama Raden.
Aku sepertinya memiliki rasa kepo terhadap masalah ini. Ya, sepertinya aku memang harus mencari tahu, tentang kedekatan ibu dan om Faris, serta Raden.

Tapi, sewaktu om Faris mengantar ibu, aku tidak pernah melihatnya turun dari mobil. Untung saja, setelah insiden tadi pagi, aku langsung meminta pulang, alhasil aku sekarang sendiri di rumah, dan
ibuku pasti sedang bekerja.

Sepertinya, aku harus menyusul ibuku ke tempat kerjanya, dan sedikit memperhatikannya, tak lupa aku akan membawakan, nasi padang ayam balado untuk ibuku.
Yang ku beli di rumah makan padang ni ainun.

Bergegas aku menuju rumah makan padang, dan jarak tempat kerja ibu dan rumah makan padang itu tak begitu jauh. Dan sepertinya jam di tanganku menunjukkan pukul 12.00 siang, dan mungkin ibuku juga sudah beristirahat.

Dan saat aku sudah sampai di sana, mataku terbelalak melihat seoranf wanita parubaya dan seorang pria yang umurnya tak jauh berbeda.
Aku segera menghilangkan tubuhku dari penglihatan wanita parubaya itu. Dan perlahan-lahan serta sedikit demi sedikit aku melihat dengan jelas, pria yang di sampingnya itu.

Tidak, apa aku salah liat? Mana mungkin, om Faris Gelano bersama ibu, sedangkan sejak pagi tadi dia terbaring di rumah sakit. Ku buka jelas-jelas mataku, dengan sangat jelas.

Hufth... Untung jantungku tidak hampir copot. Bukan om Faris Gelano, dan itu tidak mungkin juga. Mungkin, itu temannya ibu.
Saat mereka mulai duduk, aku langsung menghampiri mereka.

"bu, assalamuallaikum... " salamku, sambil mengecup tangan ibuku.

"waalaikumsalam, kok kamu kesini nak? Udh pulang sklh?" tanya ibuku.

"iya bu, td telat, ayahnya Raden sakit, om Faris Gelano."

"oh, nama ayahnya Raden, Faris juga ya. Ini nih, kenalin om Faris yang suka nganterin ibu pulang ke rumah." ucap ibuku, yang seketika membuat jantung lega dan nafasku bebas dari ancaman. Dinda lo begok banget sih, emang yang namanya Faris itu cuma satu di dunia, batinku.

Aku langsung saja menjabat tangan om Faris, ternyata om Faris ini baik sekali.

"Dinda om. " ucapku.

"iya nak dinda, nama saya om Faris Handoko." aku menganggukan kepalaku, dugaanku salah, aku sudah berprasangka buruk duluan terhadap om Faris Gelano.
Akhirnya, tak ada penghalang, antara hubunganku dengan Raden.

Kami bertigapun, makan bersama.
Seperti biasanya, ibuku memesan nasi padang ayam balado, sedangkan aku memesan nasi padang ikan bawal bakar, om Faris memesan nasi padang rendang.
Di sela-sela makan, kami bertiga bercerita banyak hal, dari mulai sekolahku, sampai pekerjaan ibuku dan om Faris. Tapi hanya satu yang tidak ku dengar dari mulut mereka, yaitu tentang hubungan mereka. Padahal saat ku lihat, mereka berdua sangat begitu akrab.
Mungkin, saatnya aku harus lebih meluweskan ibuku, atas apa yang ingin dia capai.

Mungkin, ibuku punya hubungan yang lebih dekat dari seorang teman.

"kamu ini sayang sekali ya sama ibu kamu, nak dinda. Sampai-sampai ibu kamu cerita, kalo dia pulang kerja terlalu larut malam, kamu nungguin dia dan belum tidur juga." ucap om Faris yang membuyarkan lamunanku.

"hehehe, iyalah om harus kaya gitu, apalagi aku cuma berdua di rumah." kataku meyakinkan.

"wah yang harusnya jadi ibu kamu aja nak dinda. " kata om Faris sambil tertawa dan diikuti tawaanku.

"coba saja om Faris punya anak, pasti om Faris bakal ketawa terus." Ucap om Faris, aku yang diam jadi begitu refleks membelalakkan mataku. Kenapa om Faris belum punya anak? Apa jangan-jangan belum nikah juga? batinku.

"iya nak, 3 tahun yang lalu istri om Faris berpulang ke rahmatullah, dan belum di beri momongan." ucap ibuku dan di angguki oleh om Faris, dan sepertinya om Faris terlihat jadi lebih sedih dari yang tadi, gurat wajahnya bisa ku baca jelas, pertanda ia membutuhkan seorang istri semenjak istrinya pergi.

Aku hanya diam ketika mendengar semua penjelasan mereka, dan suasana kembali hening dan diam.
Kami bertiga melanjutkan makan siang kami, setelah selesai. Aku berpamitan kepada ibu dan on Faris untuk pulang terlebih dahulu.
"bu, om... Aku pulang duluan yah, semangat buat kerjaannya." sambil mencium tangan kedua parubaya itu.

Dan akhirnya aku berlalu. Aku yang hanya bingung, ingin kemana arah tujuanku, akhirnya mendapatkan ide, aku ingin pergi ke toko buku yang di sarankan oleh dimas. Entah mengapa, aku jadi merasakan rindu terhadap Dimas. Ya ampun, sahabatku.
Tiba di toko buku itu aku melihat-lihat ke rak buku yang berada di sisi kananku, aku tertarik pada buku yang berjudul "Sekarang sudah malam" saat aku ingin membacanya, aku melihat-lihat tempat ternyaman agar aku bisa membacanya dengan nyaman juga.

Saat aku sudah mulai membaca, tiba-tiba seorang lelaki menabrak badanku, yang akhirnya buku yang di pegangku jatuh.
Lagi-lagi aku sial, setiap pergi sendiri... Aku selalu di tabrak orang. Jangan-jangan yang menabrakku Fita, tapi tidak mungkin. Sepatu yang ia kenakan adalah sepatu lelaki, aku angkat kepalaku dan mendongakkan kepalaku, saat ku lihat laki-laki itu aku jadi merasa muak. Aku cepat-cepat mengambil buku ku dan aku segera membayarnya, ku biarkan dia sendiri.

Tapi dengan cepat lelaki itu menarik tanganku, aku yang berusaha ingin menghempaskan tangannya tidak bisa mengalahkan cengkraman tangannya.

Aku geram dengan semua ini, aku langsung melontarkan kata-kata yang begitu menjatuhkan harga diri lelaki itu.

"lepasin tangan gua, atau ga gue teriak kalo lo itu rampok!!" ucapku sambil memberontak agar dia melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku.

"gak, gue mau ngomong sama lo sebelum gue lepasin tangan lo, lo harus mau juga ngomong sama gue." ucap laki-laki itu dan segera aku teriakkan suara ku sekencang-kencangnya.

"Wooooyyy...... Tolong ada rampokk...rampookkkk.. " dengan cepat dia langsung melepaskan tanganku, yang akhirnya aku berlari sekencang mungkin.

Aku mendapati kursi di depan toko musik yang dulu pernah aku kunjungi. Aku menghela nafas dengan ngos-ngosan, karena saking capeknya berlari. Kenapa cowok itu bisa ada disini coba, hancurin mood gue aja sih, batinku.

Aku langsung terbelalak melihat Raden yang sedang menggandeng seorang gadis yang mungkin sepantaran usia dengannya. Bisa-bisanya dia pergi tanpa izin dariku.

Aku menjadi muak, setelah insiden tadi pagi, insiden lelaki tadi juga, dan sekarang dia.

Benar-benar semua orang membuatku jadi muak.

"perjalan yang perlu kau tempuh saat kau tau takdir akan berjalan mulus, tapi mungkin bukan berakhir dengan tulus, begitupun kau mencoba menanamkan semua racun di dalam benakmu yang seketika melenyapkan perjalananmu."

Hingga Kau LupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang