"Lepaskan aku dari getaran terhubung antara harapan dan masa lalu, kita hanya cerita lama, bukan gema yang sama lagi."
Aku langsung saja berlari kecil, menuju ke kelasku, saat aku berlari aku menabrak seorang lelaki, tapi aku tak ingin melihat siapapun. Lelaki itu langsung menarik pergelangan tanganku.
"Aau... Sakit.." ucapku seraya berdeham kesakitan.
"Kamu kenapa?" tanya lelaki itu.
"Aku gak tau aku harus gimana, aku bingung..." ucapku lirih, tanpa sempat aku berbalik ke arah lelaki yang masih menarik tanganku.
"Kenapa?!" teriaknya dan dengan sigap dia menarik tanganku, saat itu juga tubuhku terguncang dan berbalik arah ke hadapan wajahnya.
"Raa..den.." ucapku agak kebingungan yang melihat Raden, sedangkan Adit berkata bahwa Raden tidak masuk sekolah karena
ayahnya sedang sakit."Kamu kenapa disini? Kenapa kamu suruh Adit yang nganterin aku? Kamu biarin aku sama dia? Kamu gak tau kan hubungan aku sama dia apa? Kamu tau gak? Kamu emang ga pernah tau!" ucapku semakin tegas dan lugas, seakan aku memang yang terbodoh, hal yang aku tidak pernah ceritakan kepada Raden,terbongkar karena emosiku yang labil.
"Maksud kamu apa? Aku ga ngerti, aku ga nyuruh Adit nganterin kamu ke sekolah, ga pernah sama sekali.." ucapnya dengan binar mata yang sangat meyakinkan.
Justru aku melepaskan genggaman erat darinya, dan mencoba sebisa mungkin untuk menjaga jarak darinya. Aku bingung, Adit masa laluku, tapi dia menjadi bagian dari kebahagiaanku, dulu. Dan Raden? Dia adalah masa kini, aku juga menyayangi Raden.
"Jangan hubungin aku untuk sementara.." ucapku dan langsung saja meninggalkannya tanpa alasan. Mungkin itu yang membuat dia bingung setengah hati.
_______________________________________
"Lo kenapa, Din?" tanya Risha yang kebingungan melihatku, sambil mendekatkan wajahnya ke arahku.
Aku yang melihat itu langsung menjauhkan wajahku merasa tidak suka dengan itu."Gakpapa..." ucapku agak sebal.
"Lo putus sama Raden?" tanya dia yang tambah membuatku semakin muak.
"Gausah tanya-tanya plis!" bentakku yang sangat kesal, Risha yang melihatku seperti itu seakan mengerti dengan maksud yang ku berikan.
Aku tidak tahan dengan semua ini, aku bingung dengan semuanya. Maksud dari semua yang di pertandakan ini. Mencoba dan berusaha sangat keras untuk menahan amarah yang tak pernah terlintas begitu besar, berada di dalam kelas membuatku semakin kesal dan tidak fokus. Aku memilih keluar dari kelas dan meminta izin kepada guru mata pelajaran yang sedang mengajar, dan segera aku keluar.
Aku berlari sekencang mungkin ke halaman belakang sekolah untuk menenangkan diriku.
Tiba di sana, aku melihat seorang lelaki sedang selonjoran di atas kursi sambil membaca buku. Bukan buku pelajaran, melainkan buku-buku yang berisi tulisan yang di tulisnya sendiri."Ehm..." sentakkan dari tenggorok-
kanku untuk membuat lelaki itu sadar akan kedatanganku."Dinda.." ternyata lelaki itu Dimas, namun aku heran, mengapa Dimas sendirian disini.
"kok lo disini?" tanyaku yang begitu heran.
"emang ga boleh?" tanya balik yang dilontarkan dari mulutnya.
"boleh sih, hehe..." ucapku, "terus ngapain lo sendirian?" sambungku lagi.
"gak sendirian tuh.. Kan ada elo.." ucapnya yang begitu cepat.
"Yaudah deh.. Gue duduk ya.." izinku kepadanya dan dia langsung bangkit dan seolah bergeser selanjutnya duduk di sebelahku.
"Lo nulis apaan? Kayanya ga pernah deh lo nulis-nulis gitu.."
"Sesuatu, kepo banget sih temen gue yang satu ini... "
"oh, jadi rahasia nih ama gue.." ledekku dan langsung melihat wajahnya dengan senyuman miringku dan satu alis di angkat keatas.
"Nanti ya, kalo udah penuh isi bukunya hahahaha.." Dimas pun tertawa seketika aku juga ikut tertawa melihatnya, tapi dari area hidungnya terlihat jelas ada suatu cairan kental yang jatuh perlahan, sontak aku langsung kaget serta memegang wajahnya dengan menggunakan kedua tanganku.
"Dim, kenapa? Darah?" tanyaku yang kaget melihat itu.
"Gak apa-apa kok, udah biasa mungkin kecapean.." jawabnya di ikuti kakinya yang mulai berdiri dari tempat duduk menghindar saat aku ingin menghapus cairan kental itu.
Seketika...... Brukkkk
Dimas menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan saat itu aku kaget dan langsung saja tak mengerti apa yang harus aku lakukan, aku berlari sekuat tenagaku menuju ruang uks, di situ hanya ada seorang pengurus wanita.
Wanita itu mengikutiku dan berlari menuju tempat yang aku tunjukkan kepadanya, dan masih ada Dimas di situ.
Ponsel sekarang sedang melekat di telinga wanita itu, seperti memanggil seseorang.
Beberapa menit kemudian, para pengurus uks lelaki berdatangan dan menggotong Dimas ke dalam uks. Aku yang melihat itu hanya bisa menangis dan menyesal dengan apa yang telah ku lihat namun tidak bisa melakukan apapun.Berdiri di depan pintu uks membuat kaki ku pegal seperti ada hewan kecil yang mencengkram kakiku. Aku sedikit kesal karena aku tidak di perbolehkan masuk saat Dimas sedang beristirahat, karena nanti bisa mengganggu keadaan Dimas. Baru kali ini uks seperti itu, seharusnya biasa saja. Pasti boleh memasukkan orang untuk melihat keadaan pasien.
Tapi mengapa giliran Dimas tidak boleh? Dimas berkata itu hanya mimisan biasa. Dan yang membuat itu tidak biasa dia pingsan setelah cairan kental itu perlahan jatuh.
Kalau memang biasa mengapa Dimas harus pingsan? Aku semakin bingung dengan cerita-cerita di lembaranku. Aku mencoba untuk menenangkan diriku sendiri.
Terdengar bunyi pintu di buka, aku langsung bersikap siap dan mendekati pintu. Suster uks pun keluar dari dalam sana.
"Apa kamu yang bernama Dinda?" tanya wanita itu.
"Iya benar, apakah dia sudah siuman?" tanya ku balik pada suster itu.
"Sudah, dia sepertinya mencari wanita yang bernama Dinda.." ucapnya seraya membuka pintu mengizinkanku masuk.
Kaki ku melangkah, namun ada seseorang yang merebahkan tangannya di atas bahuku, seketika itu dia seperti menahan tubuhku untuk masuk ke dalam.
"Din..."
"Hah?" aku berbalik dan segera melihat yang merebahkan tangan di bahuku. "Raden..." gumamku.
"iya, kamu ngapain di sini? Sakit?" tanya Raden yang sepertinya peduli kepadaku.
"Gak." aku langsung menyingkirkan tangannya dari bahuku. Dan langsung bergegas masuk ke dalam ruang uks. Namun, Raden tertahan di depan sana, karena tidak di perbolehkan masuk.
Kakiku melangkah dengan sangat bergetar, melihat tubuh Dimas yang tergeletak di atas tempat tidur uks. Darahku semakin terasa hingga kepermukaan kulitku. Jantungku memompa lebih cepat ketika melihat sahabat kecilku ini dengan wajah yang sangat pucat dengan raut wajah yang lesuh. Dimas menatapku dengan penuh senyuman.
"Makasih ya, Din.. " ucapnya dengan lirih.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk semuanya, lo baik banget, Din. Nyelamatin gue." ucapnya seperti candaan.
"Tapi lo tiba-tiba.... " ucapku.
"Tiba-tiba tidur? Kan lo dari kecil tau gue suka tidur di manapun, lagi nonton tidur, main handphone tidur, cerita dikit tidur, kena bantal dikit tidur, kalo ada lo aja yang rusuh jadi gak bisa tidur..." jawabnya dengan candaan yang begitu menyebalkan, dalam keadaan genting pun dia masih saja bersikap konyol.
"Yaudah, tapi lo bener-bener gak papa?" tanyaku sekali lagi agar aku yakin.
"Tenang aja, gue serius ini cuma kejadian biasa, mungkin gue belum sarapan tadi pagi, jadi pingsan..."
"Syukurlah........ " aku menghela nafas dan sungguh hilang khawatirku untuknya setelah dia meyakinkan semua.
"Hentikan kerasnya, hentikan gemuruhnya, aku hanya mencoba untuk benci pada getarannya, dan menjauh dari suaranya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hingga Kau Lupa
RomanceGadis mana yang lebih tangguh, menunggu di lupakan atau melupakan? Dinda Jasmine, selalu merangkai kata yang terlintas di benaknya. "aku dapat memuisikanmu dalam seribu larik" Perasaan bukan untuk di rasakan, namun untuk di rangkai menjadi sebuah...