Chapter 15

544 23 1
                                    

Almost done. 😄😄😄
Tbh, gw merasa lega bisa selesai juga padahal awal gw buat itu cuma sekadar iseng haha...
Please vote, follow, and comment about everything. 😉😉
♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪
-Alexa-
December 15th, 2015, Williams' Family House

Aku terduduk diam. Masih menangis dalam balutan gaun hitam yang kupakai di upacara pemakaman Alex tadi. Tapi, bukan di kamarku, melainkan kamar Alex. Aku ingin berada di sini dan memandangi semua yang tersisa di kamar ini sebelum dikunci oleh Dad besok -Andrew menginap lagi dari empat hari yang lalu dan dia meminta untuk tidur di kamar ini sehingga Dad tidak menguncinya sejak beberapa hari yang lalu. Kami semua sepakat untuk mengunci kamar ini dan hanya dibuka sebulan sekali untuk dibersihkan. Kami melakukan ini supaya kami bisa terbiasa dengan ketiadaan Alex di rumah ini. Well, dulu dia memang tidak ada di rumah ini. Tapi, itu sebelum kami tahu bahwa dia adalah Alexander Williams, Jr.. Lagipula, sebelum kami tahu tentang itu, kami sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Karena itu, sangat sulit untuk bisa membiasakan diri lagi dengan tidak adanya dia di sini.

"Hei, mau sampe kapan di sana terus?" tanya sebuah suara yang kukenal.

Aku menoleh. Andrew berdiri di pintu, masih dengan pakaian pemakamannya itu -kemeja lengan panjang berwarna hitam dan celana bahan hitam panjang.
Aku menghela napas dan kembali menerawang. Aku tidak peduli jika ada yang menggangguku. Andrew lalu menghela napas panjang lalu berjalan ke meja belajar Alex dan membuka lacinya.

"Hey, what are you doing?!" seruku.

"Take out something he wanted you to read." jawabnya tenang.

Aku terkadang tidak bisa mengerti laki-laki. Mereka bisa menjaga supaya perasaan mereka tidak terlihat di depan orang lain. Dan sikap mereka terkadang bisa berubah menjadi tidak sesuai dengan mood mereka saat itu. Aku hanya menghela napas dan menunggunya mencari-cari sesuatu di laci meja itu. Beberapa detik kemudian, dia menghampiriku dengan dua pucuk surat di tangannya dan memberikan kedua padaku. Aku menerimanya dengan bingung. Satu surat bertuliskan To: all my relatives di depannya dengan tulisan tangan Alex yang sangat kukenal, sedangkan yang satunya bertuliskan Don't open it before you read the other one di depannya dengan tulisan tangan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Andrew lalu pergi keluar kamar. Entah untuk apa. Aku lalu membuka surat pertama. Surat dari Alex.

To all my beloved relatives.

Kalo kalian lagi baca surat ini sekarang, gue mungkin udah berada entah dimana di atas sana. Just want to say, awalnya, gue seneng banget Mom & Dad ngadopsi gue. Gue bisa ketemu kalian semua. You're the best brothers & sister that I have. Kita udah ngejalanin hidup sama-sama selama 4 tahun ini dalam suka & duka. Gue mungkin gak banyak cerita ke kalian semua. Tapi, gue pengen kalian tau, I really love you all. Kalian hadir di hidup gue & ngasih tau gue apa itu true love. Karena itu, gue bener-bener berharap kalo Mom & Dad itu beneran orang tua kandung gue. Dan waktu gue denger bahwa gue emang anak kandung mereka, gue seneng banget. Gue gak bisa ngerasain perasaan apa pun selain bahagia selama beberapa minggu ke depan -walaupun itu termasuk minggu-minggu penantian buat hasil pemeriksaan itu.

Saat gue tau kalo gue ngidap kanker, gue bener-bener sedih, gue tau kemungkinan gue sembuh bisa dibilang kecil & itu artinya gue gak bakal bisa ketemu kalian lagi. Walau gitu, gue coba sebisa mungkin gak mikirin soal penyakit gue ini. Tapi, semuanya udah gak bisa lagi sejak hasil pemeriksaan ke-2 gue keluar. Dari itu, gue tau kemungkinan gue sembuh bener-bener kecil. Gue berusaha ngabisin waktu dengan kalian, tapi tentunya kalian sibuk. Gue gak akan pernah nyalahin kalian gara-gara ini. Dan gue harap kalian gak nyalahin diri kalian sendiri. It isn't your fault at all.

Everlasting FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang