Chapter 13

489 28 2
                                        

-Andrew-
December 7th, 2015, St. Francis Xavier High School

Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Aku tahu hal ini akan menjadi kenyataan cepat atau lambat dan pasti akan terjadi. Kanker yang diderita Alex sudah mencapai stadium 3 dan harus diopname di rumah sakit sepanjang liburan semester ini.

"Drew." panggilnya sedih.

Aku menoleh menatapnya. Dia balas menatapku.

"Gue cuma bisa berharap, Drew. Gue pengen banget sembuh. Gue pengen banget bisa ngobrol dengan lo, Alexa, Brad, dan yang lain tanpa ada gangguan dari kepala gue ini. But, no one knows what His plan is to us. Kita gak bisa menolak apa yang Dia takdirkan buat kita. Gue cuma bisa terima kalo gue suatu saat nanti dalam waktu dekat bakal me-"

"Stop, Lex. Please, jangan lo ucapin kata itu. Gue gak mau lo ngucapin satu kata itu sekarang." potongku dengan nada memohon.

Alex menghela napas. "We are mortals, Drew. No one will live forever. Suatu saat nanti, kita pasti bakal mengalami itu. Kita gak tau kapan tiba waktunya. Kita cuma bisa terima doang."

"Gue tau, Lex." jawabku. "Gue cuma... belom bisa terima kalo lo mungkin bakal pergi secepet ini."

"Drew. Kita berdua sama. Kita gak bisa terima kalo orang yang kita bener-bener sayang pergi cepet ataupun masih lama. Kita bakal mikir kalo Tuhan itu gak adil. Gue cuma pengen satu hal dari lo. Gue pengen lo jangan pernah ninggalin gue kayak gue ninggalin lo waktu itu -walaupun itu juga gak sengaja. Gue gak pengen hal yang sama terulang lagi."

Aku menganggukkan kepalaku mengerti. Aku pun tidak ingin hal yang sama terulang lagi di antara kami berdua. Sudah cukup aku menuduhnya pergi meninggalkanku dan membencinya selama empat tahun. Aku tidak ingin salah satu dari kami melakukan itu lagi -tidak peduli orang itu adalah aku atau Alex- karena akan sangat sulit untuk membangun kembali kepercayaan yang sudah runtuh hanya karena sebuah kesalahan itu.

"Have we done? I really want to go to your house to help you packing, maybe." tanyaku.

Alex tersenyum kecil. "Oke." jawabnya.

Kami pun beranjak dari tempat kami duduk dan menyusul Alexa dan Brad yang sedang berada di depan pintu gerbang.

"Lama amat, sih." keluh Brad.

Alexa memutar bola matanya. "Brad, please, bisa gak mulut lo itu berhenti mengeluh dan berkomentar. Gue kadang pengen banget masukin kaus kaki ke mulut lo itu."

Brad terdiam sambil cemberut memandangi Alexa. Aku dan Alex hanya cekikikan geli.

"Oh, iya, satu lagi." bisik Alex di telingaku.

"Ya?" tanyaku.

"Jangan pernah lo nyalahin bokap lo. Dia gak salah. Gue emang nyuruh dia buat jangan ngasih tau lo karena gue emang pengen gue sendiri yang ngasih tau lo tentang ini abis Ujian Akhir Semester selesai." katanya serius.

"Oke." sahutku enteng.

Dan kami berempat pun masuk ke dalam mobil yang dikendarai Pak Budi -aku masih belum diperbolehkan untuk mengendarai kendaraan sendiri sampai umurku benar-benar 17 tahun- dan pergi menuju rumah keluarga Williams.
************************************************************
-Alexa-
December 7th, 2015, Williams' Family House

Malam ini mungkin akan menjadi malam terakhir Alex tidur di rumah ini. Aku ingin menghabiskan hari ini dengannya apapun yang terjadi. Dan, well, sepertinya bukan hanya aku saja yang ingin melakukan itu. Bahkan Andrew, yang tadinya hanya ingin membantu Alex mengemas pakaiannya untuk ke rumah sakit besok, pulang ke rumahnya hanya untuk berganti pakaian dan kembali kemari sambil membawa beberapa potong pakaiannya untuk menginap di rumah kami. Seperti yang Alex lakukan saat hari sebelum Andrew pergi menjalani operasi.

Everlasting FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang