To be honest, gw rada-rada gak tega buat chapter satu ini–read to find out why. It's like gw bener-bener nonton peristiwa yang terjadi dan gw gak bisa berbuat apa-apa.
Please vote, follow, and comment if you like it.😃😃
♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪
-Andrew-
December 8th, 2015, Advent HospitalKhawatir? Of course. Itulah yang kurasakan saat ini. Tidak ada hal yang bisa kulakukan selain berjalan mondar-mandir di lorong rumah sakit. Aku baru saja duduk di dalam mobil dan tersenyum padanya tadi saat tiba-tiba dia ambruk ke sisiku tak sadarkan diri.
"Lex! Lex, bangun!" panggilku panik.
"Alex kenapa?" tanya David bingung dan penasaran dari bangku kemudi sambil berbalik melihat kami dan terkejut.
Dia tidak perlu jawaban untuk pertanyaannya itu. David mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju Advent Hospital tempat Papa bekerja ̶sekaligus tempatku menjalani operasi empat tahun yang lalu.
Setiba di sana, Papa sudah menunggu di depan dengan tempat tidur beroda. Kami membaringkan Alex di sana, memakaikannya alat pernapasan, dan membawanya ke salah satu ruangan -aku tidak tahu itu UGD atau bukan karena aku tidak memperhatikannya sama sekali dan aku juga sangat panik. Dan di sinilah aku sekarang, berjalan tak tentu arah dengan gelisah di lorong rumah sakit depan kamarnya.
Beberapa menit kemudian, Papa keluar dari ruangan.
"Gimana keadaannya, Pa?" tanyaku khawatir.
"Kondisinya kritis. Dia juga masih belum sadarkan diri." jawab Papa.
"Can you help him?" tanya Chuck.
"Unfortunately, his cancer has spreaded almost whole of his brain. I don't know there's something I can do or not. We just can pray for his recovery. I'm so sorry." jawab Papa dengan sedih. "Kalau boleh, saya permisi dulu. Kalau ada sesuatu, panggil saja."
"Boleh kami masuk, Dok?" tanya Brad.
"Tentu, silakan." jawab Papa lalu berbalik pergi.
Aku, Alexa, Brad, Chuck, dan David masuk ke dalam. Di sana, Alex terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya.
Aku berjalan ke sisinya bersama dengan Alexa. Alexa lalu memegang tangan Alex dan aku melihatnya menahan tangis. Aku merangkulnya. Entah karena apa, David, Chuck, dan Brad pergi keluar dan menutup pintu seakan memberi kami privasi. Saat itu juga, Alexa menangis.
Aku merangkulnya dan mengelus punggungnya. Mencoba untuk menenangkannya dan berusaha untuk tetap terlihat tegar seakan tidak terjadi apa-apa. Aku tahu semua itu sulit, benar-benar sulit.
"Xa..." panggilku lirih. Aku tahu suaraku bergetar tapi aku tidak peduli.
"He has got so many troubles in his entire life. Isn't it enough yet?" isaknya.
"Xa, please..."
"It's not fair for him after what he has been through. He doesn't deserve any of this."
"Xa..."
Alexa menangis keras. Bahunya bergetar. Aku tahu perasaannya. Aku juga merasakannya sekarang. Alex sudah mendapat banyak sekali cobaan di hidupnya -salah satunya adalah perbuatan bodohku itu. Dia tidak pantas mendapatkan cobaan yang lebih berat lagi. Dia pantas mendapatkan kebahagiaan. Aku tidak akan bilang kebahagiaan yang kami berikan karena terkadang aku merasa ragu dia benar-benar bahagia bersama kami. Jika dia lebih pantas mendapatkan kebahagiaan di atas sana, aku tidak dapat mencegahnya. But, I really want a second chance to be with him as a best friend and to fulfill mistakes that I've done. Dan juga, umurnya masih sangat muda -dia masih 16 tahun. Does he have to go away this fast?

KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Friends
Teen Fiction【In Indonesian Language】 Sebuah cerita tentang 2 orang sahabat bernama Alexander dan Andrew Thomas. Mereka adalah sahabat yang sulit dipisahkan, Tapi... Bagaimana kalau Andrew akan menjalankan operasi? Apa Andrew tetap hidup? atau mati? And what wil...