Chapter 10

359 26 0
                                        

-Alex-
November 15th, 2015, Williams' Family House

Tidak ada yang bisa kulakukan sekarang. Aku benar-benar terduduk lemas sambil memegangi surat itu selama beberapa saat, berusaha mencerna semua hal yang terjadi. Beberapa menit kemudian, aku menyadari bahwa semuanya melihatku dengan sorot mata sedih. Aku tidak tahan lagi. Aku berlari keluar dari rumah. Aku berlari tanpa tujuan dengan surat hasil pemeriksaan itu masih di tanganku dan air mataku memberontak ingin keluar. Tidak peduli jika mereka mengejarku sambil meneriakkan namaku.

Beberapa saat kemudian, aku berhenti karena kelelahan. Aku melihat ke sekelilingku. Aku tidak percaya bahwa aku berlari kemari. Aku berlari ke taman bermain. Taman yang sama yang biasa aku dan Tom bermain ayunan bersama saat aku menginap di rumahnya saat kami masih SD. Aku berjalan menuju bangku terdekat dan duduk di sana, meratapi apa yang terjadi padaku.

Baru dua bulan yang lalu aku akhirnya bertemu dengan keluargaku -Well, memang sudah hampir 4 tahun aku bertemu dengan mereka, tapi saat itu aku masih menganggap mereka keluarga angkatku- tapi, aku sudah mendapatkan berita buruk. Aku duduk entah sudah berapa lama di sana mengingat-ingat masa laluku saat ada yang memanggilku.

"Here you are, Alexander." ujar suara itu.

Aku mendongak. Tom berdiri terengah-engah di depanku, menatapku.

"Can I sit here?"tanyanya.

Aku bergeser ke sebelah kanan bangku. Tom duduk di sebelah kiriku. Kami terdiam cukup lama, memandangi anak-anak kecil bermain di taman bermain.

"You know what? Gue bener-bener rindu saat-saat kita bisa main di sana sama-sama lagi." kata Tom beberapa saat kemudian. Aku hanya tertunduk sedih.

"Gue tau, sulit banget buat lo untuk nerima itu semua. Tapi, gue juga tau gimana perasaan lo. Gue juga kaget dan gak percaya saat bokap gue ngomong ke gue waktu gue kelas 1 kalo gue gak boleh banyak ngelakuin aktivitas yang bikin gue lelah karena gue punya jantung yang lemah dan sekali gue kelelahan, gue bisa aja mati. Tapi, gue sadar kalo gue gak boleh menyerah. Cuma gara-gara gue punya jantung lemah bukan berarti gue gak punya semangat hidup lagi. Gue harus bisa ngebuktiin kalo gue itu bisa bertahan hidup walaupun jantung gue kayak gini." ujarnya.

Aku terdiam dan menatapnya. Dia tidak pernah cerita apapun bahwa dia tidak tahu soal jantungnya itu sampai kelas 1.

"Tapi, itu bukan masalah sekarang. Yang gue pengin itu lo, Lex."

"Gue?" tanyaku bingung.

Tom mengangguk. "Gue mau lo jangan pernah menyerah. Cuma gara-gara lo punya Astrocytoma stadium 2, akhirnya lo pasrah dan gak punya semangat hidup lagi. Lo punya orangtua lo. Lo punya David, Chuck, Brad, dan Alexa. Lo juga punya gue. Kami semua akan berusaha membuat lo gak pernah menyerah sampai kapan pun. We love you more than anything else."

Aku memandang ke arah anak-anak yang berada di taman bermain itu, memikirkan ucapan Tom.

"Well, maybe you're right. But, kayaknya ada yang salah dari yang lo ucapin tadi deh." ucapku setengah bercanda.

"Apanya yang salah?" tanyanya bingung.

Aku berusaha menahan tawa. "Bagian 'we love you more than anything else'. I think you don't love me more than you love her."

Dia mengerutkan kening. "Her who?"

"Alexa." bisikku di telinganya dan itu sukses membuat wajahnya memerah dan membuatku tertawa terbahak-bahak.

"Gue tau, you have a crush on her." kataku. "Udah..., jangan ditutupin lagi."

"Keliatan jelas, ya?" bisiknya.

Everlasting FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang