Menggenggam raket dengan mantap. Matanya fokus pada gerakan lawan. Kaki jenjangnya terlihat melompat kecil di atas lapangan itu. Tepat ketika sebuah bola mengarah ke areanya, kakinya sudah berlari kencang, tangannya segera mengayunkan raket hingga mengenai bola. Saking kuatnya, bola darinya pun tak mampu di tangkis. Hal hasil, pertandingan pada hari itu pun dimenangkan olehnya. Seperti biasa, ketika dirinya mengantongi kemenangan, melambaikan tangannya ke bangku penonton. Dengan senyum sumringahnya, berterima kasih pada para penonton yang sudah setia mengikuti pertandingannya.--
"Kenapa aku harus membeli pakaian?" sadarnya.
Sedari tadi mengelilingi gangnam hingga tanpa sadar memasuki sebuah butik. Anehnya, ia termenung mengamati sebuah gaun berwarna putih, bertangan panjang dan jauh dari kata seksi. Sama sekali bukan seleranya. Tapi anehnya lagi, ia meraih baju itu lalu melangkah menuju ruang ganti.
"Mwoya ige? Kenapa aku harus mencoba baju ini? Ini bukan gayaku.." pikirnya tapi tetap mencoba gaun itu. Beberapa saat kemudian, dilihatnya pantulan dirinya dari cermin. Tidak ada reaksi apapun diwajahnya.
"Majjayo, aku memang tidak cocok menggunakan pakaian seperti ini." ujarnya merasa gaun itu terlalu kuno. Tapi lucunya, bukannya mengganti kembali pakaiannya, ia malah melangkah ke kasir lalu membayar gaun tersebut. Tak lupa melepas labelnya, melangkah keluar butik dengan bungkusan baju miliknya ditangannya.Masih merasa ragu, kembali melihat pantulan tubuhnya dari dinding kaca sebuah kafe. Dikembangkannya gaun berwarna putih itu. Jauh berbeda dari dress putih yang dulunya pernah ia gunakan. Mengamati gaun yang ia kenakan itu, ia tersenyum merasa lucu.
Pertama kali untuknya menggunakan pakaian seperti itu. Jika biasanya selalu menampilkan kesan seksi, kini ia lebih terlihat feminim, sungguh manis. Ketika itu ia menyadari sesuatu, lipstik merah masih mewarnai bibirnya. Merasa harus menghapus lipstik norak itu, matanya dengan cepat melihat kearah toko kosmetik. Tanpa ragu, ia melangkah masuk kedalam toko itu.
Tidak butuh waktu lama untuknya mendapatkan lipstik yang ia inginkan. hanya butuh beberapa menit saja, ia sudah kembali keluar dari toko kosmetik itu. Tentu dengan bibirnya yang sudah berganti warna. Dengan riasannya yang lebih tipis dan warna lipstik yang lembut membuatnya terlihat seperti gadis remaja. Ia melangkah riang, masih di daerah gangnam dan masih ingin melihat-lihat.
"Oo?" berdiri dihadapan sebuah salon.Sesuatu terlintas di kepalanya. Dengan yakin ia melangkah masuk. 2 jam kemudian kaki jenjangnya kembali melangkah keluar dari salon. Kali ini terjadi sebuah perubahan pada warna rambutnya.
Rambutnya yang sebelumnya berwarna cerah kini menjadi hitam pekat. Begitu juga dengan alis matanya yang ikut berubah warna menjadi hitam. Tapi kali ini ia tidak ingin melihat kearah dinding kaca yang ada di depan salon. Mengganti warna rambutnya benar-benar membuatnya bingung setengah mati.
"Kenapa aku merubah warna rambutku?!" erangnya dalam hati.Trrrt.. Trrrt..
Ponselnya bergetar. Dilihatnya nama Henry di layar ponselnya.
"Yak, eodiya?" sapa Henry.
"Gangnam." jawabnya yang tengah menunggu taksi lewat--sedang malas menyetir mobil.
"Jinja? Aku juga sedang di gangnam. Kemarilah, aku sedang duduk di kafe." tawar Henry semangat. "akan aku kirimkan alamatnya. Aku tunggu!" dan panggilan itu pun terputus.
"Mwoya, aku tidak bilang mau." gumamnya. Pesan dari Henry telah ia terima. Dilihatnya alamat itu, tidak jauh dari posisinya pada saat itu. Berpikir dirinya akan kebosanan jika cepat pulang kerumah, ia pun memutuskan untuk menghampiri Henry di kafe itu.--
"Nugu?" tanya Sehun setelah menyeruput kopi panas miliknya.
"Temanku. Kebetulan dia sedang berada di sekitar sini, jadi kusuruh kesini saja." jawab Henry seraya mengunyahnya donatnya.
"Teman? Kau punya teman?" tanya Sehun tak tertarik.
"Aish!" kesal mendengar itu. "dia teman baikku. Dulunya kami tinggal bersebelahan. Tapi ketika SMA kami berpisah karena dia memilih bersekolah di Jepang. Kami sempat bertemu sebentar, tapi ia melanjutkan kuliahnya di Sydney, sudah 4 tahun lamanya kami terpisah. Sejak kepulangannya kesini, aku baru bertemunya sekali dan itu sangat singkat. Ah, jangan mengatainya, mengerti? Aku sangat paham dengan mulut tajammu itu. penampilannya memang terlihat nakal, tapi sesungguhnya dia adalah gadis yang sangat baik." jelasnya menatap Sehun tajam. "awas saja jika kau mengatainya yang tidak-tidak." tapi Sehun tetap tak bereaksi apapun.
"Aa, bagaimana tadi pertandinganmu? Kakimu baik-baik saja?" kata Henry setelah itu.
"Kupikir kakiku sudah sembuh total." sahut Sehun.
"Sembuh apanya. Berhati-hatilah." tegurnya. Mereka memang belum lama berteman, mungkin baru sekitar 3 tahunan sejak Sehun meminta Henry untuk menjadi dokter pribadinya. Dan sejak itulah hubungan mereka semakin erat, mereka bahkan nyaris berjumpa setiap harinya.
"Arraso.."