"Kenapa? Lo kenal?" tanya Abel memerhatikan gue.
"Eh, enggak kok," jawab gue singkat. Gue melihat bangku Delvin, dia masih tidur. "Bentar ya, gue ada urusan," pamit gue dan beranjak dari duduk gue, menghampiri Delvin. "Vin, bangun dong." Gue menggoyang-goyangkan meja Delvin, membuatnya terbangun dari alam mimpinya.
"Apaan sih, Fin? Lo nggak tau apa kalau gue ngantuk," protesnya dengan suara khas orang baru bangun tidur.
"Delvin, udahan dong tidurnya. Gue mau nanya nih," kata gue masih berusaha membuatnya terbangun.
Delvin pun mendongak dan menatap gue dengan tatapan -yang masih- mengantuk. "Tanya apa?" Tanpa basa-basi.
"Lo kenal dia nggak?" tanya gue menunjuk cowok yang bernama Arkan. Delvin menoleh ke arah yang gue maksud dan kembali menatap gue sambil menggeleng pelan. Gue mendengus. Padahal itu bukan jawaban yang gue harapkan dari Delvin.
"Kenapa nanya dia? Lo bego atau gimana sih? Mana bisa gue hafal semua nama seangkatan dalam waktu 4 hari? Sinting," protes Delvin menjitak kepala gue.
"Mungkin aja kan lo kenal, gue kan cuma nanya," kata gue melotot. Gue memerhatikan Arkan untuk yang kesekian kalinya. Wajahnya familiar tapi gue lupa di mana gue melihat wajah itu.
"Ngelihatin apaan sih? Segitunya," omel Delvin bertopang dagu, mencoba menahan rasa kantuknya.
"Kepo lo. Ya udah tidur lagi gih," kata gue yang berencana kembali ke bangku.
"Lo bangunin gue cuma mau nanya itu doang?" tanya Delvin. Gue mengangguk. "Sinting, lo tanya nanti juga nggak bakalan masalah, bego. Gangguin mimpi indah gue tau nggak!" Delvin mendorong gue, menyuruh gue untuk segera pergi dari dekatnya agar dia bisa melanjutkan mimpi indahnya.
Gue mendengus melihat penyakit Delvin yang suka tidur kambuh. Demi apa gue punya temen kayak dia. Gue kembali duduk dibangku gue, mendapati Abel memerhatikan gue dengan teliti. "Apa? Kenapa segitunya lihat gue?" tanya gue. Abel memandang gue dengan penuh arti dan bikin gue bingung. "Lo kenapa sih?" tanya gue risih.
"Nggak apa, Fin. Oh iya, gue harap kita bisa jadi temen deket ya," kata Abel tiba-tiba. Gue terdiam. Gue nggak pernah punya temen cewek kecuali Friska karena gue sempet trauma sama yang namanya temen cewek dan gue lebih enjoy sama temen cowok. Gue menatap Abel tanpa arti. "Ke.. kenapa? Lo keberatan ya kalau gue ngomong gitu?" tanya Abel pelan.
"Eng... engkak kok. Gue seneng lo ngomong gitu lagipula temen gue banyak cowoknya," kata gue santai.
"Kita temenan ya," kata Abel riang. Gue hanya mengangguk dan tersenyum.
****
Gue berkumpul dengan Abel, Delvin, dan Bintar, membentuk sebuah lingkaran. Delvin menyandar ke bahu gue sambil memainkan game di gadget-nya, sedangkan Abel sedang bergurau dengan Bintar.
"Fin, besok pelajaran olahraganya basket ya?" tanya Delvin mendongak dan menatap gue. Gue mengangguk malas. "Yes, akhirnya setelah sekian lama gue bisa basket lagi," kata Delvin penuh kemenangan.
"Lo bisa basket?" tanya gue mengejek meskipun sebenarnya gue sama sekali nggak berbakat di bidang olahraga.
"Lo ngerendahin gue? Gue jago basket tau pas SMP," kata Delvin membanggakan dirinya sendiri.
"Nggak nanya. Lebih keren futsal lah daripada basket," tambah Bintar yang tiba-tiba ikut nimbrung di percakapan gue dan Delvin.
"Anak basket lebih keren, man," kata Delvin.
"Serah lo deh, tapi gue lebih suka nonton basket sih daripada futsal," kata gue jujur.
"Iya, gue juga setuju sama Fiona. Basket lebih seru," tambah Abel.
KAMU SEDANG MEMBACA
He(A)rt - [SELESAI]
Teen FictionApa kalian mempercayai cinta pada pandangan pertama? Fiona mengalaminya. Ia mencintai Arkan, sangat mencintainya. Sayangnya, sifat mereka berkebalikan. Arkan juga tidak pernah peduli pada perasaan Fiona yang menunggunya begitu lama. Terlebih ketika...