Tiga Puluh Empat

2.8K 163 44
                                    


Mulut gue bungkam seketika, tidak bisa melontarkan sumpah serapah yang sedari tadi ingin keluar. Ekspresi datar dengan manik matanya yang dingin yang menjadi daya tarik tersediri menatap gue, membuat mulut gue tertutup rapat. Gue menatap Abi yang juga terhenti di tempat, berdiri disebelah sosok yang selalu gue rindukan. Abi memerhatikan gue dan Arkan secara bergantian dengan ekspresi tengilnya yang membuat gue ingin menaboknya detik ini juga.

"Anjir, ini kayak pembalasan dari Arkan. Gue inget banget kalau sandal Arkan pernah gue injek di bimbingan, tiga kali malah. Mungkin ini yang dibilang 'karma itu nyata'. Ngeri banget dah, dapat karma dari doi sendiri."

Setelah beberapa sekon saling bertukar pandang dan hanyut dalam pikiran masing-masing, gue memilih untuk memutar badan, tidak mau berlama-lama berdiri seperti manekin dengan dua pemuda yang dijuluki sebagai si tengil dari XII-5-jujur, Arkan kadang juga suka tengil di kelas. Langkah gue melebar saat mendengar suara nyaring yang memanggil nama gue tiga kali, udah kayak jin aja ya, dipanggil tiga kali langsung muncul, wkwk. Pasti taulah suara siapa yang gue maksud, siapa lagi kalau bukan Sheryn yang hobi banget bikin telinga sakit gegara suaranya yang nggak jauh beda sama suara anak kucing keinjek.

*****

Gue bersandar di dinding, memerhatikan balkon sekolah yang mulai ramai-sejak bel pulang berbunyi-dari jendela. Sesudah dari perpustakaan, kami, murid kelas XII-5 tidak diperbolehkan untuk pulang karena saat itu bel masih belum berbunyi. Karena tidak mau menjadi penunggu perpustakaan yang kebanyakan murid menganggap sebagai tempat terkutuk-terutama David dan kawan-kawan, kami memutuskan untuk kembali ke kelas sampai bel pulang terdengar. Gue memanjangkan leher untuk mencari keberadaan Grace dan Fani, lalu menarik kembali kepala gue saat tidak menemukan mereka berdua.

"Tungguin gue, Fin, mau ganti baju dulu," kaya Sheryn sembari mengambil sweater berwarna soft blue dari dalam ranselnya.

"Ngapain lo ganti baju? Lo langsung ke bimbingan?" tanya gue sembari duduk di meja Lana yang kebetulan ada di dekat jendela, tempat gue mencari Grace dan Fani beberapa detik yang lalu. Sheryn hanya memberikan anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan gue. Gue melompat dari posisi duduk gue, berjalan menuju bangku. "Si baby sudah pulang." Kalimat itu keluar tanpa adanya persiapan, keluar dari mulut gue begitu saja.

Abi yang awalnya mengambil buku dari loker langsung terhenti dan memerhatikan gue penuh selidik. "Siapa? Arkan?" tebak Abi.

"Apasih, sok tau lo."

"Jangan ngeles deh, gue udah tau kalau lo suka sama Arkan."

"Enggak, ih. Apasih, nggak jelas banget."

"Jangan bohong, Fin, sama saudara sendiri juga," kata Sheryn dengan nada jahilnya.

"Fiona? Saudara gue? Amit-amit," ucap Abi geli.

"Lo aja yang nggak tau kalau gue saudara lo. Kalau lo udah tau, bakal nyesel lo udah ngatain gue," protes gue.

"Lo beneran suka Arkan ya? Cie, ngaku deh lo," goda Abi.

"Enggak, apaan sih."

"Ya elah, ngeles aja terus, Fin. Lo percuma ngeles gitu, gue udah tau."

"Cie Fiona kalah debat sama Abi, wkwk," kekeh Sheryn.

"Apaan sih, nggak jelas banget. Gue nggak suka Arkan kali, jangan sok tau jadi orang, nggak baik," kata gue.

"Kan tadi lo bilang 'Si baby udah pulang', siapa lagi kalau bukan Arkan?" tebak Abi.

"Kan banyak yang udah pulang, bukan Arkan doang. Apa sih, diem lo, nyet."

"Abi, lama banget elah. Gue sampe lumutan nungguin lo di parkiran, nyet. Lo ngapain aja sih? Lama banget," seru Arkan yang tiba-tiba muncul dari balik jendela.

He(A)rt - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang