Gue melirik jam tangan di lengan gue. Sudah sepuluh menit lamanya gue menunggu kedatangan Arkan tapi dia belum terlihat sedikit pun. Tapi nggak apala, gue udah biasa dalam hal tunggu-menunggu. Gue kan udah nunggu Arkan dua tahun lebih, masa nunggu sepuluh menit aja capek.
Pikiran gue melayang, memutar kenangan gue bersama Arkan yang mungkin hanya ia anggap biasa, membiarkannya terputar sesuka hati. Gue sudah berjanji dalam hati, gue tidak akan melupakan sosok Arkan, gue tidak akan pernah membencinya setelah apa yang ia lakukan meskipun ia sudah sering membuat air mata gue jatuh.
Gue tertawa kecil, mengingat beberapa kenangan yang membuat gue bertingkah seperti orang bodoh. Banyak pertanyaan yang muncul di otak gue saat ini.
Untuk apa gue tetap bertahan jika semuanya sudah jelas?
Untuk apa gue tetap berjuang pada sesuatu yang tidak bisa dipaksakan?
Untuk apa gue tetap berusaha untuk sesuatu yang tidak pasti?
Untuk apa gue mengorbankan hati gue untuk selalu tersakiti?
Untuk apa gue melakukan itu semua demi seseorang yang tidak pernah bisa membalas perasaan gue?
Untuk apa? Semua yang gue lakukan adalah percuma, sia-sia. Cinta memang rumit, kadang membahagiakan, kadang juga mengenaskan.
Gue mendengus saat merasakan cairan itu kembali jatuh ke pipi gue. Gue tertawa sumbang, tertawa dengan apa yang saat ini gue tangisi. Sudah cukup gue terjebak dalam keadaan sialan ini, sudah cukup gue memaksakan diri, sudah cukup gue melukai diri gue sendiri. Delvin benar, tidak seharusnya gue mengorbakan diri sendiri, tidak seharusnya gue memaksakan diri sendiri, tidak seharusnya begitu. Gue terlalu tenggelam dalam memori menyakitkan itu hingga tak sadar ada cowok yang berdiri di depan gue.
"Lo kenapa?" tanya Arkan.
Dengan segera gue menyeka air mata dengan punggung tangan lalu memberikan senyum pada Arkan, bersikap seolah semuanya baik-baik saja. "Udah lama berdiri disitu?" tanya gue mengabaikan pertanyaan Arkan.
"Enggak, baru aja. Sorry ya gue telat, tadi macet banget," jelasnya lalu duduk di sebelah gue. Gue mengangguk dan kembali tersenyum. "Kenapa kok ngajak ketemuan? Sorry ya kalau nggak pernah ngajak kencan padahal lo cewek yang djodohin sama bonyok gue."
"Enggak, nggak apa, santai aja. Gue cuma mau ngomong tentang perjodohan ini, Kan."
"Kenapa?"
Gue terdiam beberapa sekon, mengatur napas gue yang memburu, meyakinkan bahwa gue melakukan hal yang benar, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. "Gue... Gue mau perjodohan kita berhenti sampai disini," kata gue mantap.
Arkan awalnya kaget tapi dia kembali santai. "Kenapa? Karena gue nggak bisa buka hati gue buat lo? Gue kan udah bilang gue akan usaha."
"Buat apa? Gue nggak butuh cinta yang dipaksakan, gue nggak butuh dengan dasar kasihan karena cinta seperti itu tidak akan bertahan lama. Gue tau selama ini lo sama Seilla masih sama-sama sayang, gue tau itu semua."
"Tapi lo tau sendiri kan kalau gue sama Seilla udah putus," katanya santai.
"Iya, gue tau, sanngat tau tentang itu. Tapi gue juga tau kalau kalian masih sering komunikasi, kalau kalian masih sama-sama sayang, masih sama-sama membutuhkan, masih sama-sama peduli. Lah gue apa? Gue juga punya hati, gue punya perasaan. Lo kira ngeilihat calon tunangan masih mesra gitu sama orang lain itu nggak sakit? Udah cukup gue mendem sakit hati sendirian, udah cukup semuanya. Lo kira gue butuh cinta atas dasar paksaan dari lo? Maaf, gue nggak butuh cinta seperti itu, gue butuh cinta yang tulus, Arkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
He(A)rt - [SELESAI]
Teen FictionApa kalian mempercayai cinta pada pandangan pertama? Fiona mengalaminya. Ia mencintai Arkan, sangat mencintainya. Sayangnya, sifat mereka berkebalikan. Arkan juga tidak pernah peduli pada perasaan Fiona yang menunggunya begitu lama. Terlebih ketika...