T H I R T E E N

112K 1.4K 38
                                    

Dira masih heran dengan sikap Deva yang mendadak berubah jadi terburu-buru seperti ini. Terlihat dari wajahnya, dia seperti sedang cemas dan seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Dev."

"Ha?" balas Deva sambil memalingkan wajahnya kearah wajah Dira.

"Lo sebenarnya kenapa?" tanya Dira dengan nada heran.

"Gue gakpapa, tadi kebelet terus sekarang udah nggak lagi."

"Lo bohong."

"Ngapai gue bohong. Lo tunggu sini aja atau mau ikut turun nemani gue belanja buat party kecil kita ini?"

Tanpa Disadari Dira, ternyata Deva sudah memberhentikan mobilnya di parkiran salah satu swalayan yang terbilang lengkap. Namun, tidak terlalu besar.

"Gue nunggu sini aja. Tapi lo cepetan ya, gue paling nggak suka me-nung-gu."

"Oke."

Dira masih terus kepikiran. Sebenarnya ada apa dengan Deva. Tadi dia terlihat begitu aneh sekali.

Ternyata Deva menuruti perintah Dira. Tidak perlu waktu lama menunggunya. Sekarang dia sudah kembali dengan membawa belanjaan yang begitu banyak, hingga dua kantong plastik besar. Dira makin heran dengannya, siapa yang bakal habisin itu makanan? Walaupun dia lapar, dia nggak akan sanggup habisin itu semua.

Deva meletakkan semua belanjaanya di tempat duduk bagian belakang, tidak dibagasi. Karena menurutnya, kalau di letak di kursi belakang, mereka bisa langsung membawanya masuk. Kalau dibagasi mungkin terlalu ribet.

"Kok banyak banget lo beli, beli apa aja?"

"Gue beli buat keperluan gue sekalian. Soalnya belakangan inikan gue mau tinggal di apartemen itu."

"Oh, bagusdeh. Biar lo belajar hidup mandiri, nggak harus menyusahkan orangtua lo setiap saat. Kaya gue gini. Kan jadi bebas, tapi dalam artian bebas untuk kebaikan bukan kaya lo. Masih sukur dikasih hidup enak. Coba lo ngerasain sekali hidup kaya gue, mungkin nggak bakal sanggup, dan saat ini lo udah nyerah begitu saja."

Deva menyerngitkan alisnya. "Lo kadang bisa juga berkata bijak seperti itu. Belajar dimana? Dan sejak kapan?"

"Terserah lo mau bilang apa, biar lo senang."

Deva kemudian mencubit hidung Dira dengan sedikit kuat dan menyisakan bercak merah dihidungnya.

"Deva sakit" kata Dira sambil merintih.

"Sorry, kekuatan ya?" balasnya sambil memegang lembut hidung Dira.

Dira merasakan elusan yang diberikan Deva berbeda. Sperti elusan seorang kekasih yang penuh cinta dan kasih sayang, dan dia tidak ingin menepis tangan Deva untuk saat ini. Dia benar-benar menikatinya.

Deva akhirnya melepaskan tangannya dari hidung Dira. Dan saat itu juga Dira protes.

"Kok di lepasih?" protesnya keceplosan..

"Uhm... Maksud aku, bagus dilepas, nggak sakit kok" katanya lagi sambil mengelus keningnya.

"Oh. Kirain" jawab Deva singkat.

Ada apa dengannya? Nggak biasanya dia seperti ini. Biasanyakan dia selalu tidak ingin mengalah, atau malah memberikan gombalan-gombalan nggak pentingnya untuk Dira. Dia memikirkan itu, padahal menurutnya itu tidak penting. Toh juga dia bukan siapa-siapanya Deva.

Tanpa dia sadari Deva mengelus kembali hidung Dira dengan lembut, kemudian mengitari ke pipinya. Saat itu juga, pipinya menjadi merah dan seakan Deva tahu isi hatinya barusan.

Man Love PleasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang