Chapter 6

303 28 1
                                    

(Clara)

Aku mengusap rambutku yang basah dengan handuk lembut sambil kembali berjalan ke arah kamarku berada.

"Clara! Jangan lupa membantu resto besok siang!" Teriakan ayahku membuatku menghela nafas lelah.

"Clara!"  Teriaknya sekali lagi karena tidak mendengar responku sama sekali.

Aku membuka pintu kamarku dan menutupnya kembali untuk mengabaikannya secara total. Resto resto dan resto.. Selalu itu saja yang ayahku pikirkan dan pedulikan. Aku menggantung handukku dan membanting diriku di ranjang dengan rasa lelah yang menghantuiku. Kedua mataku terpejam untuk menikmati kegelapan kamarku yang nyaman. Ketika aku penuh banyak pikiran, aku akan menutup kedua mataku lalu mengatur nafasku dengan teratur. Hal ini selalu berhasil menenangkanku.

Brak!

Aku terduduk dengan cepat dan melihat ayahku membuka pintu kamarku dengan sedikit kasar. Ia menatapku dengan tajam dan melempar sebuah amplop di ranjangku. "Batalkan ini." Perintahnya dengan dingin.

Aku mengernyit selagi kedua tanganku membukanya. Sebuah tulisan kop surat tersebut membuatku melihat surat itu dengan antusias. Namun rasa antusiasku  hilang saat ayahku berdeham tegas. "Kau tidak akan pergi kuliah. Kuliah itu mahal. Kita tidak bisa menyanggupinya."

"Aku bisa mengejar beasiswa.." Kataku pelan.

Ayahku menatapku semakin tajam seperti memberikanku peringatan karena telah menjawab perkataannya. "Lebih baik kau melanjutkan Resto dibandingkan belajar. Prestasimu juga tidak sebaik Kiara bukan? Berteman dengan orang pintar tapi kau tidak tertular darinya. Dimana otakmu?! Kau memaksakan diri masuk ke sana tapi prestasi apa yang kau raih?! Sudah kubilang sekolah di sana itu percuma lebih baik kau masuk sekolah biasa!"

Aku menggigit bibirku pelan untuk menahan air mataku yang ingin turun setelah mendengar perkataan-perkataan ayahku yang tergolong pedas. Aku menunduk dan meremas surat di tanganku. Aku mendengarnya membuka pintu kamarku kembali. "Batalkan dan fokus saja untuk meneruskan resto." Katanya sebelum keluar kamarku.

Aku menghela nafas dan merasakan pandanganku yang memburam pada kertas di tanganku ini.

Beasiswa 80%

"Bukankah ini sudah cukup membanggakan??" kataku pelan sambil merasakan air mataku yang mulai mengalir  dari kedua mataku.

-----

(Kiara)

Krek.

Aku melirik pintu depan dan tersenyum lebar saat melihat ayahku berjalan masuk. "Hai dad.."

"Hai.." Katanya dengan cepat. Ia tersenyum melihatku dan mengusap kepalaku dengan cepat. "Sudah kau temukan file yang kuminta? Tolong kirimkan ke emailku sekarang juga.." Katanya sambil menekan tombol headset di telinganya.

Aku menghela nafas dan meliriknya yang berjalan terus menuju ruang kerjanya. Aku membututinya pelan menunggunya selesai menelepon. Namun sepertinya telepon ini akan berlangsung sangat lama. Aku memutuskan untuk menarik pelan lengan kemeja ayahku untuk menahannya yang berjalan menuju ruangannya. "Makan malam sudah siap.." Kataku saat melihatnya berbalik.

Ia melirikku dan berputar sedikit. "Ayah sibuk Kara.. Masih ada kerjaan kantor yang tidak terselesaikan, kamu duluan saja makan..". Ia menarik kembali lengannya dan menutup ruang kerjanya dengan rapat.

Aku menghela nafas dan tertawa kecil melihat pintu ruang kerja ayahku.. "Kedua orangtuamu memang sibuk Kara.. Apa yang kau harapkan?"

-----
Tanganku bergerak mengikuti alur tulisan rumus yang selalu kuhafal di pikiranku. Sesekali aku berhenti untuk menghitung cepat di pikiranku.  Mulutku juga sesekali bergumam pelan  mengeja soal maupun jawaban yang sedang kutulis.

The Winner and The LoserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang