Chapter 19

159 14 4
                                    

Flashback

(Leo)

Setelah kejadian kecelakaan di mana aku membunuh ayah Abby, aku hanya bisa mengunci diri di kamar dan tidak berbicara dengan siapapun selama berhari-hari. Rasa bersalah yang terpendam di dalam diriku membuatku takut untuk bertemu siapapun selain orangtuaku. Bahkan permintaan maafku pada Abby tidak ia terima.. Aku memang pembunuh bukan? Kejadian itu seperti menghantuiku kapanpun dan dimanapun aku berada. Tidak ada mimpi indah sejak aku mengalami hal itu. Setiap malam aku merasa kejadian itu terulang dimimpiku dan aku hanya bisa berharap diriku tidak sebodoh itu sehingga semuanya tidak terjadi. Andai saja saat itu aku menurut, andai saja saat itu aku menyukai keramaian teman-temanku, andai saja saat itu aku bisa menolongnya, andai saja saat itu aku tidak datang, atau andai saja aku tidak ada... 

Kedua orangtuaku berusaha membuatku kembali seperti semula atau paling tidak menarikku keluar kamar untuk makan, namun usaha mereka semua sia-sia sampai akhirnya seorang polisi datang ke rumah untuk menanyakanku berbagai pertanyaan mengenai kejadian itu secara lengkap. Semuanya berjalan baik, aku tidak ditahan dan keluarga Abby menganggapnya sebuah kecelakaan kerja, semua itu karena kakekku berada di sisiku dan menolongku menjawab semua pertanyaan. Sejak saat itu ayahku mulai mendekatiku dan mencoba membujukku untuk kembali ke sekolah atau paling tidak ke seorang kenalannya yang merupakan psikolog, Dr.Joe.

Dr.Joe merupakan dokter yang hebat. Ia dengan sabar dan tidak pernah kehabisan akal untuk membujukku berbicara tentang apa yang kurasakan. Ia memberikanku beberapa obat anti-depresan dan obat tidur ketika aku merasa sulit untuk melupakan kejadian itu. Namun satu hal yang ia tidak tahu...  Seiring dengan waktu, rasa bersalahku  semakin menumpuk sehingga sesekali membuatku ingin melupakannya dengan cara bunuh diri untuk menebus kesalahanku namun sepertinya Dr.Joe sudah memperingati kedua orangtuaku. Semua benda tajam sudah mereka sembunyikan dengan baik.

Aku menuruti bebrapa saran darinya namun tetap saja aku merasa kalau aku adalah seorang pembunuh dan aku tidak pantas untuk tetap hidup disini. Kedua orangtuaku adalah dokter yang berusaha menyelamatkan nyawa-nyawa orang lain yang kadang tidak mereka kenal, namun aku sebagai anak mereka adalah seorang pembunuh.

"Leo..." Panggilan lembut ibuku membuatku tersadar dari lamunanku dan menoleh lesu dari balik selimutku. Ia menghampiriku dan duduk di sampingku. "Makanan sudah siap. Ayo turun makan bersama kami.."

Aku diam dan menuruti ibuku. Aku berjalan menuju ruang makan dan nelihat ayahku menunggu di ruang makan. Ibuku mengikutiku dari belakang dan memastikan kalau aku menyentuh makanan yang sebenarnya tidak ingin sama sekali aku makan. Makanan itu terlihat lezat hanya saja aku tidak memiliki keinginan untuk makan.

Selama beberapa menit kami hanya diam dan aku hanya mengaduk-aduk makanan di piringku dengan malas. Ayahku berdeham dan melihatku dengan serius. "Let's move."

Perkataan singkatnya membuatku menaikkan pandanganku padanya. Ia tersenyum dan melihatku dengan tenang. "Ayo kita membuat kenangan baru di tempat yang baru."

Kali ini aku tertawa. Kedua orangtuaku menatapku bingung. Aku terus tertawa sampai akhirnya aku meletakkan sendokku. "Pembunuh sepertiku bisa pergi kemana dad?" kataku dengan kasar.

"Kau bukan pembunuh. Kejadian itu tidak kau sengaja."

"Tapi aku bisa saja menghindarinya!" Teriakku dengan kesal akhirnya.

"Leo!" Balasnya dengan teriakan.

Aku menggeleng dan berdiri. "Kau tahu aku hancur saat mengalami kejadian itu langsung? Ditambah lagi ketika seluruh sekolah menyebutku pembunuh? Saat seluruh mata menatapku seolah-olah aku adalah kriminal dan aku tidak mendapat hukuman apapun karena kakekku berkuasa ?!" kataku masih dengan berteriak.

The Winner and The LoserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang