Chapter 9

325 27 0
                                    

(Leo)

Aku menarik kursi meja belajarku dan duduk manis sambil mencoba belajar untuk ujian besok. Tanganku memutar-mutar pena sambil sesekali bergerak untuk mencoret-coret kalimat yang menurutku tidak perlu kupelajari. Setelah beberapa menit membaca buku di hadapanku ini,  fokusku mulai pecah saat mengingat perkataan ayahku tadi siang.

 Aku tahu mempercayai orang lagi tidak semudah itu, tapi lihatlah mereka Leo.. Mereka adalah temanmu yang sekarang...

Aku bisa kembali mempercayai orang? Bagaimana caranya? Aku sudah mencobanya berkali-kali namun semuanya gagal.. Semuanya.. Aku takut semuanya kembali seperti dulu..

"Aku tidak mengenal pembunuh itu."

"Dia pembunuh! Dia membunuh ayah Abby!"

"Kenapa ia masih ada di sekolah ini?"

"Pergilah! Kami tidak ingin ada seorang pembunuh di sekolah ini!"

Aku menutup kedua mata dan telingaku dengan cepat. Keringat dingin mulai mengalir lagi di wajahku. Sebuah bayangan mengenai kejadian itu mulai terulang di kepalaku seakan-akan semuanya baru saja terjadi. Aku menarik nafasku yang berat dengan susah payah. Aku membuka mataku lebar untuk menghilangkan bayangan itu lalu menatap bukuku yang terbuka dengan depresi. No.. Not now..

Aku menggigit bibirku dan mencoba menenangkan diriku. Not now Leo... Not now.. Please calm.. Calm down..

"Leo! Kau mau bermain?? Aku baru saja membeli game baru." Teriakan Rey dari balik kamarku membuatku melihat ke arah pintu kamar dengan panik. Rey tidak boleh tahu aku sedang seperti ini. Aku menarik nafasku dan kembali mencoba mengaturnya.

Aku menoleh saat mendengar pintu kamarku terbuka. 

"Leo?" Ia membuka pintu kamarku dan mengernyit.

Aku berusaha menatapnya dengan wajah datarku, walau kuyakin aku tidak bisa menutupinya secara sempurna. Aku masih bisa merasakan tanganku bergetar. 

Rey menaikkan sebelah alis matanya, "Sedang apa kau?"

"Study." Kataku sambil berusaha sebaik mungkin untuk menahan ingatan buruk itu untuk tidak muncul kembali di kepalaku.

Ia menggeleng dengan cepat dan menatapku dengan datar, "Kau sudah pintar, ayo main."

Aku menghela nafas dan mencoba mencari alasan untuknya pergi, "Aku harus menang melawan Kara dalam ujian."

Ia memutar kedua bola matanya, "Mercy Leo. Mercyyy!"

"5 menit."

"Wokayy!" Ia berseru riang dan berjalan ke arah ruang games.

Aku menghela nafas lega dan mengelap keringatku. Aku menutup bukuku dan berjalan ke arah kamar mandi. Aku mencuci mukaku dan menggeleng. Tanganku menepuk pipiku dengan kencang selagi aku menatap diriku sendiri di depan cermin di hadapanku. Aku mengeluh kesakitan namun hal ini berhasil membuatku sadar akan kenyataan. Seperti kata ayahku, aku harus bisa membuka hatiku seperti dulu. Harus..

Aku menyusul Rey dan melihatnya yang sudah bermain terlebih dahulu. "Dude. Kau harus membantuku defense dude!"

Aku menurut dan duduk di sebelahnya sambil menarik stick game console-ku.

------

Aku menggigit makan siangku dengan malas selagi tangan kiriku mulai menulis jawaban setiap soal matematika dari Lucy yang harus kukirim ke rumahnya malam ini. Ibuku bilang ingin berkunjung ke sana, jadi ayahku menyarankan untukku mengantarnya sekaligus mengumpulkan PR Lucy yang sepertinya ia tahu kalau aku mengabaikan PR tersebut. Aku menulis setiap jawaban dengan teliti, sesekali gerakan tanganku terhenti untuk menghitung hasilnya dalam otakku.

The Winner and The LoserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang