Matthew Jeffrey (Analogi Dirimu)

765 90 9
                                    


Hal tak terduga sebelumnya adalah sejak kapan aku menjadi seperti ini? Aku tidak pernah benar-benar mengungkapkan segalanya sejelas ini tapi yang kupikirkan saat ini hanyalah ... aku harus bisa memperbaiki semuanya. Aku bisa melihat dengan jelas ada garis lengkung tipis tercetak di bibirnya, tanda dia menahan senyumnya. Masihkah meragukanku? Aku jelas bisa membuatmu tersenyum. Kenapa menghindariku? Ingin rasanya kuluapkan semua pertanyaan itu, tapi tidak akan kubuat hari ini rusak begitu saja hanya karena pertanyaan konyolku. Itu adalah pilihannya sendiri, aku tak berhak mempertanyakan alasannya.

Aku mengantarnya pulang, usai pengakuan singkatku yang nyaris mengikis harga diriku. Mona menceritakan apa yang dialaminya hari ini. Memang ini bukan yang pertama kalinya aku mendengar curhatannya itu, tapi ini kali pertama dia curhat setelah peristiwa itu. Jadi, bisa kubilang ini awal yang baik bukan?

"Kalo gue jadi Aldo sih gak bakalan ngebentak-bentak lo. Ya masa gue ngebentak cewek yang gue taksir," jawabku sekenanya.

"Hey! Kak Aldo ngebentak gue itu jelas soal apa. Lah lo ga sadar kalo lo sering ngebentak-bentak gue, sadar dong kalo mau ngomong," cela Mona yang langsung membuatku tersadar. Benar juga katanya, aku memang sering membentaknya. Damn, apakah aku seburuk itu?

"Perasaan lo aja kali."

"Lo yang ga sadar, bego."

"Lo yang bego. Gue pinter."

"Terserah, bego."

"Gue turunin lo di sini lo, Mon?"

"Kenapa Matt? Nilai fisika lo katanya tertinggi sekelas ya, Matt?"

Aku tertawa kecil mendengarnya mulai mengalihkan topik meski lebih terdengar sebagai ejekan bagiku. "Penjilat," ejekku.

Mona tidak menjawabku tapi aku tahu dia sedang senyum-senyum sendiri karena itu hal yang selalu dilakukannya setelah mengejekku. Aku tidak pernah menduga jika hari seperti ini akan terjadi. Aku hanya ingin menikmatinya seperti ini dulu.

Motorku berhenti tepat di rumah berpagar coklat tua. Rumah minimalis yang ditinggali calon pacarku, maksudku Mona. Bertepatan dengan aku berhenti, datang juga sebuah mobil avanza putih yang berhenti di depan rumah Mona, aku tahu dengan jelas itu mobil siapa. Damn.

"Calvin?"

Tepat sekali. Itu mobil Calvin. Mona –yang sudah turun dari motorku— menatapku bingung, tampaknya dia sendiri tidak tahu dengan alasan kedatangan Calvin ke rumahnya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Pakaiannya bukanlah seragam seperti yang masih aku dan Mona pakai, dia mengenakan kaos putih dengan jeans selutut bahkan rambutnya sudah ditata dengan rapi.

"Ngapain lo ke sini?" Pertanyaan itu bukan meluncur dari bibir Mona ataupun aku, tapi Calvin. Dan jelas, itu bukan ditujukan pada Mona tetapi padaku.

"Lo yang ngapain ke sini?" tanyaku balik dengan nada sinis.

Calvin menaikkan ujung bibirnya seraya memandangku dari atas hingga bawah. Aku akui jika penampilanku kini sangatlah tidak bisa dibanggakan apalgi dipamerkan. Aku yang sedang duduk di motor dan masih mengenakan helm sekaligus seragam yang sudah terlihat lusuh. Pantas saja dia memandangku remeh, seolah mengatakan jika aku kalah level dengannya.

"Gue mau ngajak Mona jalan. Kenapa? Masalah buat lo?" Calvin meninggalkan senyuman remehnya. Ucapannya barusan seolah mengatakan jika aku harus tahu diri dahulu sebelum bicara apalagi mengajak Mona pergi. Sialan. "Kenapa tadi gak bilang kalo lo pulang malem, Mon? Tahu gitu kan gue bisa anter lo pulang, daripada lo naik motor."

"Apaan sih, Vin? Gue yang mau bareng sama Matthew juga. Lo ngapain ke sini? Perasaan kita gak ada janjian mau pergi deh. Gue udah janji sama Matt abis ini mau makan bareng."

R.M.D.K #2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang