Ramona Andrew (Kabar Buruk)

660 69 24
                                    

Sedari tadi ponselku tidak berhenti bergetar. Aku ingat jika aku sudah lama tidak menyetel alarm karena mama mengatakan hal itu sia-sia saja bagi 'anak babi' sepertiku. Aku tidak tahu bagaimana kosa kata macam itu muncul dari bibir mama untuk menghina anak semata wayangnya ini. Aku curiga jika mama sama papa itu ternyata siluman babi.

Tanganku mencari-cari di mana letak ponselku, berniat membumihanguskan suara-suara yang mengganggu tidur panjangku. Aku membuka sedikit mataku, karena tidak ingin membuat rasa kantukku hilang jika kubuka mataku lebar-lebar.

Ini bukan alarm ... tapi ini telpon. What the hell, siapa sih orang yang sepagi ini telpon-telpon? Aku membaca nama penelpon dan tertera nama Matt di sana. Dengan sedikit kesal aku menggeser tombol hijau yang ada di layar.

"Apa sih? Ngapain telpon pagi-pagi? Gak usah sok-sokan bangunin gue kaya di novel-novel deh, itu lebay," omelku sebelum dia membuka suara.

Ada suara dumelan dan protes dari seberang sana. "Tolong ya! Ngapain gue harus bangunin lo? Gue nelpon lo bukan gara-gara pikiran konyol lo, tapi ini soal serius. Raka meninggal."

Rasa kantuk yang sedari tadi menyerangku tiba-tiba hilang entah ke mana digantikan rasa terkejut. Matt masih memanggil-manggil namaku seraya berbicara dengan penjelasan yang tidak kudengarkan karena saat ini aku sibuk dengan pemikiranku sendiri dan ketakutan tersendiri yang kurasakan. Aku takut jika ini akan menjadi kasus yang besar, terlebih aku takut Matt dalam bahaya. Aku sudah mengatakan pada Matt tapi dia tidak pernah percaya padaku. Jujur saja, aku saat ini takut, aku takut ... jika Matt akan kenapa-kenapa. Aku masih ingat apa yang diucapkan Andra sebelum dirinya hilang kesadaran.

Kali ini tampaknya bukan lagi kasus main-main. Apalagi setelah melihat Andra yang ditabrak sebegitu parahnya, belum lagi Raka yang bukan hanya dicelakai saja tetapi meninggal. Ini sekolah atau ajang permainan bunuh-bunuhan sih?

"Woi!!! Dengerin gue gak sih lo, Mon?" teriakan Matt membuyarkan semua lamunanku.

"Apa? Apa?! Lo ngomong apa?! Siapa meninggal? Raka? Bercanda lo? Tahu darimana juga? Ini masih jam berapa juga? Kalo lo bercanda kek gini seriusan gak lucu."

"Siapa yang bercanda? Gue serius. Ini gue sudah di sekolah. Lo buruan ke sini kalo gak percaya. Khari sama David aja udah otewe. Bangunin lo aja yang kaya babi. Susah bangunnya." Nada suara Matt terdengar serius meskipun masih menyebalkan seperti biasanya.

"Lo ngapain ke sekolah pagi-pagi sih? Kaya anaknya satpam aja," omelku yang dibalas dengan suara erangan penuh amarah, "ya, ya, tungguin gue."

Aku mematikan sambungan telponku dengan Matt.

Mama dan papa sempat memandangku bingung begitu melihatku yang pagi-pagi sudah bangun. Masalahnya, aku tidak cuma sekadar bangun dan bermalas-malasan, tapi juga sudah berpakaian rapi.

"Tumben udah bangun, Mon?" tanya papa di meja makan.

Aku menyantap nasi goreng dengan telur dadar buatan mama sebelum menjawab pertanyaan papa. "Di sekolah ada insiden, Pa. Katanya ada yang meninggal masa."

"Hah?! Ada yang meninggal gitu kok bukannya diliburin sih? Bunuh diri? Ya ampun anak-anak jaman sekarang sudah gak kuat sekolah apa ya? Sampe nekat bunuh diri segala." Papa membuat kesimpulan sendiri sebelum aku menjelaskannya lebih detail.

"Bukan, Pa. Anaknya kayanya dibunuh. Kurang tahu juga Mona. Tadi aja ditelpon sama Matt dibilangin ada yang meninggal gitu sih," jelasku sekenanya sembari mengangkat bahu.

"Mona!" tegur mama yang membuatku agak terkejut, "gak usah ikut masalah yang aneh-aneh loh ya! Mama gak mau kamu kenapa-kenapa lagi seperti yang terakhir kali. Ini Mama ngomong serius, Mon. Kalo kamu ke sekolah cuma buat ngurusin hal begituan mending kamu pindah sekolah aja."

R.M.D.K #2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang