“Mon, menurut gue, ini ulah Ian.”
Aku juga berpikir hal yang sama dengan Matt. Sejak kemarin aku sudah mulai curiga, jika dihubungkan mulai terkihat jika dia sengaja. Matt berpikiran hal yang sama denganku, tidak tahu dengan Khari dan David.
“Lo pernah cerita katanya dia sempat minta ikut investigasi bareng kita kan? Mungkin dia berniat melakukan sejenis kamuflase? Yah, maksud gue, dia akan mengarahkan kita ke hal-hal yang lain agar dia tidak dicurigai. Apalagi Kak Alvin sahabatnya sendiri.”
“Justru karena sahabat sendiri, gue jadi takut kalo Ian sudah nemuin Alvin duluan,” balas Matt seraya membuka ponselnya.
“Maksudnya?”
“Mengubah kesaksian, Sayang.”
Langkahku terhenti. Oh tidak, Matt mengatakan apa? Sayang? Jantungku berdegup kencang, dia harus bertanggung jawab. Aduh, mana manis banget mukanya waktu dia bilang sayang. Ya Tuhan, mengapa cobaan di dekat Matt ini sangat sulit sih?
Beberapa kali berduaan dengan Matt selalu membuatku salah tingkah. Biasanya aku bakal mainan ponsel untuk mengurangi gejolak di jantungku. Aku tahu, Matt kesal soalnya dia merasa diabaikan. Hanya saja, aku tidak bisa bertindak seperti biasa.
“Kok berhenti?”
“Hah?”
“Lo kok berhenti? Sini!” panggil Matt. Aku setengah berlari menyusul Matt yang hanya berjarak beberapa langkah.
“Tadi gue kira tali sepatu gue lepas.”
“Oh. Kirain lagi salting.”
“Salting kenapa?”
“Dipanggil sayang.”
“Ngarep.”
Matt mencolek hidungku. “Masa sih, Sayang?”
Sial. Aku tidak tahu semerah apa wajahku sekarang tapi hatiku sudah tidak mau diajak berkompromi. Jika sel-sel di dalam diriku ini bisa bergerak, pasti sekarang mereka sudah berlarian dan membuat kegaduhan dalam diriku.
“Jijik.”
Matt menarik tanganku, digenggamnya telapak tangan itu. Reflek aku berusaha melepaskan diri, lagipula aku dan dia kan bukan pacar.
“Jangan dilepas,” pintanya dan entah mengapa aku menurutinya.
Bolehkah aku berharap jika Matt memang untukku? Dan gadis bernama Raya itu tidak akan pernah bisa mencuri hatinya? Aku benarkan?
“Matt!” seru seorang gadis. Kami berdua menoleh ke asal suara, di sana seorang gadis berkuncir kuda tengah berlari mendekat. Genggaman tangan erat –yang baru saja mengacak-acak isi hatiku—terlepas begitu saja, padahal dia bilang jangan dilepas.
“Ray, belum pulang?” tanya Matt. Nada suaranya terdengar sangat manis dan lembut.
Bolehkah aku mengutuk? Tidak tahu mengapa, rasanya sangat sakit. Jika hati bisa retak seperti patung porselin, mungkin saat ini hatiku sudah retak berkeping-keping. Aku menggigit bibir dalamku, kalau aku tidak melakukan ini mungkin air mata sudah menyeruak begitu saja. Katakan saja aku lebay dan baper, memang kenyataannya begitu.
Kualihkan pandangan ke balkon, melihat pemandangan lapangan sekolah yang sudah sepi. Biasanya anak-anak basket berkumpul di sana, pasti hari ini sedang ada pertandingan. Sudah lama aku tidak pernah bertanya kabar tim basket pada Khari.
Obrolan yang keluar dari bibir mereka berdua bagai angin lalu. Terasa jelas, namun tidak bisa kucerna. Aku mengusap kasar pelupuk mata yang mulai terasa basah. Jangan sampai ada yang menyadari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
R.M.D.K #2 [END]
Misteri / ThrillerMatthew Jeffrey, satu di antara ratusan siswa yang beruntung menjadi vokalis di band sekolah tanpa melalui proses audisi. Matt mengira mendapat hal yang cukup istimewa, menjadi bintang utama dengan mudah. Awalnya, semua memang baik-baik saja. S...