Matthew Jeffrey (Syndrome Band)

1.6K 122 41
                                        

"Seriusan lo? Mau gabung ke band?"

Khari mulai menyerocos, seperti biasa dengan nada yang sangat meremehkan, ya ya ya, aku tahu saat ini pasti dia sangat meremehkanku. Bagi dia, semua orang selalu saja dianggap remeh. Dan dia merasa dirinya yang terbaik. Terkadang, sikapnya itu bagus, tapi seringnya menyebalkan. Ah, ralat, sifatnya itu sangat-sangat menyebalkan.

Aku mengedikkan bahu.

"Jadi apa lo? Yang gulung kabel?" Kali ini giliran David yang mulai tertular virus kepo dari Khari. "Lo kaga mimpi ataupun mabok kan?"

"Vokalis," jawabku enteng disertai senyuman pamer. Aku sudah membayangkan bagaimana nantinya aku ketika menjadi salah satu vokalis. Aku tahu, itu akan menjadi sangat keren. Bukannya sombong, tapi banyak yang mengakui pesonaku yang satu ini, kecuali tiga orang yang berada di meja ini.

Andra tadi datang sendiri ke kelasku, dia bahkan menyuruhku bergabung menjadi vokalis untuk band-nya tanpa audisi. Baca sekali lagi, tanpa audisi. Sedangkan, posisi menjadi vokalis –bintang utama sebuah band—adalah idaman hampir seluruh orang. Dan aku, salah satu orang beruntung itu. Bukankah itu tandanya visual sekaligus suara kamar mandiku sangat menarik minat mereka?

"Vokalis? Emang lo bisa nyanyi, Matt? Kok ga pernah denger," celetuk Mona –gadis yang beberapa waktu yang lalu menolakku.

Mengingat fakta jika Mona baru menolakku, itu masih menjadi fakta yang menyakiti hatiku. Dan terkadang fakta itu membuat hubunganku dan Mona menjadi renggang. Sudah sangat jarang aku dan dia menghabiskan waktu untuk berbincang. Bahkan aku sudah tidak pernah mengantar-jemputnya lagi. Memang benar, kami berempat selalu berkumpul setiap istirahat, pulang, dan saat-saat lainnya. Namun itu tak berarti hubunganku dan Mona masih sama seperti dulu.

Aku melemparkan tatapan sinisku padanya. "Apa sih, Mon?" omelku.

Mona tergelak dan menutup mulut dengan canggung. Rasain tuh rasain. Setidaknya, aku bisa diam-diam membalas sakit hatiku dengan cara ini. Membuatnya tak nyaman berada didekatku. Aku hanya ingin sedikit menghukumnya, merasakan apa yang aku rasakan. Aku tidak salah kan?

"Jahat banget sih lo, Matt. Jangan bully temen gue dong." Khari kali ini tampil dengan gaya-teman-sok-peduli-padahal-hoax-semuanya.

Aku menatap mata Mona yang sibuk memandangi arah lain, aku tahu dia sengaja tidak ingin melihatku. Mungkin dia justru membenciku. Yah, aku pantas dibenci memang. Benci saja. Buat apa mengasihani cowok sepertiku kan? Aku Cuma segumpalan cowok brengsek yang mengganggu hidupnya.

Diam-diam aku menatap kedua bola matanya yang berwarna hitam pekat, hasil soflen yang dia beli. Beberapa minggu keluar dari rumah sakit—karena peristiwa miris yang malas kuungkit—aku tidak tahu apa yang terjadi pada otaknya, dia memutuskan untuk memakai soflen berwarna hitam legam itu. Padahal, aku masih ingat dulu dia merengek ketakutan ketika disuruh memakai soflen. Dia takut kalau soflennya tidak bisa keluar dari matanya tapi sekarang dia malah kerajinan pakai soflen setiap hari.

Sebenarnya, aku jauh lebih suka melihatnya dengan kedua bola matanya yang berbeda warna itu. Biru dan coklat. Perpaduan warna yang unik. Aku masih tak terbiasa melihat kedua bola matanya yang kini diisi warna hitam legam. Poni panjangnya yang dulu senantiasa menutupi wajahnya, kini dipotong pendek sehingga menampilkan wajahnya dengan jelas. Aku tahu sejak dia memakai soflen hitam itu, dia tampak lebih percaya diri dari sebelumnya.

Namun di sinilah letak hal menyebalkannya. Hal yang menyebalkan adalah ... kenapa semua orang menjadi memuja-muja Mona? Banyak cowok yang berusaha pedekate ke Mona. Bahkan, si Calvin juga kembali mendekati Mona. Damn. Mona bahkan cantik tanpa harus dengan soflennya itu. Kenapa mereka mendekati Mona ketika dia mengubah penampilannya?

R.M.D.K #2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang