Aku memarkirkan motorku sembarangan, bahkan nyaris lupa mencopot kunci motorku. Damn, kenapa sih dia harus mengajakku bertemu di tempat seperti ini? Peristiwa beberapa bulan lalu itu saja masih belum bisa aku lupakan. Dengan langkah berat aku masuk ke dalam gedung kosong di hadapanku.Suara tokek yang mendadak terdengar jelas di telingaku menambah suasana seram di tempat ini. Aku menutup hidungku begitu angin kencang meniup debu-debu di ruangan ini, aku sedikit terbatuk dibuatnya.
"Ian," panggilku. Entah mengapa suaraku terdengar bergetar, ini tidak baik. "Ini gue, Matt, keluar lo."
Telingaku menangkap suara samar-samar, aku berusaha mencari asal suaranya sembari terus memanggil Ian.
Bukk. Tubuhku tersungkur ke depan begitu sesuatu yang kasar dan berat mengenai tengkukku. Aku dapat merasakan beberapa debu masuk ke mulutku. Menjijikkan, aku terbatuk-batuk tapi berusaha segera bangkit. Selagi aku mencoba bangkit, sebuah pukulan sudah mendarat di kepalaku.
Pandanganku terasa kabur, aku masih sadar hanya saja sudah kesusahan bergerak. Pukulan itu menjadi membabi-buta sampai tubuhku lemas. Tangan dan punggungku menjadi sasaran pukulan itu.
Matt, kenapa harus jadi sok pahlawan sih? Kenapa tidak memberitahu Inspektur Terong? Kenapa harus merasa sok sanggup sih? Semua pikiran itu mendadak membuatku menyesal dengan semua pilihanku.
Aku dapat merasakan seseorang menarik seragamku dengan kasar dan menyeretnya. Tubuhku beberapa kali tergores benda-benda tajam di tempat ini. Brukk.
Tubuhku didorong ke kursi kayu. "Ian," ucapku lemas. Sosok di hadapanku hanya tersernyum miring seolah dia yang memenangkan pertarungan ini. Aku berusaha berontak saat tanganku diikat ke belakang dengan tali, tapi usahaku tidak berhasil. Ini membuatku sadar, jika tokoh hero di film tetaplah sebuah imajinasi. Ian menutup mataku dengan kain, membuat pandanganku menggelap.
"Gue pikir lo itu pinter, ternyata bodoh banget ya?" bisiknya tepat di telingaku. Sebuah tongkat yang tadi digunakannya untuk memukulku terasa di puncak kepalaku. "Lo itu sebenernya pinter, cuma sombong. Makanya gampang banget buat jebak lo."
"Lo bakal ketangkep. Serahin diri lo sebelum hukuman lo makin berat," ucapku lirih.
Pukulan keras mengenai pelipisku bersamaan dengan suara tawa Ian yang menggema.
"Sayangnya, gue akan menyerahkan diri setelah lo mati. Harusnya lo dengerin selagi gue masih baik, sayangnya lo terlalu bebal."
Samar-samar, di balik suara teriakan Ian. Aku bisa mendengar ada suara langkah kaki. Sangat samar, namun masih terasa di indera pendengaranku.
Bukk.
Ada suara gedebuk yang berasal dari jauh. Disusul dengan gedebuk yang lain. Ada apa sih?
"Dek, lo cek ya?"
Dek? Ian gak sendirian? Terus siapa Dek yang dimaksud sama Ian?
Aku menunggu suara sahutan dari orang itu, tapi tidak ada. Hanya suara langkah kaki yang semakin menjauh. Sial, siapa kaki tangan Ian?
Selama beberapa detik, semua terasa sangat hening. Aku bahkan dapat merasakan hembusan napasku yang tersenggal. Namun suara langkah kaki cepat, seperti orang berlari, memecah keheningan ini.
"Kak, ada polisi sama temen-temennya orang ini." Orang ini yang dimaksud pasti aku. Apakah teman-temanku tahu aku di sini? Eh tunggu, suara cewek ini sama sekali nggak asing? Astaga siapa sih? Aku pasti kenal. "Kayaknya salah satu dari mereka gak sengaja pukul temennya makanya ada suara tadi. Gimana ini? Kalo kita tinggal, pasti ketahuan. Kalau kita lanjutkan, kita juga ketangkep."
KAMU SEDANG MEMBACA
R.M.D.K #2 [END]
Mystery / ThrillerMatthew Jeffrey, satu di antara ratusan siswa yang beruntung menjadi vokalis di band sekolah tanpa melalui proses audisi. Matt mengira mendapat hal yang cukup istimewa, menjadi bintang utama dengan mudah. Awalnya, semua memang baik-baik saja. S...