The Weird Aelke

1.4K 61 0
                                    

Warn: Dont Copas this Amateur Story...


Malam sudah beranjak sejak dua jam lalu. Morgan dan Dicky baru sampai restoran khas Sunda untuk makan malam.

"Mau makan apaan, Gan?" tanya Dicky, restoran Sunda itu memang menyediakan makanan secara perasmanan yang mana makanan-makanan tersebut tersedia di meja panjang dengan aneka ragam khas Sunda. Morgan dan Dicky sudah siap dengan piring rotan yang dilapisi daun pisang di tangan masing-masing.

"Cumi bakar, sama kangkung enak banget pasti..." Morgan menyendokkan dua cumi besar dengan saus balado dan memilih makanan lainnya. Sedangkan Dicky memilih bebek bakar dan sambal terasi. Setelah piring mereka berdua dipenuhi makanan, mereka mencari tempat duduk dan memilih duduk di luar dengan angin sepoi khas Bandung.

"Hei, kalian disini..." Morgan dan Dicky yang asik makan mendongak bersamaan dan di hadapan mereka sudah ada Rafael bersama istrinya, Irma.

"Wah ada Coco... Makan bareng sini..." ucap Dicky dengan tangan yang belepotan sambal.

"Co, makan... Barengan aja, pan bangkunya empat." ujar Morgan yang setelah itu menyeruput es teh manisnya.

"Kamu mau makan apa? Aku ambilin, duduk duluan aja disini sama mereka..." tanya Irma, Rafael berpikir sejenak.

"Sama-in deh sama kamu, aku makanan Sunda mah suka semua..." ucap Rafael, Irma mengangguk dan pergi untuk mengambil makanan sedangkan Rafael duduk bersama Morgan dan Dicky.

"Gue lupa kalo rumah elo deket sini, Raf..." ucap Morgan.

"Lo bedua disini ngapain? Maen lah ke rumah gue.."

"Ada proyek, Co... Mau gabung?" tanya Dicky.

"Pengen, sih.. Tapi lagi banyak tugas di Rumah Sakit gue... Ini aja baru pulang." ucap Rafael.

"Ah iya, gue lupa kalo dokter mah sibuk..." celetuk Morgan.

"Makan ayam penyet aja gapapa, kan?" tanya Irma yang sudah datang dengan dua piring di tangannya. Rafael membantu istrinya menaruh makanan di meja. "Gapapa,  sayang. Makasih ya..."

Pelayan datang membawa dua gelas minuman yang dipesan Irma, dan akhirnya mereka berempat makan sama-sama.

"Gan, gimana kabar Aelke? Udah ngisi, kan?" tanya Irma disela-sela makan. Hubungan keduanya sekarang sudah seperti teman biasa.

"Udah... 1 bulan. Doain ya... Kamu sama Rafael gimana?" tanya Morgan menggoda, Rafael terkekeh.

"Belom sukses..." jawab Rafael.

"Honey moon, dong..." ledek Dicky.

"Irmanya gak mau..." timpal Rafael. Irma tertawa kecil.

"Dinda baikan, kan? Dia jangan dibiarin sendirian, tuh..." ujar Rafael.

"Dinda ditemenin Aelke kok seminggu ini..." ucap Dicky, dan malam itu, obrolan ringan mereka berlanjut hingga rasa kenyang menyergap mereka semua.

***

Dinda mengernyitkan dahinya pusing setelah menemani Aelke berjalan-jalan di sebuah Mall besar Jakarta. Aelke mengajaknya hanya berkeliling Mall tanpa tentu tujuan. Keluar masuk toko yang berbeda-beda tapi tak berniat membeli apa-apa, bagaimana Dinda tidak pusing? Ini hari ketiga Aelke membuatnya lelah karena keinginannya aneh-aneh.

"Doh, mau kemana lagi? Gue capek tau, Ael..." keluh Dinda duduk di salah satu kursi restoran. Aelke malah celingak-celinguk entah mencari apa.

"Makan di tempat lesehan, yuk!" ajak Aelke sambil mengetuk-ngetuk dagunya mencari stand makanan yang menyediakan tempat lesehan untuk makan.

"Di Mall gini mana ada sipit, udah dah makan disini aja..." elak Dinda malas bangun.

"Gue traktir, Nda, ayolah..." Aelke merengek dan menarik-narik tangan Dinda. Dinda memakai tasnya dan mengikuti langkah Aelke yang menyeretnya. Mereka berdua lalu beralih menuju pintu keluar Mall, namun Aelke malah membelokkan langkah menuju salah satu toko pernak-pernik dan Dinda menghembuskan nafas kesal.

"Morgan... Gue nyerah!" keluh Dinda menyeka keringat. Ia mengikuti Aelke yang memilih-milih benda unik di toko tersebut.

"Mbak, yang ini masih ada satu lagi?" tanya Aelke pada pelayan toko, pelayan toko itu mengangguk dan langsung mencarikan benda yang sama.

"Adanya beda warna, gapapa? Ini barang limited banget, tinggal dua warna lagi, gak ada yang sama kaya itu." jelasnya memberikan dua benda yang sama pada Aelke.

Aelke berbinar-binar matanya saat melihat benda di hadapannya. Ia sangat senang. "Gapapa, kok. Warna gold sama yang putih itu, bungkus ya..." ujar Aelke dan dengan gesit pelayan itu langsung menuruti keinginan Aelke.

"Lo beli dua buat siapa?" tanya Dinda, Aelke membeli dua bola kristal yang ada pijakan di bawahnya. Sebuah pajangan dengan kelap-kelip di dalamnya jika bola itu digoyang-goyangkan.

"Buat gue semua, lo mau? Tuh ada satu lagi..." ujar Aelke, Dinda sontak menggelengkan kepalanya menolak. "Ogah, gak usah..."

***

Setelah susah-susah mencari tempat makan lesehan, akhirnya Aelke dan Dinda sampai di tempat yang Aelke inginkan. Sebuah kedai makanan bakso dan mie catrek di pinggir jalan itu membuat Aelke semangat makan. Dinda memesan bakso, sedangkan Aelke memesan mie catrek.

Aelke membuka ponselnya, ada panggilan video dari Morgan.

"Siang, cantik... Loh, kamu lagi dimana?" tanya Morgan heran melihat tempat dimana Aelke berada.

"Makan siang di kedai lesehan sama Dinda.." jawab Aelke antusias, Morgan mengernyitkan dahinya. Pasti Aelke membuat Dinda kewalahan.

"Ngidam?" tanya Morgan, Aelke mengendikkan bahunya tak mengerti. Dinda merebut ponsel Aelke dan langsung bertatapan dengan Morgan.

"Gan, jangan lama-lama, dong. Istri lo aneh-aneh kemauannya. Bukannya jagain gue, gue malah harus nemenin dia kemana-mana..." adu Dinda pada Morgan sampai Aelke hanya cengar-cengir mendengarnya.

"Duh maaf banget... Gue tau dia pasti banyak repotin lo. Yang sabar ya, gue masih 3 harian disini... Maafin istri gue.." ucap Morgan tak enak hati.

"Aku begini itu terakhir, deh. Besok enggak lagi, seriusan!" ujar Aelke memperlihatkan kesungguhannya di depan Dinda dan Morgan dari jauh melihatnya. Sejak hamil, Aelke jadi sangat-sangat polos kelakuannya. Dinda geleng-geleng kepala. Kemarin Aelke sudah mengatakan hal yang sama, tidak akan aneh-aneh, tapi kenyataannya? Dia makin aneh!

***

Menelisik kehidupan kakak semata wayang Aelke, Alfard. Ia dan keluarga kecilnya tetap tinggal di rumah orang tua Aelke karena orang tua mereka sudah mengatas namakan rumah tersebut untuk Alfa dan keluarganya.

"Bunda kamu mana, sayang?" tanya Alfa pada putri kecilnya Aira yang sudah hampir satu tahun usianya. Aira menatap bola mata sang ayah dan menggeleng, mengertikah anak kecil itu?

"Bunda disini, ayah..." ucap Rani yang berjalan mendekati Alfa dan Aira dengan sebotol susu di tangannya.

"Minum susu dulu anak bunda..." Rani beralih menggendong Aira, sejak lahir, Aira sulit minum ASI. Ia hanya mau minum susu botol dan itu berlangsung sampai saat ini.

Alfa duduk di sisi ranjang, menatap istri dan buah hatinya tercinta. Sudah sebulan terakhir ia jarang di rumah karena pekerjaan.

"Yah, aku ngerasa gagal jadi ibu..." lirih Rani.

"Hust, kok ngomong gitu?" tanya Alfa, Rani sambil menimang-nimang Aira menahan nafas sejenak, dan menghembuskannya perlahan.

"Aku gak bisa kasih dia ASI, jangankan ASI ekslusif, nyobain aja Aira langsung muntah..." ujar Rani murung, Alfa langsung duduk di samping Rani, dan mengusap puncak kepalanya.

"Kegagalan menjadi seorang ibu bukan diukur dari semua itu. Tapi dari cara dia mendidik anaknya sampai dewasa, aku yakin kamu ibu yang baik buat anak-anak aku..." ucap Alfa, Rani langsung tersenyum mendengarnya.

***

Pagi menjelang, Dinda memicingkan matanya saat sinar matahari sudah menerobos ke dalam kamarnya. Dinda duduk di ranjangnya, dan mengusap-usap matanya yang masih mengantuk. Dinda termangu, semalam ia tidur dengan Aelke, tapi Aelke tak ada di sampingnya.

"Si sipit kemane?" ujar Dinda heran. Ia langsung bangkit dan mencari Aelke ke kamar mandi, namun Aelke tak ada disana. Dinda lumayan panik, ia langsung keluar kamar dan mencari Aelke ke dapur, tapi suasana rumah sangat sepi. Aelke tak terdengar dimana-mana. Dinda membuka pintu yang masih terkunci, dan mendapati sepatu Aelke terpampang rapi disana.

"Aelke kemana, sih..." Dinda mulai panik. Ia sudah mengelilingi rumahnya dan mencari keberadaan Aelke, tapi tak ada. Dengan gusar dan takut, Dinda kembali ke kamarnya dan berniat untuk menghubungi Morgan karena Aelke tak ada.

"Duh, masa iya Aelke udah pulang... Dompet sama tasnya aja ada disini..." ujar Dinda khawatir, ia meraih ponselnya, mencari-cari kontak Morgan, namun langsung membatalkan niat saat melihat gorden ke balkon kamar melambai-lambai diterpa angin. Dinda langsung berjalan ke balkon dan menyeret gorden.

"Astaga... Ya ampun, Aelke....!!!!" pekik Dinda keras, ia melihat Aelke tidur di balkon kamarnya yang langsung terlihat keluar. Aelke tidur dengan nyenyak hanya beralaskan kasur lantai dan selimut padahal hari sudah pagi.

Dinda menepuk-nepuk pipi Aelke, damai sekali wajah Aelke tertidur di luar seperti ini.
"Ael, bangun... Lo ngapa tidur disini??? Ah gila..." tukas Dinda kelimpungan.

Aelke menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuhnya dan perlahan membuka matanya. Gadis itu hanya berkedip-kedip dengan nyawa yang belum terkumpul di tubunya.

"Udah pagi ya..." ucap Aelke pelan. Dinda menggeleng-geleng tak habis pikir pada temannya tersebut.

"Udah siang. Sipit, lo ngapain tidur di balkon??? Gila ya lo. Dingin tau disini. Gue cari elo kemana-mana, lo malah asik tidur disini..." oceh Dinda dengan suara yang keras. Aelke menatap dirinya yang memang baru bangun tidur dan ia ada di balkon kamar Dinda sekarang.

"Ssstt.. Nenek-nenek bawel amat pagi-pagi? Gue semalem gabisa tidur. Bisa tidurnya pas liatin bintang." tukas Aelke tersenyum. Dinda melongo, liatin bintang?

Aelke langsung bangun, menggulung kasur lantai dan bergegas ke kamar mandi. Sedangkan Dinda hanya melongo, masih mencerna kelakuan Aelke. Aneh!

***

"Pa, udah selesai, kan?" Morgan tengah berbicara pada seseorang di seberang telepon. Ia sudah berada di depan rumah Dinda dan Dicky, dan akan menjemput Aelke pulang setelah sebelumnya mendengar tingkah aneh Aelke dari Dinda.

"Oke, jadi udah tersedia disitu? Sip. Makasih atas pengerjaannya ya... Selamat siang!" Morgan menutup sambungan telepon, dan tak lama Aelke masuk ke dalam mobil Morgan setelah berpamitan pada Dinda dan Dicky.

"Ada festival sama pameran loh hari ini... Mau kesana?" tawar Morgan, Aelke mengangguk antusias.

"Mau banget..." jawab Aelke. Morgan terkekeh, entah kenapa Aelke jadi sangat aktif saat hamil. Biasanya orang hamil loyo-loyo dan sering muntah, tapi Aelke tidak.

"Boleh.. Kita kesana, ya. Sini, cium dulu, aku kangen..." ujar Morgan mencium bibir Aelke sekilas dan langsung melajukan mobilnya menuju tempat yang  mereka tuju.

***

Pameran sudah ramai siang ini. Ada pameran seni dan festival full musik di pusat kota Jakarta. Aelke antusias melihat-lihat lukisan yang dipamerkan disana. Ia jadi rindu melukis lagi seperti dulu. Morgan mengekor, membiarkan Aelke asik dengan yang ia lakukan.

"Sssssttt.... Aku gak mau anak aku kemanisan gara-gara kamu kebanyakan makan gulali..."  Morgan merebut gulali atau kembang gula yang seperti kapas dari tangan Aelke. Sambil mengitari pameran, Aelke sudah menghabiskan tiga gulungan kembang gula, padahal Morgan melarangnya.

"Ih main rebut-rebut aja. Enak tau!" dumel Aelke kesal. Ia langsung berjalan lagi menuju penjual kembang gula dan Morgan menepuk jidatnya.

"Jangan beli lagi..." sergah Morgan menghadang langkah Aelke, dengan gemas Aelke berusaha melewati tubuh Morgan dan memesan empat kembang gula sekaligus.

"Bang, empat ya!" ujar Aelke santai sampai Morgan membolakan matanya. Aelke membayar kembang gula berwarna merah muda dan menenteng kembang gula itu bahagia seperti anak kecil.

"Kamu beli sebanyak ini buat apa?" tanya Morgan gemas, Aelke mendelik.

"Buat dimakan, lah... Kenapa, sih?"

"Gak baik makan manis-manis kebanyakan begitu. Kamu minum susu hamil enggak mau, makan begituan malah kebanyakan. Gak baik..." sela Morgan kesal.

"Ini aku beli buat Zean sama Zeinifa dua. Buat aku dua. Siapa tau anak aku dua-duanya di dalem perut ini mau, kan?" ujar Aelke menaik-turunkan alisnya. Morgan tertegun, Aelke dengan percaya diri menganggap kandungannya ada dua janin.

"Anak kita belum tau ada berapa, sayang. Jangan aneh-aneh, deh!" ujar Morgan pusing, bagaimana kecewanya Aelke jika nanti ia hanya melahirkan satu anak? Sedangkan sejak saat ini ia menganggap dirinya tengah hamil baby twins, Morgan menggeleng-geleng gusar.
"Ada dua. Aku yakin!" tukas Aelke sangat yakin. Morgan menghembuskan nafas gusar, berjalan mengekori istrinya lagi yang santai menenteng kembang gula di tangannya. Anak kecil saja kalah.

Buk!

"Duh, kenapa berhenti tiba-tiba, sih!" dumel Morgan karena tubuhnya menabrak Aelke di depannya. Aelke tidak menjawab, Morgan mendongakkan kepalanya, dan melihat apa yang terjadi di depan Aelke.

"Mau itu!" pekik Aelke menunjuk sesuatu, Morgan cengo, menelan ludahnya sendiri melihat apa yang diinginkan Aelke.


TBC...



#Mila @MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang