So Sorry, Bos!

991 40 0
                                    




Dont Copy Paste this Amateur Story!!!



Suara kokok ayam sudah terdengar dimana-mana menandakan mentari siap sinarkan hangatnya karena hujan berserah pada pemilik alam untuk tidak turun pagi ini. Aelke menyibakkan selimut yang membalut tubuhnya. Ia melihat ke samping, Morgan sudah tidak ada di ranjang mereka berdua dan pintu kamar mandi terbuka. Kemana suaminya?

Aelke memilih untuk mandi terlebih dulu, sebelum masuk ke kamar mandi, Aelke mengusap perut besarnya. "Selamat pagi calon anak mama, sehat-sehat ya di dalem." ujar Aelke yang setelah itu langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk melakukan ritual bersih-bersih.

Morgan masuk ke kamar, kamarnya sudah rapi tanpa adanya Aelke dibalik selimut lagi. Ia menatap kamar mandi yang tertutup, dan yakin jika Aelke ada di dalam sana. Morgan berjalan ke balkon kamar, mengawasi apapun dari sana. Audrey benar-benar memenuhi janjinya atas kesepakatan mereka berdua dan tidak ada lagi teror-teror yang datang ke rumah mereka.

"Morning calon papa..." Morgan tersenyum saat dua telapak tangan sudah berada di depan perut sixpack-nya. Tangan yang terasa dingin selepas mandi itu melingkar manja.

"Morning too calon mama..." ujar Morgan menoleh ke samping dan wajah Aelke terlihat disana. "Mwach, morning kiss..." Morgan mengecup bibir Aelke sekilas. Setelah itu Aelke melepaskan pelukannya dan berjalan ke dalam untuk berganti pakaian. Karena tadi ia hanya menggunakan handuk kimono saja.

Setelah puas menghirup udara pagi di balkon kamar, Morgan masuk ke dalam dan mendapati Aelke tengah duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut lurusnya.

"Sini, yang!" panggil Aelke, Morgan mendekat. Aelke berdiri dan menggerakkan sisirnya di rambut Morgan. Ini adalah kebahagiaan sederhana Morgan, hal kecil seperti menyisir rambut saja dilayani. Enak, bukan?

"Ganteng banget calon papa kalian tuh...!" ujar Aelke sambil meletakkan sisir dan menggandeng Morgan untuk turun ke bawah.
Aelke tertegun sejenak, meja makan sudah tertata rapi dengan menu sarapan diatasnya. Ada dua porsi sandwich dan dua gelas susu. Morgan menarik kursi dan mempersilahkan Aelke duduk disana. Aelke duduk dengan ragu, harusnya ia menyiapkan sarapan suaminya, bukan kebalikannya.

Morgan duduk di kursi lainnya dan kini mereka berhadapan. "Itu susu ibu hamil, abisin ya. Kalo aku gak ada, buat sendiri, atau suruh bi Parmi yang buat." pesan Morgan sambil mulai menyeruput susu cokelatnya. Sedangkan susu untuk Aelke berwarna putih.

"Kamu yang nyiapin semua ini?" tanya Aelke, Morgan mengangguk antusias.

"Besok kan aku pergi, jadi sekarang aku lakukan apapun buat kamu. Sarapan ya, sayang..." ucap Morgan mengusap lembut tangan Aelke yang berada di atas meja, Aelke tersenyum, manis sekali Morgan pagi ini.

***

Tertawa riang bersama, itu adalah kebahagiaan sederhana pasangan suami istri muda yang tengah menanti buah hati dan pernikahan mereka barulah seumur jagung. Morgan mengajak Aelke berenang untuk kesehatannya juga si cabang bayi yang dikandungnya.

Puas berenang ditemani sekaligus diawasi Morgan yang setia menggenggam tangannya, Aelke duduk di tepi kolam dengan busana yang masih basah kuyup. Sedangkan Morgan asik timbul tenggelam di kolam renang. Sudah lama kolam renang tidak mereka pakai.

Morgan dan Aelke sama-sama suka dan pandai berenang. Hanya karena Aelke tengah hamil, sejak turun ke air tadi, Morgan tidak membiarkan Aelke berenang seperti biasanya.

"Kamu mandi duluan, terus siap-siap. Kita pergi. Cepetan!" titah Morgan yang muncul dari permukaan air, lalu mengusap wajahnya yang terlihat seksi ketika basah seperti itu, apalagi rambut acak-acakannya.

"Kemana?" tanya Aelke yang langsung berdiri dan memakai handuk kimono tebal yang ia siapkan di dekat sana.

"Ada deh!" jawab Morgan yang langsung menyeburkan tubuhnya lagi. Aelke hanya menggeleng saja, ia langsung ke dalam rumah dan mengikuti apa yang Morgan perintahkan. Setelah mencoba berbagai gaya renang yang ia kuasai, akhirnya Morgan berenang ke tepian dan memakai handuk yang Aelke siapkan.

Aelke keluar kamar mandi saat Morgan baru naik ke atas, suaminya itu langsung masuk ke kamar mandi, sedangkan Aelke bersiap diri meski tak tahu Morgan akan mengajaknya kemana.

Aelke memilih memakai gaun hamil yang Morgan belikan. Modelnya lucu, gaun yang tidak sempit untuk perutnya berwarna cokelat dengan polkadot di bagian atasnya. Aelke membiarkan rambutnya tergerai sambil ia keringkan dengan hair dryer.

Ponsel Morgan berdering, ada panggilan masuk disana. Aelke baru hendak menghampiri telepon Morgan, tapi Morgan dengan cepat keluar kamar mandi dan meraih ponselnya. Morgan keluar kamar dan menerima telepon itu diam-diam, Aelke mulai curiga, ada yang aneh pada suaminya, akhir-akhir ini, Morgan sangat menjaga privasi di ponselnya.

Morgan kembali masuk kamar, Aelke hanya diam disana. Entah kenapa, ia enggan untuk sekedar bertanya siapa yang menelepon Morgan.

"Yuk!" Morgan mengulurkan tangannya, Aelke menerima uluran tangan Morgan dan mereka berjalan berdampingan menuruni anak tangga. Aelke hanya diam, Morgan tahu mengapa istrinya seperti itu tapi, ia tak mau merusak suasana tenang yang mereka berdua ciptakan sejak kemarin.

Morgan merangkul pinggang Aelke mesra dan terus berjalan keluar rumah. Aelke menautkan sebelah alisnya, Morgan tidak mengeluarkan mobil. Lelaki itu malah mengajak Aelke terus berjalan ke Klinik Anak Sehat 24 Jam milik Rangga dan Hana.

"Kita kontrol, semoga kamu sama anak kita sehat..." bisik Morgan di telinga Aelke setelah mereka memasuki Klinik.

"Aku gak mau USG!" tukas Aelke, Morgan terkekeh, "Kita kontrol kandungan kamu, enggak USG, sayang..." ujar Morgan gemas. Ada Hana yang kebetulan baru keluar dari ruang pemeriksaan.

"Eh udah dateng, langsung kesana aja, yuk!" ajak Hana menunjukkan ruang khusus ibu hamil yang memeriksa kandungannya.

"Rafael?" tukas Aelke saat melihat Rafael dan Arfa tengah duduk di kursi tunggu. Rafael menoleh dan menyunggingkan senyuman khasnya.

"Keluarga bahagia, nih. Apa kabar?" tanya Rafael berdiri dan merangkul Morgan sekilas lalu menyalami Aelke. Aelke tersenyum melihat Arfa yang sudah tumbuh besar, Aelke pernah merawat bocah kecil dari Alm Ifa dan Ryan itu.

"Baik, Raf. Lo disini?" tanya Morgan. Rafael mengangguk. "Gue sekalian main ke rumah mertua kemaren, kontrol aja kesini. Main juga, haha.." jawab Rafael.

"Lo kan dokter juga, Raf!" tukas Morgan.

"Beda aja rasanya, jadi gue mau langsung tanya prediksi dari dokter kandungan langsung yang lebih senior..." jelas Rafael.

"Arfa apa kabarnya? Masih inget enggak sama ante? Antenya dulu dipanggil mama..." tukas Aelke berusaha mengajak Arfa bicara. Jagoan kecil itu menunjukkan deretan gigi putihnya yang sudah tumbuh beberapa.

"Gendong, yuk!" Aelke mengulurkan kedua tangannya ke depan, Arfa terlihat langsung mau Aelke gendong.

"Awas hati-hati..." tegur Morgan, Aelke mengangguk.

Irma keluar dari ruang pemeriksaan. "Ih rame ada kalian..." ucapnya tersenyum.

"Gimana? Baik-baik aja kan?" tanya Rafael buru-buru, "Baik kok. Kamu aja parnoan, padahal dokter..." tukas Irma.

"Emang Irma kenapa?" tanya Aelke penasaran.

"Gapapa, Ke. Aku cuma pusing seharian, eh dia ngajak pulang ke Jakarta. Terus berobat ke Hana. Padahal kan dia dokter juga." jawab Irma dengan nada meledek Rafael. Rafael terkekeh kecil.

"Dia mah dokter cinta doang kali..." timpal Morgan menahan tawa.

"Tuh kan, ada dede Alfa..." Zeinifa keluar dari ruangan lain dan mencubit gemas betis montok Arfa yang sedang digendong Aelke.

"Ih teteh cubit-cubit!" Aelke menepis tangan mungil Zeinifa karena Arfa hampir menangis.

"Teteh nakal ih, entar anak om nangis!" Rafael memeluk Zeinifa gemas, "Namanya bukan Alfa, tapi Arfa..." ujar Irma membenarkan.

"Ah si teteh mah kadang cadel ngomongnya..." tukas Aelke. Zeinifa hanya senyum malu-malu.

"Aa mana?" tanya Morgan, "Lagi main games di dalem..." jawab Zeinifa. Morgan beralih menggendong Arfa dari Aelke.

"Kamu bentar lagi masuk buat periksa ya. Aku main sama anak-anak didalem..." ujar Morgan. Aelke mengangguk saja. Morgan langsung masuk ke dalam rumah Hana dan Rangga dan Zeinifa mengekor.

Irma dan Rafael juga Aelke tinggal bertiga disana. Rafael meminta waktu untuk bicara dengan Aelke pada Irma. Irma menurut, ia langsung masuk ke rumah Rangga menyusul Arfa.

Aelke mendelik heran, Rafael mendekat. "Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Rafael. Aelke jelas semakin heran.

"Aku baik, Raf. Kenapa emang?" tanya Aelke.

Rafael menghembuskan nafasnya perlahan, entah kenapa perasaannya terasa lega saat Aelke bicara bahwa ia baik-baik saja.

"Gak ada yang ganggu kamu?"

"Ganggu gimana maksudnya?" Aelke bertanya balik. Pertanyaan Rafael membuatnya sedikit bingung.

"Ganggu kamu, atau apa gitu..." ucap Rafael dengan suara pelan.

"Enggak ada kok, Raf. Kamu aneh, deh... Kenapa maksudnya...?" tanya Aelke, Rafael langsung tersenyum kikuk dan bicara jika ia baik-baik saja. Aelke yang sangat mengenal Rafael sejak dulu memicingkan matanya curiga.

"Ada yang kamu sembunyiin, Raf?" tanya Aelke mendelik, Rafael memasang wajah santainya buru-buru, "Enggak ada. Apaan coba?" ucapnya balik bertanya. Aelke masih tidak percaya, ia bahkan pernah bersama Rafael saat Morgan mengecewakannya hampir 1 setengah tahun menjaga Arfa berdua. Setidaknya Aelke tahu sikap-sikap Rafael.

"Aelke, yuk masuk!" Aelke dan Rafael sama-sama menoleh, Hana sudah memanggilnya. Dengan berat hati, Aelke harus menyimpan rasa penasarannya terhadap ucapan Rafael tadi. Ia langsung masuk ruang pemeriksaan, sedangkan Rafael mulai bisa bernafas lega.

***

Keesokan harinya, Morgan mengantarkan Aelke ke rumah Dinda untuk pemotretan. Mereka kesana bersama Mang Ujang yang mengemudikan mobil.

Aelke menenteng tas-nya di depan rumah Dinda. Sudah ada Dinda di sampingnya. Dengan berat hati, Morgan harus meninggalkan Aelke ke Semarang.

"Jaga diri baik-baik ya. Susu yang dibawa harus diminum." pesan Morgan. Aelke mengangguk meski tak mau Morgan pergi.

"Kamu hati-hati. Langsung kabarin aku kalo kamu udah dateng disana." ucap Aelke, "Pasti, sayang." timpal Morgan sambil mengelus puncak kepala Aelke.

"Nanti abis anter aku ke Bandara, Mang Ujang bakal kesini lagi. Jadi, abis pemotretan selesai, kamu ke rumah mama sama Mang Ujang. Salam buat nenek, ya." ucap Morgan, Aelke mengangguk lalu mengecup telapak tangan kanan Morgan. Morgan mengecup dahi Aelke, dan Dinda hanya mencibir, dia seperti pajangan tak bernyawa saat ini.

"Dinda, salam buat Dicky ya..." tukas Morgan, Dinda mengangkat ibu jarinya. Morgan langsung berlalu ke dalam mobil untuk pergi ke Bandara menuju Semarang.

Dinda mengajak Aelke masuk ke rumah, tapi langkah mereka terhenti saat mobil Ilham dan Novia baru saja datang.

"Perut gue makin gede, gaunnya muat gak ya?" gumam Aelke. Dinda terkekeh mendengarnya. "Pemotretannya pake daster aje, pasti muat!" timpal Dinda.

***

Mang Ujang sudah kembali pergi ke rumah Dinda setelah Morgan sampai di Bandara Soekarno Hatta. Ia langsung masuk ke dalam, melangkah ke rute terminal yang dijanjikan seseorang.

"Siap?" tanya seorang wanita kepada Morgan yang baru saja datang sambil membuka kacamata cokelat mengkilatnya. Morgan memutar bola matanya malas, "Siap." singkatnya. Gadis itu Audrey. Ya, Audrey yang akan pergi bersama Morgan ke Semarang dan Aelke pastinya tidak tahu semua ini.

Morgan berjalan mengekori Audrey, Audrey membalikkan tubuhnya. "Jangan jalan di belakang gue. Barengan aja sih!" tukasnya.
Dan dengan malas, Morgan berjalan di samping Audrey.

***

Aelke membersihkan make up setelah pemotretan selesai. Jika usia kandungannya sudah 7 bulan, Aelke akan vakum menjadi model karena perutnya membesar. Untungnya, sudah banyak stok foto yang diambil Novia juga Ilham untuk majalah edisi-edisi selanjutnya.

Aelke langsung pamit pulang dari rumah Dinda dan Dicky setelah semuanya selesai. Hari sudah sore, dan Morgan sudah memberi kabar jika ia sampai di Semarang dengan selamat.

Karena nenek Morgan masih kurang sehat, Aelke mampi di toko kue. Ia masuk ke dalam toko dan langsung memilih beberapa kue untuk nenek dan keluarga Morgan disana.

"Yang rasa blueberry ada yang toppingnya mint?" tanya Aelke menunjuk etalase kaca yang langsung mengarah pada sepotong kue yang dijadikan sample. Pelayan mengangguk dan menunjukkan buku menu lengkap.

"Bungkus yang ini dua ya. Caramel dua, cokelat keju satu loyang yang bentuknya bundar." pesan Aelke, pelayan itu mengangguk mengerti.

"Mbak, sepotong rainbow cake ya!" suara seorang pemuda mengalihkan perhatian Aelke yang masih berdiri di depan tempat pemesanan.

"Gaara?" tukas Aelke, pemuda itu menoleh, "Hei, ibu hamil. Sendirian? Gak sama bos?" tanya Gaara.

"Sendirian. Morgan lagi ke Semarang." jawab Aelke dengan senyuman yang melengkung.

"Ke Semarang? Buka cabang disana?" tanyanya.

"Enggak. Ada proyek bisnis katanya." timpal Aelke.

"Kamu gak di restoran?" tanya Aelke heran.

"Ini kan hari Rabu, aku cuma sampe jam 4 sore disana." jawab Gaara, Aelke mengangguk mengerti. Koki di restoran Morgan memang miliki jadwal masing-masing yang diatur sebaik mungkin.

"Terus, abis ini mau pulang?"

"Iya. Tapi tunggu kue aku selesai dibuat." jawab Aelke.

"Mending makan sepotong kue dulu. Koki ini siap menemani." ujar Gaara tersenyum. Aelke berpikir sejenak. Tidak ada salahnya jika makan kue dulu disana sambil menunggu pesanan. Karena sejujurnya, kue pie dengan isi blueberry sejak tadi membuat Aelke ingin mencicipinya.

"Oke, deh!" tukas Aelke akhirnya. Gaara tersenyum. "Aku yang traktir ya ibu hamil." ucap Gaara.

Aelke duduk duluan di salah satu kursi. Gaara tersenyum miring, Aelke dengan wajah oriental dan pembawaan yang selalu ceria itu memang membuatnya tertarik. Saat-saat seperti ini, tidak akan ia sia-siakan.

"So sorry, bos!" tukasnya sarkastik dengan bola mata yang berkilat-kilat.

TBC...




Kritik dan saran silahkan disampaikan =)


#Mila @MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang