"Sindikatnya terdeteksi, Tuan. Mungkin orang itu mau menemui Anda untuk menjelaskan motif dibalik semuanya." jelas seorang bodyguard yang Morgan pekerjakan.
"Siapa aja yang terlibat?" tanya Morgan datar.
"Baru satu yang kami temukan. Dia minta bertemu malam nanti." ucapnya. Morgan mengangguk mengerti. Ia melihat secarik kertas yang menunjukkan sebuah alamat restoran.
***
Morgan mendekati Aelke yang tengah terduduk lesu di atas sofa. Matanya bengkak menangis semalaman karena foto itu. Morgan bersikeras mengelak itu foto dirinya dengan wanita lain. Morgan cukup cerdas, ia tak mungkin menyakiti Aelke lagi.
"Kadang kita harus hati-hati sama semua yang ada di hadapan kita, sayang. Aku berani jamin, aku gak pernah meluk cewek lain, selain kamu." Morgan menarik Aelke untuk bersandar di dada bidangnya. Istri tercintanya itu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, dari ucapan dan detak jantung yang terdengar itu.
Aelke memeluk Morgan dari samping, merasakan detak jantung yang terdengar syahdu di telinganya, "Aku trauma." ujar Aelke singkat.
Morgan mengelus lembut rambut Aelke, "Aku tau. Jadi sekarang, mohon percaya aku. Aku gak akan rusak kepercayaan kamu." Morgan menegaskan dan menekankan kesungguhannya.
"Kita bisa pindah, cari rumah yang aman buat tinggal kalo kamu mau." ujar Morgan, Aelke seketika menggeleng.
"Ini rumah kita, sejak lama. Aku gak mau kemana-mana." ucap Aelke tak setuju.
"Tapi kita gak aman disini, terlebih kamu..." Morgan.
"Asal kamu ada, aku pasti aman." Aelke menolak pindah rumah. Ini adalah rumah kenangan dan masa depan baginya. Begitu banyak hal sudah terlewai disini. Susah payah menyatu bersama pria tengil yang playboy dengan dua bayi yang tiba-tiba datang dan terpaksa harus diasuh karena kutukan. Lalu semua fakta terbongkar. Rumah itu menyimpan detik-detik Aelke dan Morgan tumbuh rasa cinta diantara keduanya. Aelke tak rela jika harus pindah dari rumah bersejarah itu.
"Atau kamu bisa tinggal di rumah nenek, mama kamu, atau mama aku?" tawar Morgan, Aelke lagi-lagi menggeleng.
"Kita cari tempat aman, sayang. Untuk sementara waktu. Biar aku tenang kalo harus kerja tinggalin kamu." Morgan memberi pengertian.
"Sstt... Jangan bicara soal aman gak aman." ucap Aelke langsung mendekap Morgan, Morgan menghembuskan nafas gusar. Aelke tak mau pindah, Morgan tahu alasannya. Tapi Morgan merasakan banyak hal berbahaya jika mereka tetap berada di rumah itu.
"Kamu enggak ke resto?" Morgan menggeleng.
"Kenapa?" tanya Aelke heran.
"Aku hari ini cuma mau berdua sama kamu." ucap Morgan menyunggingkan senyuman mautnya. Aelke terkesiap sendiri, jarak mereka begitu dekat. Apalagi tatapan teduh Morgan yang seolah tajam menatapnya. Morgan tersenyum simpul, selalu bahagia melihat mata Aelke yang berkedip perlahan-lahan. Jika ada alat yang memperlambat waktu, Morgan ingin selalu menatap detik-detik Aelke mengedip atau mengerjap. Bola matanya begitu indah.
"I love you, more than everything!" bisik Morgan lembut tanpa melepaskan tatapan Elangnya, Aelke melengkungkan senyuman nyata. Jarak mereka kini begitu dekat. Hembusan nafas keduanya terasa bersentuhan dan saling menerpa.
Dengan lembut, Morgan merengkuh tengkuk Aelke dan memiringkan wajahnya. Aelke merasakan hangat tangan Morgan yang mengelus lembut pipinya. Bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih hati yang tampan dan amat romantis seperti Morgan?
Melihat Morgan memejamkan mata, Aelke mengikuti Morgan dan memejamkan matanya. Perlahan, Aelke merasakan Morgan membelai bibirnya menggunakan ibu jari, sentuhan yang selalu membuat Aelke terbang melambung tinggi ke angkasa. Hangat terasa menjalar saat Morgan mengecup leher jenjangnya, menenggelamkan kehangatan di pagi yang juga hangat karena mentari. Aelke cukup kegelian karena ulah Morgan, kecupan itu beralih hingga sisi bibir Aelke.
Krrryukk..!
Tsah...!
Morgan dan Aelke sama-sama membuka mata seketika. Mereka saling pandang dan terdiam beberapa saat, sampai akhirnya keduanya sama-sama tertawa renyah.
"Suara perut kamu?" selidik Morgan dengan tatapan jailnya. Aelke menunjukkan deretan gigi putihnya kikuk. Ia bahkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
"Suara perut kamu?" tanya Morgan sekali lagi. Morgan langsung menempelkan telinga kirinya di atas perut Aelke yang sudah terlihat membesar.
"Suara perut mama, atau anak papa?" tanya Morgan sambil mendengarkan perut Aelke. Aelke mengangkat kepala Morgan dan menatapnya.
"Mama sama anak papa laper." tukas Aelke dengan tatapan manjanya. Morgan terkekeh.
"Mau makan apa? Papa siap cariin..."
"Kok cariin, masakin dong..." ujar Aelke.
"Masakin apa? Aku kan gak jago masak..."
"Baby hiu, bisa?" tanya Aelke, Morgan sontak membolakan matanya.
"Yang bener aja, neng. Bayi dino deh sekalian. Babak belur juga deh aku," gerutu Morgan. Aelke tertawa kecil.
Aelke bangkit, mengulurkan tangannya di depan Morgan, Morgan yang bingung hanya menerima uluran Aelke dan ikut bangun. Gadis itu menggandeng Morgan menuju dapur.
"Temenin aku masak ya..." ucap Aelke, Morgan mengangguk dan membantu Aelke memasak sarapan mereka berdua. Pagi yang indah, setidaknya untuk mereka berdua, tanpa lainnya.
***
Rangga terus memerhatikan rumah Aelke dari jendela kamarnya. Ia sempat melihat ada kotak melayang ke rumah Aelke kemarin malam. Hari ini, ia berinisiatif memasang kamera di kamarnya yang menghadap langsung ke rumah Aelke. Ia ingin merekam aksi misterius dari orang-orang yang meneror keluarga kecil Morgan dan Aelke itu.
Rangga tersenyum puas, kamera terpasang sempurna. Ya, kamera CCTV yang biasa ia gunakan di depan rumah dan Kliniknya. Jika suatu saat mungkin diperlukan bukti atas teror-teror itu, tentunya Rangga sangat bersedia menjadi saksi untuk membantu Morgan dan Aelke yang sudah seperti keluarganya.
"Pa, kok malah asik disini?" tanya Hana yang tiba-tiba masuk kamar. Rangga menoleh dan berbalik badan.
"Kenapa, ma? Ada pasien darurat?" tanya Rangga.
"Enggak, sih. Cuma si Aa minta ditemenin beli bola baru. Kamu aja, deh. Aku mau kontrol pasien yang lagi pembukaan." ucap Hana, Rangga mengangguk.
"Yaudah, aku anter si Aa dulu. Si teteh mau ikut gak?" tanya Rangga sambil berjalan keluar kamar. Hana mengekor di belakangnya.
"Gak tau deh, coba diajak biar gak ngambek. Ngoceh-ngoceh entar dia." timpal Hana, Rangga tertawa mendengarnya. Putrinya Zein memang cerewet padahal, Hana dan Rangga termasuk orang yang kalem dalam berbicara.
Zean berlari mendekati Rangga dan langsung melompat minta digendong. Dengan sigap Rangga menangkan tubuh sekal putranya dan menggendong jagoan lucunya itu.
"Pa, anter aku beli bola. Papa atau mama?" tanyanya.
"Sama papa aja ya. Ade kamu mana?" Zean menggeleng.
"Cari dulu si tetehnya, entar nangis kalo gak diajak." ucap Rangga menurunkan tubuh Zean. Zean mengangguk antusias.
"Teteh disini, pa! Mau kemana???" tanya Zein yang tiba-tiba menyembul dengan boneka Barbie di tangannya.
Rangga mendekati Zein dan mencubit gemas pipi chubbi Zein yang mirip sekali dengan pipinya. "Papa mau ajak Aa beli bola baru di toko mainan depan. Teteh mau ikut?" tanya Rangga. Zein sontak mengangguk antusias.
"Pa, jangan cuma bola dong!" rengek Zean. Rangga menautkan kedua alisnya.
"Terus apa lagi?"
"Mau es krim sama bakso ikan. Terus mau siomay, terus mau es duren, terus mau tamiya,"
"Hap! Aa nanti gendut loh makannya kebanyakan..." Zein menutup mulut Zean yang meminta ini dan itu. Zean dengan gemas menyingkirkan tangan adiknya itu.
"Bodo! Wle..." Zean menjulurkan lidahnya. Rangga dan Hana hanya menggeleng melihat tingkah anak kembarnya. Mereka berdua kadang akur, kadang bertengkar, kadang saling serang, kadang saling mencari satu sama lain. Rangga beralih menggenggam tangan kanan Zean dan tangan kiri Zein. Bapak bule itu menuntun kedua anaknya yang tengah mengenakan kaus sama-sama warna hijau terang menuju garasi.
***
Morgan mendatangi restoran tempat yang ditunjukkan orang misterius itu. Ia hanya datang sendirian, dan akan memastikan keadaan sendirian.
Ia duduk di kursi nomor 12 di dekat jendela restoran. Restoran elit yang tidak begitu ramai dan nuansanya amat klasik.
Morgan mengetuk-ngetuk arlojinya dengan kesal. Sudah 25 menit duduk disana, tapi tak ada tanda-tanda seseorang menghampirinya. Ia jadi teringat Aelke yang ia tinggalkan bersama bi Parmi di rumahnya.
Dengan kesal, Morgan menyeruput Hot Green Tea yang ia pesan, lalu bersandar di kursi. Lama sekali ia menunggu.
"Makasih udah datang, Morgan Wi-na-ta." tukas seorang gadis dengan suara gaharnya. Morgan mendelik, menatap siapa yang ada di hadapannya saat ini. Morgan menghembuskan nafas gusar dan kembali menyenderkan tubuhnya di kursi dengan santai.
"Elo ternyata." tukas Morgan sarkastik, gadis itu tersenyum miring dan duduk di hadapan Morgan dengan tatapan yang mengerling manja.
"Maaf lama menunggu, tampan." ucapnya bergetar. Morgan hampir muntah mendengar suaranya.
"Ada urusan apa lagi, Audrey?" tanya Morgan tanpa basa-basi.
"Santai, lah, tampan. Dinikmati dulu makanannya." ucap Audrey, pelayan menaruh pesanan makanan di atas meja, Morgan mendelik dan tertawa kecil, ia tak memesan makanan.
"Gue gak laper, dan gak ada waktu buat nemenin lo makan." ucap Morgan dengan sebelah kaki yang ia tumpangkan di atas kaki kirinya.
"Uurgh, Morgan yang seratus delapan puluh derajat berubah sikap sama gue." tukas Audrey, ia menyendok makanan dan memakannya santai. Morgan hanya diam.
"Gak usah lebay, deh. Bilang apa urusan lo sama gue, beraninya cuma neror." celetuk Morgan, Audrey terkekeh mendengarnya.
"Gue cuma mau main-main aja, kok. Main-main sama lo, juga sama cewek Jepang yang dijodohin sama lo. Kayaknya asik."
"Gue, istri gue, bukan mainan." tegas Morgan.
"Santai, Gan. Boleh dong gue nikmatin detik-detik kekalutan kalian berdua? Hm? Cuma dalam judul 'Main-main' karena nyatanya kita enggak jodoh, right?"
"Jangan pernah libatin istri gue, atau siapapun orang terdekat gue kalo lo mau selamat!" sergah Morgan menajam.
"Dengan beberapa ketentuan, gue kabulkan permintaan lo, gimana?!" tawar Audrey, Morgan mendelik, "Maksud lo?"
***
Tok, tok, tok!
Aelke menuruni anak tangga, bi Parmi bilang ada tamu yang datang. Aelke berjalan menuju pintu, dua bodyguardnya sudah berdiri di depan.
"Mommy!" Zeinifa berteriak antusias. Aelke mendelik.
"Teteh kesini sendirian?" tanya Aelke. Gadis kecil itu tanpa Zean.
"Iya. Terus sama papa dianter, terus dianter sama om-om ini kesini." jelas Zeinifa menggemaskan. Padahal jarak rumah Aelke dan Rangga tidak jauh. Pagarnya malah menyatu. Mungkin Rangga berusaha membuat Zein tetap aman main ke rumah Aelke yang sudah memiliki bodyguard itu.
"Oh, gitu. Masuk yuk!" Aelke, Zein langsung berjalan masuk.
"Dari aku sama Aa, buat mommy!" ucap Zeinifa memberikan sebuah cup es krim rasa cokelat. Aelke menerimanya dengan suka hati.
"Makasih, sayang..." ucap Aelke mengecup pipi Zein dan menaruh es krim ke dalam kulkas.
"Kok enggak dimakan? Mommy gak suka?" tanya Zein cukup sedih, Aelke seketika menggeleng.
"Suka, dong. Tapi makannya entar ya, kalo daddy dateng."
"Emang daddy kemana?"
"Lagi ada urusan sama temennya. Teteh bawa tas kecil isinya apa?" tanya Aelke yang membiarkan Zeinifa tidur-tiduran di ranjang kamarnya.
"Ini? Isinya baju bobo aku. Malem ini aku mau nginep, boleh?" tanya Zeinifa sambil memeluk guling dengan sarung bermotif polkadot warna keemasan milik Aelke.
"Boleh, dong, bobo disini sama mommy ya?" Zeinifa mengangguk senang.
"Ganti baju dulu..." ucap Aelke sambil membuka resleting tas Zeinifa dan mengeluarkan isinya. Ada satu stel baju tidur dengan warna cokelat polos. Zeinifa memang suka warna cokelat. Aelke dengan telaten membuka baju Zeinifa dan menggantinya dengan baju tidur. Teringat Zeinifa yang dulu masih bayi.
"Nanti-nanti ajak Aa nginep juga dong, teh..."
"Oke, deh. Kata Aa, malem ini mau nemenin mama sama papa bobo. Nginepnya entar aja. Aa kan malaikatnya mama papa, aku bidadarinya."Cerocos Zeinifa, Aelke terkekeh mendengarnya.
"Mommy, daddy lama banget pulangnya..." ucap Zeinifa mulai mengantuk. Ia bergegas tiduran sambil memeluk Aelke. Aelke dengan sifat keibuannya memeluk Zein dan mengelus rambut panjangnya. Seperti anak sendiri, dan Aelke makin tidak sabar menunggu anaknya lahir ke dunia.
"Mommy..."
"Hmm...?"
"Kalo dede bayi keluar. Jangan lupain aku..." tukasnya polos, Aelke terkekeh dan makin mengeratkan pelukannya.
"Gak akan, sayang. Kamu sama Aa, anak mommy sama daddy." ucap Aelke. Zeinifa tersenyum mendengarnya, matanya perlahan memejam dan hembusan nafasnya terasa halus terdengar.
Tak terasa, waktu terus beranjak tapi Aelke tak juga bisa terlelap. Sudah pukul 23.15 WIB, Morgan belum juga pulang. Aelke masih memeluk Zeinifa, berusaha tenang meski tak tenang. Mungkin benar, anak adalah penenang. Meski bukan anak kandung, Zein dan Zean selalu menjadi penenang Aelke jika hatinya gundah.
Ceklek!
Morgan membuka pintu kamarnya. Sudah larut malam, kamar Aelke tidak dipadamkan lampunya. Morgan tersenyum tenang saat melihat Aelke dan Zein tertidur damai saling berpelukan. Morgan berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya, menyikat gigi dan keluar menuju lemari untuk berganti pakaian.
Morgan mengenakan piyama warna biru tua karena Aelke juga memakai piyama tidur dengan warna yang sama.
"Kemana aja? Kok baru pulang jam segini?" Morgan tersenyum menatap dua tangan sudah melingkar di pinggangnya. Tangan halus yang selalu mendekapnya. Morgan membalikkan tubuhnya, menatap wajah bantal Aelke.
"Urusannya baru selesai, kenapa bangun? Maaf ganggu tidur kamu." lembut Morgan seraya menyentuh pipi Aelke.
Morgan menuntun Aelke yang setengah sadar itu dan membaringkannya. Ia ikut berbaring, tentunya disisi Zein. Zein di tengah, Aelke dan Morgan di sisi yang berlainan namun berhadapan. Rasanya seperti sudah memiliki anak sendiri. Tidur bertiga, sayang, Zean tidak ikut tidur bersama mereka.
Morgan mengecup kening Aelke terlebih dulu, hatinya mencelos jika mengingat kesepakatan yang ia ambil dengan Audrey. Merasa tak enak hati pada Aelke, tapi ia akan menjamin semuanya.
Morgan beralih mengecup pipi Zeinifa, lalu berbaring, mendekap Zeinifa dan menggenggam tangan Aelke. Sesederhana itu adalah kebahagiaannya untuk menutup mata ke alam mimpi.
TBC....
Dont Copy Paste this Amateur Story!
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Baby Twins (Baby Twins III)
RomanceWarn: Masih berantakan (Banyak bagian yang harus diedit tapi belum, maafkanlah. 😂) Aelke Mariska yang sudah resmi menyandang status sebagai Mrs. Winata memiliki impian terbesar, ia ingin melahirkan anak kembar seperti Zean dan Zeinifa. Namun ternya...