I Know, Dear.

1K 48 0
                                    


Dont Copy Paste this Amateur Story...




Dua wanita yang cantik dengan view yang berbeda dan sama-sama berada di putaran hidup Morgan ini saling bertatapan dengan sorot mata yang menyiratkan arti berbeda. Aelke masih berdiri dengan tangan kiri memegang tiang infus, menatap gadis yang datang ke rumahnya tiba-tiba dengan dandanan modis dan kacamata trendi bertengger di matanya yang baru saja ia buka. Terlihat bola matanya menatap Aelke dengan tatapan intimidasi.

"Kalo lo kesini mau cari ribut, jelas-jelas lo salah tempat, Audrey..." ujar Aelke tenang. Ibu hamil itu berusaha tenang meski tak suka ada wanita itu di hadapannya.

"Ini tempat yang tepat, dan gue emang nyari elo. Berapa bulan? Bapaknya Morgan, kan?" tanya Audrey tersenyum miring sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan bersender santai di daun pintu rumah Aelke.

"Pertanyaan retoris. Ada apa dan mau apa? Gak usah basa-basi. Urusan penting gue masih banyak!" ujar Aelke datar, Audrey malah terkekeh dan berjalan maju. Aelke mendelik saat tubuh Audrey sudah satu jengkal di depannya, Aelke menahan nafas, Audrey makin menyeringai, ia dengan ganas melepas paksa jarum infus yang menempel di tangan kirinya sampai ibu hamil itu meringis dan nyaris menjerit.

Hanya terlihat selang infus yang menggoyang-goyang. Kemana mereka akan pergi? Atau ganti pertanyaan. Kemana Audrey membawa Aelke yang sedang lemah itu?

***

Rani menuntun Aira, putrinya. Gadis kecil itu sudah bisa berjalan meski kadang terjatuh karena belum terlalu lancar.

"Ran, Aelke mana?" tanya Mama mertua Rani. Rani melihat sekeliling ruang tengah. Yang ia ingat, Aelke ada disana beberapa menit lalu tengah tiduran di atas sofa bed.

"Tadi bukannya disana, Ma?" tanya Rani, Mama mertuanya yang baru selesai mengupas buah-buahan untuk Aelke mengernyitkan dahi.

"Tadi Mama ke kamarnya, dia gak ada." Mama Aelke atau Mama mertua Rani itu menaruh piring buah-buahan di atas meja dan mencari Aelke. Rani ikut mencari ke kamar mandi, beberapa kamar mandi di rumah besar itu sudah ia periksa, sambil berteriak memanggil Aelke.

"Ran! Rani... Coba kamu kesini!" Rani terkesiap mendengar Mama mertuanya berteriak, ia langsung menggendong tubuh mungil Aira dan berlari menuju sumber suara. Mama mertuanya sudah berdiri di dekat pintu utama rumahnya, ia menggenggam tiang infus yang selangnya terlepas dan terjuntai ke bawah.

"Aelke gak ada!" pekiknya histeris. Rani terdiam, ia tak mendengar suara apa-apa beberapa menit yang lalu karena ia berada di kamar atas.

"Tenang, Ma. Jangan panik. Biar aku telepon Alfa." ujar Rani sambil cepat-cepat mengeluarkan ponsel dan menghubungi Alfa. Setelah menghubungi Alfa, Rani juga mengubungi Rafael. Ia meminta lelaki yang pernah dekat dengan Aelke itu mengunjungi kantor polisi, berpura-pura menjenguk Morgan, untuk memastikan ada Aelke atau tidak disana. Kebetulan Rafael berniat pindah ke Jakarta karena tugasnya saat ini di Jakarta.

Rani, Mama mertuanya, pembantu dan kakek-nenek Aelke ikut mencari dari depan rumah sampai ke belakang. Menanyai pedagang-pedagang kecil yang ada di sekitar rumahnya.

Rani masih menggendong Aira, berjalan kaki ke warung yang tak jauh dari sana.

"Bu, tadi liat Aelke gak keluar dari rumah?" tanya Rani sopan, ibu-ibu warung itu sudah kenal Aelke sejak lama, ibu itu berpikir sejenak, lalu menggeleng.

"Enggak tahu, Neng. Kayaknya ibu gak liat, deh." jawabnya. Rani langsung mengucapkan terimakasih pada ibu warung tersebut dan bergegas menanyakan kepada tukang jahit di sisi warung tersebut, ia seorang bapak-bapak paruh baya.

"Kayaknya tadi bapak liat. Aelke naik mobil, sama cewek cakep banget." jawab bapak itu sambil berusaha mengingat. Rani menghembuskan nafas gusar, ponsel Aelke tertinggal di rumah, tidak bisa dihubungi. Ia takut ada pihak-pihak yang ingin menghancurkan rumah tangga Aelke dan Morgan memanfaatkan keadaan.


***

Rafael dan Irma, serta Arfa baru saja keluar dari kepolisian. Ia sukses berpura-pura menjenguk Morgan, menanyai Aelke datang menjenguk atau tidak. Dan Aelke ternyata tidak menjenguk Morgan hari ini. Hanya ada Thomas yang datang bersama kuasa hukum Morgan.

"Aelke kemana, dong, sayang?" tanya Irma ikut bingung, Arfa malah asik main-main pesawat di tangannya yang baru dibelikan Rafael.

"Gak tau. Aku curiga sama Audrey..."

"Siapa dia?"

"Mantannya Morgan. Yang waktu itu ketemu kita di Bandung, pas ada seminar dan kamu ikut aku. Cewek tinggi, pake kacamata biru..." jelas Rafael masih mengingat jelas.

"Kenapa curiga sama dia?" tanya Irma, mereka semua sudah duduk dalam mobil.

"Soalnya, dari dulu dia gak suka hubungan Morgan sama Aelke. Selama ini dia gak ada, tiba-tiba dia dateng lagi nanyain mereka berdua." papar Rafael, Irma mengangguk mengerti.

"Jadi inget bodohnya aku dulu. Jahat sama Aelke. Aku gila banget. Padahal mereka gak salah apa-apa." Irma mengingat kejadian dulu, ia dengan berani menabrakkan mobilnya ke tubuh Aelke yang sedang menyeberang dengan kardus surat undangan di tangannya.

"Itu kisah lama. Kamu udah minta maaf, udah terima hukuman, mereka memaafkan. Jadi jangan dibahas lagi." Rafael mengelus telapak tangan Irma sekilas dan tersenyum, ia kembali mengemudikan mobilnya menuju rumah orang tua Aelke. Mendapat kabar dari Rangga, rumah Morgan dan Aelke yang berada di sampingnya itu kosong. Aelke tidak kesana.

"Coba sambungin telepon aku sama kontak namanya Audrey." titah Rafael, Irma meraih ponsel Rafael yang ada di tasnya. Mencari kontak ponsel Audrey, dan menghubungkannya.

"Gak aktif." Rafael menghembuskan nafas gusar, harus cari tahu dimana lagi? Ia tidak tahu rumah Audrey yang sekarang.

***

Rumah Aelke seketika ramai, Mama dan Papanya jadi kalang kabut, sampai sore menjelang malam Aelke belum juga pulang. Entah kemana gadis itu, polisi belum dihubungi karena keluarga Aelke tidak mau menambah masalah dengan kepolisian saat Morgan belum dikeluarkan dari sana.

"Kemana lagi harus nyari Aelke, Pa?" tanya Ny. Merry, ibunda Aelke yang menangis di bahu suaminya. Rafael dan Irma ada di rumah Aelke, sama cemasnya dengan keluarga Aelke. Dan bingung karena teman dekat Aelke sudah dihubungi semuanya, termasuk Dinda, Dicky, Bisma dkk. Mereka tidak bertemu Aelke sedikit pun.

"Mama, mana Mommy? Aku udah punya video Masha yang baru. Tapi Mommy gak ada..." Zeinifa yang ngotot ingin bertemu Aelke hari itu juga akhirnya ditemani Hana disana. Namun anak-anak seperti Zean dan Zein, Arfa serta Aira diasuh Hana di ruangan khusus mainan. Anak kecil itu tak perlu ikut campur soal Aelke yang hilang. Mereka tak mengerti apa-apa.

"Mommy lagi pergi, bentar lagi pasti pulang." jawab Hana gusar dan tersenyum palsu, ia sangat mengkhawatirkan Aelke. Yang kisahnya tidak pernah mulus. Ia sudah mendengar cerita Rangga, yang pernah memergoki lemparan benda ke rumah Aelke dari halaman belakang.

Rafael bolak-balik dengan cemas di depan rumah Aelke. Irma hanya duduk di ruang tamu. Ia mengerti kenapa Rafael begitu peduli pada Aelke. Suaminya itu pernah menyimpan Aelke dalam hatinya, dalam jangka waktu yang lama, membuang rasa sayangnya karena Morgan, menjalin hubungan dengan Mama Arfa yang sudah meninggal, kembali dekat dengan Aelke, dan baru bisa melepas Aelke lalu bersanding dengannya. Tapi yang Irma rasa, Rafael belum sepenuhnya move on dari Aelke.

Aelke menyeka air matanya menggunakan tangan kanannya dengan lemah. Taksi yang ia tumpangi sudah berhenti tepat di depan rumah orang tuanya. Setengah hari ia dibawa ke suatu tempat oleh Audrey. Aelke harus menerima kenyataan tak menyenangkan disana, dan Audrey meminta ia tutup mulut.

Ia menenteng makanan yang dibungkus di tangannya sebagai alibi, keluar dari taksi setelah air matanya berhenti dengan paksaan, wajah merahnya pasti terlihat, tapi ia akan akting sebaik mungkin.

Ia berjalan lemas, perutnya makin membesar dan terasa lebih berat. Mungkin karena keadaannya pun tidak begitu baik.

"Aelke!"

Aelke mendongak dan terus berjalan, Rafael memanggilnya, ia mendekati Aelke yang lemas itu. Dari dalam, semua mendengar suara Rafael, mereka semua langsung keluar.

"Rafael, kamu kesini gak bilang-bilang..." ujar Aelke pelan, Rafael menatap Aelke dari atas sampai ke bawah, ibu hamil itu sangat lesu dan sedikit kurus.

"Kamu dari mana aja?" tanya Rafael buru-buru, wajah cemasnya sangat terlihat. Aelke menggigit bibir bawahnya, pasti akan sulit membohongi Rafael. Rafael terlalu tahu keadaan wajah Aelke sejak dulu.

Semua yang ada di dalam keluar, Aelke menatap semuanya bingung. Ramai sekali rumahnya. Apalagi wajah-wajah cemas itu, Mamanya langsung memeluk tubuh Aelke dan hampir menangis, Aelke merasa sangat bersalah, tapi itu bukan kemauannya.

"Kenapa, sih?? Rame banget.. Maaf ya bikin khawatir, aku tadi diajak temen keluar. Terus pulangnya pengen makan nasi rames. Nih aku beli sendiri. Makan, yuk, Ma." ajak Aelke pada Mamanya. Kakek dan Nenek Aelke makin bingung, alasan Aelke sangat aneh.

"Jujur, Ke. Kamu kemana? Sama siapa? Kita khawatir seharian kamu tiba-tiba gak ada." ujar Alfa. Aelke hanya diam, lalu ia lagi-lagi menjawab kata yang sama.

"Aelke lemes, kak. Mending bawa masuk dulu, biar istirahat." usul Rafael, semua akhirnya mengangguk berat, membiarkan Aelke masuk ke rumah. Tapi Rafael masih belum percaya, Aelke pasti menyembunyikan sesuatu.

***

Aelke tidak bisa tidur. Ia ditemani Rafael yang menginap bersama Irma. Rafael sudah meminta ijin untuk bisa berbicara dengan Aelke. Irma dengan ikhlas mengijinkannya.

Rafael hanya duduk diam di teras belakang, di sampingnya ada Aelke yang duduk juga sambil memandang bintang. Tatapannya hampa, sangat hampa. Masih terpikir kejadian di tempat Audrey membawanya.

"Kalo kamu ngerasa gak bisa ungkapin apa yang terjadi sama kamu tadi siang, aku rela dengerinnya, Aelke. Dan ini akan jadi rahasia kita." ujar Rafael hati-hati, berusaha tidak membuat Aelke terganggu.

"Engga ada apa-apa, Raf. Aku diajakin temen makan di luar."

"Siapa?" tanya Rafael menyelidik, Aelke sontak terdiam, ia salah bicara. Harusnya tidak berkata demikian di depan Rafael yang mengenal dirinya dengan baik.

"Ya, ada, lah." ujar Aelke sedikit gugup.

"Audrey?" tanya Rafael menebak, Aelke diam seketika, ia menoleh dan menatap Rafael. Mengapa lelaki itu bisa tahu?

"Bu-bukan, kok!" tukas Aelke memalingkan wajahnya dan kembali menatap bintang-bintang.

"Gak usah....,"

"Bintangnya indah, ya, Raf." Aelke berhasil memotong kata-kata Rafael. Rafael menggeleng gusar, Aelke benar-benar menyembunyikan sesuatu.

"Aelke. Kamu udah gak percaya aku?" tanya Rafael, Aelke langsung menggeleng.

"Ngomong apa, sih, Raf?"

"Jujur..."

"Aku udah jujur..."

"Aku kenal kamu gak setahun, dua tahun, Aelke. Aku tahu kamu."

"Ta-tapi, aku serius, Raf."

"Aku gak maksa kamu untuk cerita. Aku cuma gak mau kamu pendem semuanya sendiri. Jangan stress, please. Bayi kamu gak akan suka Mamanya kaya gini." papar Rafael dengan sendu, sakit Aelke seolah jadi sakitnya juga. Selalu seperti itu sejak dulu. Tapi jodohnya bukan dengan Aelke.

Irma melihat Rafael dan Aelke dari dekat, di balik tiang besar yang menghubungkan rumah dengan teras. Ia hanya ingin memastikan jika Rafael benar-benar suami setianya.

"Ak-aku..." Aelke menggantungkan kata-katanya, Rafael mengangguk, menyiratkan sorot matanya agar Aelke mau melanjutkan kata-katanya.

"Aku... Bingung. Apa aku harus melepas Morgan biar dia bisa keluar dari penjara?" tanya Aelke dengan sorot mata yang pedih, sorot mata Aelke itu langsung menohok tajam ke hati Rafael, ibu hamil itu sudah berkaca-kaca.

"Kenapa? Ada yang sabotase semua ini? Kamu tahu sesuatu...?" tanya Rafael berusaha mencari titik permasalahan di kejujuran Aelke.

"Raf, aku takut anak aku dipisahin sama ayahnya..." Aelke malah berkata demikian, tidak menjawab pertanyaan Rafael. Aelke terlihat lemas dan butuh sandaran untuk menangis, karena air matanya perlahan jatuh sampai ke permukaan lantai. Tangan Aelke terjulur ke depan, ingin memeluk Rafael untuk sekedar meringankan beban di dadanya. Tapi ia menggeleng dan menyurutkan niatnya, ia istri Morgan, dan Rafael suami Irma, bagaimana pun, ia tidak boleh memeluk lelaki lain.

"Kamu bisa peluk aku, Aelke. Gak apa-apa." ucap Rafael merentangkan kedua tangannya, Aelke menangis, isaknya tertahan dengan tempo yang memilukan. Ia menggeleng dan menggigit bibir bawahnya.

"Gak, Raf. Aku harus istirahat." Aelke langsung berdiri, mengusap air matanya dan berjalan masuk ke rumah menuju kamarnya yang sudah ditetapkan di lantai dasar. Irma menyembunyikan tubuhnya, tak tega melihat Aelke. Rafael terlihat menundukkan kepalanya, suaminya pasti juga tak tega.

Irma langsung masuk ke dalam rumah Aelke, ia masuk ke kamar Aelke tanpa permisi saat pintu kamar ibu hamil itu terlihat terbuka.

"Aelke..." panggil Irma hati-hati mendekati Aelke yang menangis di sisi ranjang. Aelke hanya diam, terlihat pundaknya naik-turun.

Irma duduk di samping Aelke, merengkuh pundak Aelke agar berhadapan dengannya, Aelke tak menolak, dengan rasa pedih yang ia rasakan juga, Irma menarik Aelke ke dalam dekapannya. Aelke makin tersedu, ia balas memeluk Irma. Ia memang butuh kehangatan saat ini, dan Irma memberikan kehangatan yang ia butuhkan.

***

Aelke harus rela hatinya retak. Retakan hatinya terasa pedih saat hakim menjatuhkan hukuman penjara pada Morgan sebagai tersangka saat sidang pertama usai.

Morgan terlihat kacau, ia seolah-olah benar-benar salah. Ketakutan terbesarnya adalah Aelke akan lemah, istrinya pasti kalut jika ia tak bisa menemaninya melahirkan, tak ada di samping anaknya yang belum lahir.

"Kami keberatan, saksi kami sudah menjelaskan semuanya dengan jelas. Data-data bahkan sangat benar. Kenapa Morgan dijadikan tersangka dan dipenjara?"

Itu sepenggal pembelaan kuasa hukum Morgan beberapa saat lalu. Palu diketuk, suasana langsung ramai, apalagi Alfa dan Thomas yang emosi dan hampir mengacak-acak tempat persidangan. Tidak terima dengan vonis hakim, Morgan akan dipenjara dalam waktu tahunan!

"Aku gak salah. Aku gak salah. Aku rela disini, sayang. Asal kamu percaya kalo aku gak salah." Morgan memegang jeruji besi yang mengurungnya, Aelke berdiri disana, menyentuh telapak tangan Morgan yang melingkar di besi-besi hitam nan dingin itu.

"I know, I know..." Aelke sudah tak mampu berkata-kata.

"Katakan apapun yang mau kamu katakan soal kejujuran, Gan. Kita pasti bisa lewati semua ini." Morgan tertegun, tak menyangka jika Aelke bisa setegar itu di hadapannya.
Bagaimana pun Morgan merindukan istrinya, apalagi sikap manja Aelke yang nyaris tidak terlihat lagi karena kepedihan masalah di atas masalah yang bergulir.

"Jangan pernah menyerah untuk ada di sampingku. Cuma kamu harapan aku untuk terus membela diri aku sendiri. Cuma kamu, dan anak kita." Morgan mengelus lembut
perut buncit Aelke, harus ada jeda membentang di antara mereka. Apa cinta sejati harus seperti itu? Melewati pedih yang datang silih berganti?

Kita akan tahu sekuat apa kita berdiri di tengah badai, saat kita berhadapan langsung dalam sebuah masalah yang rasanya mengoyak hati dan memaksakan air keluar dari bola mata.

Tidak hanya berdiri di tengah badai, menari di atasnya pun bisa kau lakukan dengan dua hal. Bersabar, dan dekat dengan Tuhan. -BTBT-



TBC....






#Mila @MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang