Dont Copy Paste this Amateur Story.
'Jika dengan ujian sepahit ini kita akan baik-baik saja, aku akan melewatinya, untuk kamu, kita, dan anak kita.' -Aelke-
Mobil polisi yang membawa Morgan sudah menjauh. Zean yang sejak tadi melihat Daddy-nya dibawa pergi terdiam di depan rumahnya. Ia melihat ke samping, Mommy-nya menangis tersedu-sedu dengan posisi berjongkok dan sejak tadi punggungnya diusap oleh bi Parmi.
Zean berjalan mendekat, ia juga hampir menangis, bukan hanya karena Morgan yang ditangkap paksa, tapi karena Aelke menangis.
"Mommy, kemana mereka-mereka yang seram itu membawa Daddy? Aa gak suka sama mereka." ujar Zean berdiri di depan Aelke dengan polosnya. Aelke mendongak, mengusap air matanya gusar dan langsung memeluk tubuh mungil Zean.
Zean terhenyak dalam pelukan Aelke, ia merasakan kehangatan dan kepiluan meski tidak mengerti sama sekali apa yang terjadi.
"Jangan nangis!" tukas Zean merenggangkan pelukannya di tubuh Aelke, tangan mungilnya kemudian mengusap sisa air mata Aelke dengan lembut, Aelke tersenyum miris. Miris sekali.
"Daddy dibawa polisi. Aa percaya sama Mommy kalo Daddy enggak salah dan bakal langsung pulang." ujar Aelke.
"Aa gak mau jadi polisi, mereka jahat." ujar Zean, ia terlihat tegar, mungkin karena ia belum mengerti apa-apa.
Rangga dan Hana terlihat berlari mendekat dengan Zein yang mengekor di belakang mereka. "Ada apa, Ael?" tanya Hana seketika. Aelke berdiri dan memeluk Hana.
"Morgan ditangkap polisi, kak." ucap Aelke sendu. Rangga langsung memicing, Morgan salah apa? Rangga jadi ingat kejadian misterius di rumah Morgan dan Aelke beberapa waktu lalu. Sepertinya ia akan jadi salah satu saksi di kasus Morgan nanti.
***
Ruang Pemeriksaan, Kantor Polisi, Jakarta, Indonesia.
Hampir dua jam Morgan ditanyai berbagai hal mengenai laporan seseorang yang tidak mau disebutkan namanya. Polisi hanya memberitahu inisial pelapor. Dan bukti-bukti yang digunakan untuk mencobloskan Morgan ke penjara sangatlah real rekayasanya namun sangat terlihat seperti nyata. Morgan dibuat seolah-olah salah. Penggelapan dana, hasil Morgan sendiri pekerjaannya dan memang Morgan mengerjakan semua itu, tapi bukan untuk menggelapkan dana.
Apalagi soal bahan makanan tak layak konsumsi dan bahan makanan berbahaya bagi tubuh. Ada 6 orang saksi yang disiapkan pelapor, yang mengaku keracunan dan sempat sakit karena membeli makanan di restoran Morgan yang berada di Jakarta. Parahnya, cabang restoran Morgan di luar Jakarta pun kena imbasnya. Ada 5 orang dari kota berbeda yang juga mengeluhkan hal serupa. Morgan dalam bahaya.
BAP (Berita Acara Pemeriksaan) itu sangat banyak menyudutkan Morgan. Apalagi perkara bahan berbahaya dalam makanan yang disediakan restoran Morgan.
"Sebagai pemilik restoran ala Jepang, apa Anda ada setiap hari untuk mengontrol restoran?" tanya salah satu polisi dengan nada tegas.
"Saya tidak setiap hari disana. Tapi saya selalu mengontrol keadaan. Untuk bahan makanan, saya bahkan selalu membeli bahan makanan yang fresh, pak! Percaya saya...!" ujar Morgan sudah pegal lidahnya menjawab banyak pertanyaan dari polisi dengan dua laporan berbeda.
"Siapa saja orang kepercayaan Anda di restoran?"
"Makanan apa yang menjadi Icon utama restoran Anda?"
"Dari mana saja Anda datangkan bahan-bahan makanan fresh?"
Morgan menghela nafas gusar, pertanyaan dari BAP sangat banyak dan berputar-putar.
"Anda bisa mendatangkan saksi, Tuan Morgan. Pemeriksaan kali ini kami selesaikan atas keterangan dari Anda secara langsung. Sekarang, ikut saya ke ruang tahanan." seorang polisi dengan nama Briptu Armand itu menggiring Morgan ke dalam tahanan. Morgan sudah sangat lelah dengan tekanan-tekanan tersebut. Sampai di sel atau ruang tahanan yang terlihat dingin mencekam itu, yang pertama kali Morgan ingat adalah Aelke. Istrinya pasti sangat-sangat kebingungan saat ini.
Morgan masih berdiri dengan gusar, bersender di dinding polos ruang sel. Ada dua orang tahanan lainnya yang satu ruangan dengan Morgan. Mereka sudah mengenakan pakaian biru tua bertuliskan 'Tahanan'. Morgan menghela nafas berat, ia tidak mau memakai pakaian yang sama.
"Cowok bersih kayak elo ngapa ditangkep? Morotin duit tante-tante, ya? Haha... Sok bening, sih..." ujar seorang tahanan yang sudah beruban itu. Morgan hanya menyunggingkan senyuman tipisnya. Dia tidak seperti itu.
"Atau korupsi. Dari tampangnya sih, keliatan kek pejabat berkelas gitu." timpal tahanan lainnya yang lebih muda. Morgan tidak menjawab apa-apa. Ia beringsut duduk di atas lantai tahanan yang dingin itu, menatap kedua tahanan lain di depannya dengan seksama.
"Apa di dunia ini selalu ada ketidak adilan?" tanya Morgan sarkastik. Dua orang tahanan itu menautkan alisnya tak mengerti. Saling berpandangan, dan didetik kemudian mereka tertawa bersama-sama.
"Lo gak usah lebay, deh. Ngaku aja salah, semua selesai. Tahanan gak sedingin di atas gunung." bapak tua itu lagi-lagi meremehkan Morgan dengan gaya sok mudanya. Kata 'gue elo' keluar dari mulutnya, padahal uban sudah memenuhi sebagian kepalanya.
"Haha, mana ada maling ngaku. Kagak ngaku aja dia masuk sini." tahanan yang lebih muda itu menimpali si bapak tua. Mereka seolah asik mencemooh Morgan dengan kata-kata mereka sendiri. Morgan seolah salah, salah, dan tidak ada benarnya.
Tidak, Morgan tidak menimpali omong kosong dua orang di depannya. Ia terbayang wajah tangis Aelke pagi tadi, masalah mereka belum selesai, dan kini masalah lebih besar menimpanya. Ia yakin dijadikan kambing hitam oleh orang yang tidak ia ketahui. Bisa jadi itu Audrey, atau orang lain.
"Saudara Morgan. Ikut kami. Ada yang menjenguk Anda." seorang polisi yang berdiri di depan sel dengan tangan yang sibuk membuka gembok itu membuat Morgan langsung bangkit.
Morgan keluar dari sel, menuju ruang besuk tahanan. Ia langsung berjalan mendekat, ada Aelke disana. Ia tidak sendiri, ada Alfa dan kedua orang tua Morgan. Tapi melihat Aelke melemah, mereka membiarkan Aelke yang berbicara semuanya dengan Morgan hanya berdua saja.
"Suami aku gak salah." empat kata meluncur dari mulut Aelke yang langsung memeluk Morgan saat itu juga. Morgan merasakan hatinya tersayat-sayat, Aelke datang dengan mata sembab, ia percaya Morgan tidak bersalah, padahal pagi tadi Aelke begitu tertekan atas kelakuan Morgan. Dimana istri sebaik dia? Morgan tak mau menyia-nyiakan malaikat hatinya.
"Kamu percaya aku gak salah?" tanya Morgan seraya merenggangkan pelukannya, Aelke mengangguk lemah, matanya sudah bengkak parah, terlihat tenggelam karena sipitnya.
"Ayo pulang, tempat kamu bukan disini." tukas Aelke. Morgan tersenyum miris.
"Aku pulang setelah ada kebenaran, mau bantu aku?" Aelke mengangguk seketika.
"Jaga kesehatan kamu sama bayi kita. Selama aku gak bisa pulang, kamu gak perlu sering kesini. Aku gak mau calon bayi kita mengenal ayahnya berada disini." ucap Morgan menuntun Aelke untuk duduk di kursi yang tersedia. Aelke hanya mengangguk saja. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih.
"Maafin aku soal tadi pagi. Semuanya di luar kendali. Semuanya buat kamu, demi kamu, sayang." ujar Morgan sungguh-sungguh.
"Aku bisa percaya kamu. Dont worry, dear." tukas Aelke menenangkan. Morgan tersenyum disana, istri terbaik memang hanya Aelke. Hanya Aelke, sejak dulu dan nanti. Sampai kapanpun.
"Aku bawa makanan. Kita makan, aku gabisa makan kalo kamu gak ada." Aelke mendekati mama Morgan yang menenteng kotak makanan, mereka lalu makan berdua, bergegas cepat karena tidak bisa berlama-lama.
Meski sulit mengunyah karena miris pada kenyataan, Aelke terus berusaha tegar di depan suaminya itu. Memakan makanan dengan lahap meski sempat tersedak dan mengeluarkan air mata. Apa sempat terpikir makan di kepolisian? Ini menyedihkan. Morgan harus kuat, begitu juga dirinya.
Alfa baru selesai bertanya pada kepolisian terkait kasus yang menimpa Morgan. Ia dan keluarganya juga keluarga Morgan akan mempercayakan kasus tersebut pada kuasa hukum kepercayaan.
"Mama yakin anak Mama gak salah." Ny. Eliz mengusap-usap pipi Morgan dengan sendu.
"Nenek gak tau kan, Ma?" tanya Morgan, Ny. Eliz menggeleng. Nenek yang masih sakit tidak boleh tahu apa yang terjadi.
"Jam besuknya habis, kita harus pulang." Alfa mendekat, Aelke dan Ny. Eliz mengangguk.
Dengan getir, Aelke tersenyum di depan Morgan, menggenggam tangan suaminya dengan lembut.
"Aa sama Teteh tau Daddy-nya dibawa polisi. Salam dari mereka, mereka tahu Daddy-nya gak salah apa-apa." ujar Aelke.
"Salam buat mereka, bilang Daddy bakal cepet pulang."
"Harus selesai. Cepat pulang. Anak kita butuh ayahnya." tandas Aelke sambil menggerakkan tangan Morgan dan meletakkannya di atas perut Aelke. "Bisa kan pulang sebelum anak kita lahir?" tanya Aelke, Morgan jelas tertegun mendengarnya.
"Aku gak mau anak kita lahir saat ayahnya gak ada di samping mereka..."
"Doakan aku, untuk yang terbaik." tukas Morgan. Mereka berdua saling melepaskan genggaman dengan berat hati. Ada banyak tugas di depan sana, ketegaran adalah salah satu kuncinya.
"Anak kita butuh ayahnya."
"Anak kita butuh ayahnya."
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Morgan sampai ia kembali masuk sel.
Dimana orang-orang yang tega membuat Morgan menjadi kambing hitam?
Jangan ampuni mereka!
TBC...
#Mila @MilaRhiffa
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Baby Twins (Baby Twins III)
Roman d'amourWarn: Masih berantakan (Banyak bagian yang harus diedit tapi belum, maafkanlah. 😂) Aelke Mariska yang sudah resmi menyandang status sebagai Mrs. Winata memiliki impian terbesar, ia ingin melahirkan anak kembar seperti Zean dan Zeinifa. Namun ternya...