Dont Copy Paste this Amateur Story!
Semarang, Indonesia.
Morgan sibuk mengetik tugas di laptopnya di sebuah restoran bersama Audrey. Audrey asik dengan ponselnya, Morgan sibuk dengan laptopnya sambil menunggu makan malam datang. Semarang diguyur hujan malam ini. Morgan sendiri mengenakan jaket kulit tebal berwarna hitam pekat miliknya.
"Gan, ini data di dalem sini bukanya di rumah kamu aja nanti. Jangan dibuka disini." Audrey memberikan flashdisk kepada Morgan.
"Apaan lagi itu?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Buka aja nanti, lo bakal tau." ujar Audrey santai. Flashdisk itu dibiarkan berada di sisi laptop Morgan. Seorang pelayan datang menaruh semua pesanan makanan di atas meja. Morgan menutup laptopnya. Ia membuka ponsel sejenak, mengirimkan sms untuk istri tercintanya, Aelke Mariska.
Sepasang kekasih ini datang. Duduk manis di kursi dan mulai memesan. Saat pesanan sudah dicatat pelayan. Ia mengedarkan pandangannya sejenak menikmati pemandangan kota Semarang dimalam hari, lalu pandangan matanya berhenti di satu titik.
"Aldo, bukankah itu Morgan? Dia bersama siapa?" tanya seorang gadis keturunan bule asli itu pada kekasihnya. Dia Prinsia. Aldo langsung melihat ke titik yang Prinsia tuju, dari kejauhan, memang ada Morgan yang tengah menikmati makanan, tapi bukan bersama gadis berwajah Jepang yang mereka tahu sebagai istri sah Morgan. Gadis di depan Morgan itu berwajah Indonesian look.
"Morgan? Dia gak mungkin ulangi kesalahan yang sama, kan?" tukas Aldo, Prinsia menggeleng tak mengerti. Cukup saja dulu kisah kelam saat Morgan berhubungan dengan adik iparnya, Nanda. Sekarang Morgan dengan siapa lagi? Malam-malam di tempat yang jauh dari Jakarta. Ini Semarang. Aldo dan Prinsia memang sedang liburan di kota Semarang beberapa hari.
"Kita harus hubungi siapa untuk mencari pencerahan?" tanya Prinsia. Apa ia harus bertanya pada Nanda?
"Kita jangan ikut campur." ujar Aldo menggeleng. Mereka tidak ada kedekatan secara kekeluargaan bersama Morgan jika bukan karena pertemanan biasa. Prinsia mengangguk saja. Harusnya memang tak ikut campur apa-apa soal mereka.
***
Aelke sudah berada di rumah orang tua Morgan sejak kemarin, dan kini ia menemani sang nenek keliling taman belakang. Semalaman dia kesulitan tidur, entah kenapa. Dan tubuhnya terasa lemas.
"Nenek, apa hal paling menyenangkan yang pernah nenek rasain selama ini?" tanya Aelke disela-sela menemani nenek, nenek tertegun sejenak, memikirkan apa yang menyenangkan dalam hidupnya.
"Berada di tengah-tengah keluarga yang baik. Itu yang paling menyenangkan. Apalagi ada kamu..."
Aelke tersenyum manis. Semanis kata-kata sang nenek. Aelke mendorong kursi roda sang nenek menuju ke dalam rumah karena matahari mulai terasa menyengat kulit.
Aelke dibantu perawat kembali membaringkan sang nenek di atas ranjangnya. Dengan telaten, Aelke merawat nenek Morgan yang menjadi orang paling berjasa dalam kedekatannya dengan Morgan sampai mereka berdua bertemu dengan jodoh yang sebenar-benarnya.
Aelke pergi ke kamar Morgan. Ia duduk di tepi ranjang dan mengurut keningnya yang sedikit pusing. Ponsel Aelke bergetar sejenak. Aelke meraih ponselnya dan ada E-mail masuk. Aelke membuka E-mail tersebut yang tidak ia kenali alamatnya sama sekali.
Aelke menghembuskan nafasnya berat. Foto yang langsung membuatnya sejenak menahan nafas lalu menghembuskannya lagi. Ada apa lagi dengan kehidupan rumah tangganya?
Aelke menatap foto itu dengan seksama, mempersempit kenyataan jika mungkin saja foto itu editan. Aelke yang sering mendesain cover majalah dan sejenisnya pasti bisa membedakan antara foto asli dan editan.
Beberapa menit mengamati, Aelke merasakan debar jantungnya terasa makin cepat dan seolah dihimpit sesuatu. Terasa sesak, semakin sesak, dan ia memejamkan mata. Morgan ke Semarang? Beberapa malam, dan bersama siapa? Kenapa potret disana memperlihatkan Morgan hanya duduk makan malam berdua dengan wanita yang tidak begitu jelas terlihat.
Ponsel Aelke bergetar lagi. Satu foto lagi dikirimkan lewat E-mail. Aelke merasakan kelopak matanya memanas. Ia menahan cairan bening dari sana sambil meremas bed cover. "Audrey...?" Ia dengan cepat melemparkan ponselnya sampai ke ujung ranjang yang hampir saja terjatuh ke lantai.
"Why you hurt me again?" lirih Aelke masih menahan tangisnya. Bagaimana ia bisa percaya lagi pada Morgan yang terlalu banyak membohonginya?
Ambruk! Aelke seketika ambruk perlahan-perlahan di atas lantai dengan tangis tertahan. Ia terduduk lemas di atas lantai sambil mengusap-usap perut besarnya.
"Katakan pada mama, apa papa kalian melakukan salah yang sama?" gumam Aelke sambil terisak.
"Apa kalian bisa katakan 'Tidak?', sayang..."
***
Aelke duduk di kursi ruangan Morgan. Dia berada di restoran suaminya itu dengan sengaja. Memutar rekaman CCTV yang diam-diam ia pasang disana.
"Dia Audrey!" tukas Aelke setelah berkali-kali mengamati gadis yang diam-diam masuk ke ruangan Morgan dan menyimpan Memo disana.
Aelke mengernyitkan dahinya sejenak. Ia berkali-kali zoom out dan zoom in rekaman selanjutnya. Ada gadis yang berbeda. Aelke menekan sesak di dadanya.
"Nanda...!" tukasnya kesal. Aelke mematikan rekaman tersebut dan mengobrak-abrik laci Morgan untuk mencari hal lainnya. Ia berusaha tegar dan seolah menyelidiki segalanya, masih menepis kesalahan Morgan, padahal hatinya begitu remuk.
Aelke keluar dari ruangan Morgan setelah yakin matanya tak terlihat membengkak karena menangis.
"Hei, ibu hamil. Mau kemana?" Gaara sedikit berteriak saat Aelke keluar dari ruangan Morgan. Pemuda itu baru selesai membuka apron putihnya.
"Gak tau mau kemana..." ujar Aelke pelan, sebenarnya bukan pelan, tapi ia lemas. Gaara menatap ibu hamil itu intens, saat hamil seperti itu, Aelke malah makin terlihat cantik dan menggemaskan.
"Bete?"
"Lumayan."
"Kenapa?"
"Banyak hal."
"Aku boleh tau?"
Aelke menggeleng. Gaara tersenyum simpul, melipat apronnya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Jadwal aku masak udah abis. Mungkin bisa jalan-jalan kecil? Aku temenin." tawar Gaara tersenyum manis, ia tahu betul Aelke kenapa sesendu itu. Aelke berpikir sejenak, ia lalu mengangguk dan Gaara menang lagi.
Eric mulai merasakan gelagat tidak baik soal Gaara. Ia selalu berusaha mendekati Aelke saat Aelke ada di restoran dan tentunya tak ada Morgan. Dengan seribu langkah, Eric mengikuti Gaara dan Aelke. Harus ada yang diselidiki.
***
Morgan tertegun di dalam pesawat yang akan membawanya kembali ke Jakarta malam ini juga. Kesepakatan bersama Audrey masih dijalankannya dengan berat hati. Menatap awan-awan yang terlihat di sampingnya seolah ia berada di sisi awan tersebut membuat angan Morgan ikut mengawan. Sampai kapan ia seperti ini? Menyimpan banyak hal dari istrinya sendiri?
Audrey yang duduk di sisi Morgan asik membaca majalah yang tersedia disana. Morgan kembali ke pikiran kalutnya. Pulang dari Semarang, ia harus bisa terbuka dengan Aelke soal semua ini. Tak peduli ancaman Audrey nanti.
***
Dinihari, Jakarta, Indonesia.
'Jika tak ada tetesan sesejuk embun pagi, aku hanya berharap Tuhan tak singkirkan dada bidangmu dalam hidupku untuk sekedar mendinginkan hati yang bersandar kalut padanya.'
Aelke tidak bisa terpejam sampai dinihari datang menyapa hari baru. Ia hanya duduk di atas ranjang dengan pikiran kosong. Tentu saja ia hanya berada di rumahnya. Tidak lagi di rumah orang tua Morgan.
"Apa aku adalah wanita terlemah?" gumam Aelke lirih. Semalam suntuk ia hanya duduk termenung, menangis sepuasnya sampai terdiam lagi, menangis lagi, terdiam lagi, tak sadar hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya sejak kemarin sore.
Di gerbang rumah, Morgan baru saja datang dengan keadaan yang amat lelah. Ia langsung berjalan ke dalam, menaiki anak tangga, dan memutar gagang pintu setelah pintunya ia buka dengan kunci cadangan yang ia bawa kemana-mana.
Ia tersenyum melihat Aelke sudah terlelap di dalam selimut tebal. Gadis itu memang sudah mengabari jika ia berada di rumah.
"Have a nice dream calon mama. Aku rindu kamu, selalu..." Morgan mengecup dahi Aelke. Aelke merasakan semua itu. Ia belum tidur. Ia hanya terpejam dan pura-pura terlelap.
Tak lama, Morgan berbaring di sampingnya setelah keluar dari kamar mandi membersihkan badannya. Dinihari tetaplah dinihari. Yang dingin dan sepi seperti Aelke kini. Morgan memeluknya yang sebenarnya tidak terlelap, tapi rasa hangat pelukan suaminya itu seolah sirna, dan semuanya hambar begitu saja.
'Mengapa cinta kadang punya waktu terpahit? Seolah ada dua wajah di hadapannya. Ia berani pergi dengan wanita lain, dan pulang dengan sikap seolah tidak ada apa-apa.'
***
Pagi menjelang. Morgan mengerjapkan matanya saat sinar matahari menyilaukan mata. Ia duduk di ranjang dengan kesadaran yang belum terkumpul.
"Good morning calon papa..."
Wusshh...
Angin berhembus begitu saja menerpa wajah Morgan. Ia membuka matanya lebar-lebar, hampir tersenyum saat suara halus Aelke terdengar menyapanya. Tapi ia mengedarkan pandangannya, tidak ada siapa-siapa di kamarnya saat ini. Apa tadi hanya halusinasi?
Morgan bangkit, berjalan menuju balkon kamar. Ia tersenyum saat mendapati Aelke yang duduk di tepi kolam.
Aelke mengusap air matanya kasar dan membasuhnya dengan air kolam. Ia menatap pantulan wajahnya di air. Tersenyum kecut, dan terdiam saat wajah Morgan terlihat memantul juga disana. Morgan sudah berdiri di belakang Aelke, dan perlahan memeluk ibu hamil ini penuh rindu.
Lagi. Pelukan itu terasa hambar lagi. Aelke melepaskan pelukan Morgan dan membalikkan tubuhnya sampai sudah berhadapan dengan Morgan.
"Jangan berani peluk aku lagi." tukas Aelke langsung pergi. Lima kata itu berhasil membuat Morgan terhenyak heran. Dan Morgan dengan cepat meraih pergelangan tangan Aelke sebelum istrinya itu pergi lagi.
"Kenapa?" tanya Morgan.
"Kenapa? Aku udah gak tahu gimana bisa liat kejujuran kamu. Pandangan mata aku yang menghitam, atau kamu memang salah." ujar Aelke seketika dengan nada penuh penekanan. Morgan masih diam mencerna apa yang istrinya katakan.
"Kalo aku punya salah, tolong kasih tau aku. Kasih aku penjelasan." ucap Morgan minta penjelasan. Aelke langsung tersenyum miring, "Penjelasan?" ujarnya balik bertanya. Morgan makin tak mengerti.
"Sama siapa kamu di Semarang? Siapa partner kerja kamu selama ini? Siapa yang selalu ngirim Memo ke kamu? Bisa kamu jelasin ke aku?" ujar Aelke dengan cepat dan tempo suara yang tergesa-gesa karena rongga pernafasannya sudah terasa sesak lagi. Morgan dengan jelas melihat Aelke hampir menangis sambil menggigit bibir bawahnya.
"Bisa jelasin ke aku, calon pa-pa?" tanya Aelke pedih dan seolah mengeja.
"Jangan jadi calon papa gadis lain..." Aelke menggeleng, konyol sekali kata-katanya saat ini. Morgan selangkah mendekat, Aelke langsung mundur menjauh.
"Aku bisa jelasin." ucap Morgan tegas.
"Enggak ada kesadaran dalam diri kamu, Gan."
"Maksud kamu apa?"
"Gak pernah kan selama ini kamu bicara tentang apapun yang kamu kerjakan sebelum aku nanya? Sesulit itukah jujur sama aku? Kenapa kamu mau jelasin semua setelah aku nangis dan selalu cemas sepanjang hari? Kenapa kamu baru mau jelasin semua setelah aku tanya? Kenapa?" Aelke merasakan bebannya sedikit berkurang saat itu juga. Apa yang ia rasa bisa dikeluarkan meski hanya kata-kata.
"Apa yang aku lakukan saat ini, kemarin, dan esok hari itu buat kebaikan kamu, aku dan anak kita." ucap Morgan ingin menyentuh Aelke, tapi Aelke lagi-lagi mundur dan tak mau disentuh Morgan.
"Kebaikan? Dengan kamu sakitin aku?" lirih Aelke. Morgan diam seketika.
"Kita bisa bicara baik-baik, sayang."
"Tuan, ada tamu!" Aelke dan Morgan sontak menghentikan pegolakan antara mereka berdua saat Mang Ujang memberitahu ada tamu di depan.
"Tamu penting?"
Mang Ujang mengangguk, Morgan menghembuskan nafas berat. Ia menyiratkan Mang Ujang untuk pergi meninggalkan Aelke dan Morgan, dan Morgan akan segera menemui tamu tadi.
"Gak ada niat buat aku nyakitin kamu. Gak ada, sayang. Nanti kita bicara-in lagi. Forgive me, for everything." ujar Morgan yang langsung mendekati Aelke dan mengecup kening istrinya. Morgan langsung berjalan meninggalkan Aelke dan menuju ruang tamu.
Ada dua orang lelaki berjaket hitam, dan ada dua orang berpenampilan resmi dengan seragam cokelat muda, mereka polisi.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Morgan duduk di sofa. Mereka berempat saling pandang.
"Anda Tuan Morgan Winata?" tanya salah seorang dari mereka, Morgan mengangguk.
"Ikut kami ke kantor polisi. Anda ditahan, atas kasus penggelapan dana sebuah perusahaan dan laporan penyalah gunaan bahan makanan di restoran Anda." Morgan sontak membolakan matanya saat lelaki berkumis yang memakai jaket hitam itu berbicara. Dua orang berseragam polisi itu sudah berancang-ancang membekuk Morgan.
"Maaf. Maksud Anda apa? Atas laporan siapa? Dan saya tidak melakukan kesalahan seperti yang Anda katakan." jelas Morgan.
"Anda bisa jelaskan nanti di kepolisian. Tangkap dia!" ujar lelaki itu lagi. Morgan terhenyak saat dua polisi itu mendekatinya dan membekuk kedua tangannya paksa.
"Pak! Ini gak bener. Lepasin saya!" Morgan menolak diborgol.
"Saya tidak melakukan semua itu!" elak Morgan keras.
"Lepaskan saya!" Morgan berusaha melepaskan diri tapi borgol itu sudah melingkar di kedua pergelangan tangannya.
Aelke yang sejak tadi mengintip dari balik dapur langsung berlari keluar.
"Pak polisi, lepaskan suami saya! Dia gak salah apa-apa." Aelke menerjang dua polisi yang membekuk Morgan. Dua orang lagi berusaha memisahkan Aelke yang tidak terima Morgan ditangkap.
"Tenang Ny. Winata. Dia ditangkap karena dua laporan. Dia bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." lelaki berkumis tadi berusaha melepaskan tangan Aelke yang menggenggam lengan Morgan.
"Aku gak salah, Ael... Aku gak salah..." tukas Morgan menggeleng. Aelke menangis disana. Morgan diseret dua polisi keluar rumah. Aelke mengekor sedih sambil dipegangi bi Parmi.
"Believe me, aku gak salah. Aku gak ngelakuin semua ini..." pekik Morgan menoleh ke belakang. Berteriak terus-terusan berusaha meyakinkan Aelke jika ia tidak salah sama sekali.
"Aelke, percaya aku, aku gak salah apa-apa. Sayang, mohon percaya aku!" Morgan masih menoleh menatap Aelke yang juga dicegah dua orang berjaket hitam untuk dekat-dekat dengan Morgan lagi. Morgan langsung digiring masuk ke dalam mobil polisi. Aelke berteriak memanggil nama Morgan sampai mobil itu pergi menjauh.
"Tuhan, apa lagi ini?" lirih Aelke menutup mulutnya dengan air mata yang mengalir.
TBC...
#Mila @MilaRhiffa
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Baby Twins (Baby Twins III)
RomanceWarn: Masih berantakan (Banyak bagian yang harus diedit tapi belum, maafkanlah. 😂) Aelke Mariska yang sudah resmi menyandang status sebagai Mrs. Winata memiliki impian terbesar, ia ingin melahirkan anak kembar seperti Zean dan Zeinifa. Namun ternya...