Sampai Nanti

1.2K 54 0
                                    




Aelke tersenyum lembut menatap Zean dan Zeinifa yang masih betah menemaninya juga Morgan padahal senja sudah pergi dari peraduan. Morgan jadi tak merasa sendirian meski harus opname total.

"Teteh belum ngantuk?" tanya Aelke pada Zeinifa, bocah kecil yang menggemaskan dengan wajah bule keturunan Belanda-Jawa Barat itu.

"Ngantuk dikit. Teteh bobonya entaran aja..." ucap Zeinifa memainkan boneka beruang pemberian Aelke. Zean asik dengan PSP di tangannya, sedangkan Morgan hanya bisa terbaring lemah di ranjang.

"Aa juga belum ngantuk?" tanya Aelke, Zean menggeleng tanpa sepatah katapun. Aelke tertawa kecil melihat keduanya. Sangat mirip dengan Rangga dan Hana. Wajah-wajah bule ala Sunda.

"Mommy, dede bayinya kapan keluar?" tanya Zeinifa yang duduk di samping Aelke. Aelke tertegun, kapan katanya?

"Masih lama, sayaaaang..." jawab Aelke sambil mengelus rambut Zeinifa yang dikuncir dua.

"Nanti dede bayinya gak boleh panggil mommy daddy..." tukas Zeinifa dengan sorot mata yang seolah-olah tengah bicara serius, Morgan yang mendengarnya mendelik..

"Kenapa enggak boleh, teh?" tanya Morgan, Zeinifa menatap Morgan dan Aelke bergantian.

"Cuma teteh sama Aa Zean aja yang boleh panggil mommy daddy... Okeyyyyy?" ujar Zeinifa mengulurkan kelingking kanannya yang mungil itu, Aelke tertawa kecil saat tahu alasannya.

"Tanya sama daddy, setuju enggak?" tanya Aelke mengalihkan pertanyaan pada Morgan.

"Terus anak daddy manggilnya apa dong, sayang?" Morgan balik bertanya, menatap bola mata gadis kecil itu dengan seksama.

"Kaya aku manggil mama papa... Papa sama mama dokter..." ujar Zeinifa dengan kosa kata yang amat tidak beraturan. Aelke dan Morgan tertawa bersamaan mendengarnya.

"Okey, deal!" Morgan mengacungkan kelingking kanannya dan dengan cepat Zeinifa langsung mendekat lalu menautkan kelingkingnya dengan kelingking Morgan.

"Mommy deal? Aa deal?" tanya Zeinifa beralih meminta persetujuan Aelke dan Zean. Aelke melakukan hal yang sama seperti Morgan tapi, Zean malah tetap asik dengan PSP-nya.

"Ssstt... Jangan ganggu Aa!" ujar Zean tanpa mengalihkan pandangannya.

"Aa nakal!" sentak Zeinifa menghentakkan kakinya di atas lantai, ia hampir mencubit kakaknya gemas jika Aelke tidak cepat-cepat melerai keduanya.

"Jangan berantem, sayang..." Aelke memeluk Zeinifa erat, gemas pada anak itu. Berharap nanti anak yang dikandungnya akan semenggemaskan Zean dan Zeinifa.

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya, ia masuk ke kamar dan berdecak pinggang di depan Zean juga Zeinifa.

"Aduuuuuh, anak papa betah amat disini. Mama sampe kesepian..." gumam Rangga, Zean dan Zeinifa tertawa kecil melihat papanya datang.

"Aa, jangan maen PSP mulu!" Rangga merebut PSP di tangan Zean, Zean memberontak dan berusaha mendapatkan PSP-nya lagi.

"Pa, Aa baru main. Papa...." rengek Zean. Rangga tidak menggubrisnya, Rangga mengganti cairan infus untuk Morgan dan memeriksa keadaan Morgan lagi.

"Sendi lo sakit?" tanya Rangga memijit pelan persendian di tangan Morgan, Morgan mengangguk sedangkan Aelke hanya memerhatikan di sampingnya.

"Obat harus diminum. Nanti cek darah lagi secara berkala. Jadi jangan sampe capek, harus bed rest total." ujar Rangga, Morgan mengangguk lemah.

"Makasih dokter muda..." ucap Aelke tersenyum manis, Rangga balas tersenyum dan pamit pulang. Ada enaknya bersebelahan dengan Klinik milik kerabat sendiri, Aelke tidak harus susah-susah mencari rumah sakit untuk merawat Morgan.

Rangga tersenyum, Zeinifa sudah tertidur di atas permadani tebal kamar Aelke. "Dia malah tidur..." gumam Rangga mengangkat tubuh kecil malaikatnya. Zean dengan sempoyongan juga sudah mengantuk berjalan dituntun Rangga.

"Aa bisa jalan enggak? Ngantuk ya?" tanya Rangga, Zean menggeleng lemah.

"Aa jagoan, pa. Endak mau digendong!" tukasnya tegas, Aelke dan Morgan yang mendengarnya tertawa keras, lucu sekali anak itu. Hingga Aelke mengantar Rangga ke pintu rumah, ia langsung mengunci pintu karena malam terus beranjak.

"Gara-gara makan rujak kepedesan, nih..." Aelke berjinjit memegangi perutnya yang masih perih. Ia berjalan pelan-pelan menaiki tangga dan kembali ke kamar.

Aelke mendekati Morgan, memegang dahinya dan merasakan suhu tubuh Morgan sudah turun meski masih panas. "Kamu ngidam apa hari ini?" tanya Morgan, Aelke menggeleng, "Gak ada yang aneh, kok." jawab Aelke.

"Jadi hari ini ngidam? Udah kesampean? Aku masih sanggup kok cariin apa yang kamu mau." ujar Morgan cemas, takut Aelke menginginkan sesuatu tapi tak bilang kepadanya.

"Enggak, kok. Aku cuma pengen makan rujak, siang tadi dibeliin Mang Ujang. Makannya sekarang, hehe, agak, perih perutnya." kekeh Aelke sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Morgan membolakan matanya seketika.

"Rujak? Berapa porsi?? Pedes banget?" tanyanya tanpa ba-bi-bu.

"Dua porsi, pedesnya biasa kok. 5 biji aja cabenya." jawab Aelke yang sebenarnya agak takut, Morgan pasti memarahinya.

"Kamu... Ya ampun, jangan berlebihan..." kesal Morgan langsung duduk sempurna, ia memegangi perut Aelke dan menekannya perlahan.

"Sakit?"

Aelke menggeleng, "Gak sakit, cuma perih, bukan bayinya yang kenapa-napa kan? Cuma perih aja kebanyakan makan pedes." elak Aelke. Morgan berdecak sebal.

"Sama aja. Jaga pola makannya, dong! Mending sekarang minum lagi susu hamilnya." titah Morgan tegas, tiba-tiba saja ia jadi seperti itu.

"Iya, oke aku minum ya..." Aelke cengengesan dan membuka kulkas kecil, ia mengambil satu kemasan susu hamil rasa cokelat yang disediakan Morgan.

"Besok-besok jangan minum yang kemasan terus, harus diseduh!" ucap Morgan, Aelke mengangguk saja. Ia menahan mual yang sedikit terasa tiap susu apapun masuk melewati mulutnya.

Aelke berjalan lesu dan langsung membaringkan tubuhnya di sisi Morgan. "Aku bobo di sofa aja, ya?" tawar Morgan, Aelke yang baru memejamkan mata langsung membuka matanya kembali, heran!

"Kenapa? Kita tidur disini berdua..." ujar Aelke, "Aku kan sakit DBD, takut nular sayang..." ujar Morgan khawatir, Aelke memiringkan posisi tidurnya dan kini ia memeluk Morgan dari samping.

"Enggak akan, aku cuma mau bobo sama kamu. Enggak akan ada tular-tularan. Aku sama bayi ini kuat!" ujar Aelke sudah memejamkan matanya, Morgan menarik nafas lembut dan menghembuskannya perlahan. Mencoba balik memeluk Aelke yang sedetik kemudian sudah pergi ke alam mimpinya.

***

Pagi mendung di Jakarta, nenek Morgan yang masih selalu optimis hidup lama itu memandang rintik-rintik hujan dari jendela kamarnya. Ia memikirkan keadaan tubuhnya yang makin hari makin melemah karena penyakit dan usianya sudah tak lagi muda.

"Aku sudah memenuhi permintaan kamu, menikahkan Morgan dengan gadis kecil yang dulu lahir dan kau pilihkan untuk dia." gumam sang nenek tetap memandang keluar, ia seolah berbicara pada mendiang suaminya yang sudah lama meninggalkannya dan dunia ini.

"Ma, makan dulu..." suara wanita paruh baya yang masih cantik itu menggema, nenek Morgan membalikkan tubuhnya dan tersenyum di hadapan anaknya, mama Morgan.

"Mama mau ketemu Morgan dan Aelke, bisa anter mama kesana?" tanya sang nenek, Eliz-- mama Morgan itu langsung mengangguk, "Bisa dong, ma. Makan dulu, yuk! Terus minum obat." ujar Eliz.

***

Zeinifa duduk di samping ranjang Morgan. Aelke pergi ke restoran untuk mengawasi keadaan disana, jadilah Morgan sendirian dan Zeinifa mau menemaninya. Zeinifa sejak tadi berceloteh banyak hal sampai Morgan tertawa bahkan tertegun dengan celoteh anak 5 tahun itu.

"Jadi ya, daddy sama mommy itu endak boleh capek, nanti sakit, terus aku gabisa main sama daddy, terus papa bakal suntik-suntik daddy tiap hari, daddy endak sakit disuntik-suntik terus? Nanti tangannya bolong loh, daddy..." ucap Zeinifa tanpa memberikan kesempatan bicara untuk Morgan.

"Teh..."

"Terus daddy harus banyak makan. Kata mama, kalo endak mau sakit harus makan banyak yang sehat. Ini ada buah, daddy mau? Teteh bica suapin daddy." cerocos Zeinifa yang langsung mengambil apel kecil di meja nakas. Morgan mencubit gemas pipi gadis kecil itu, cerewet sekali dia.

"Aaam..." gumam Morgan menggigit apel yang dipaksa masuk ke mulut oleh tangan mungil Zeinifa.

"Teteh cerewet banget. Kapan sekolah? Di depan kompleks kan ada TK, teh.." ujar Morgan, Zeinifa mendelik, antara mengerti dan tidak mengerti.

"Emang aku harus sekolah?" tanyanya polos.

"Harus, dong! Biar jadi anak pinter." ujar Morgan.

"Teteh sekolah nanti daddy yang anter ya!" ucapnya, Morgan mengangguk saja, gadis ini amat menggemaskan.

"Aa Zean enggak kesini, sayang?" tanya Morgan, Zeinifa menggelengkan kepalanya, "Aa ada temennya. Si Arul yang diobatin sama papa. Teteh jadi nemenin daddy aja. Gak mau main terus kaya Aa." ucapnya dengan nafas tak beraturan, Morgan sampai terkekeh sendiri melihat ekspresinya.

***

Jalanan Jakarta becek seketika karena hujan mengguyur semalaman dan sampai di restoran pun gerimis masih turun. Aelke berjalan menuju restoran berbekal payung yang disiapkan Mang Ujang. Dan selepas mengantar Aelke ke restoran, Mang Ujang dititah membeli beberapa bahan makanan oleh Aelke.

"Pagi, Ric... Thomas masih di Bandung?" tanya Aelke pada Eric yang sudah datang. Terlihat ia tengah mendata pesanan makanan.

"Udah ke Bekasi, kak. Kontrol yang disana." jawab Eric, Aelke mengangguk mengerti. Morgan memang membuka cabang restoran di 5 kota besar dan semuanya didirikan atas bantuan Alfa dan Thomas.

"Yaudah, semangat ya!" Aelke menepuk pundak Eric dan berlalu menuju ruangan Morgan. Ia tak akan lama, hanya mengontrol keadaan restoran saja selama 1 jam.

Di atas meja kerja Morgan, Aelke melihat rekapan data dari Eric tentang semua dana pemasuka, pengeluaran dan gaji pegawai. Pekerjaan yang rapi, tapi Aelke harus tertegun sejenak saat melihat amplop kecil di sisi rekapan. Amplop warna peach, dan dengan penasaran Aelke membukanya.

'Have a sweet day, Morgan. ^_^'

Aelke membolak-balik kertas kecil itu dengan seksama. Memo tersebut sama tulisannya dengan tulisan yang ia lihat kemarin. Sebenarnya dari siapa? Membuat Aelke jadi tak tenang.

Aelke langsung berjalan keluar dan menemui Eric lagi. "Ric, selain kamu yang masuk ruangan Morgan, apa ada yang masuk lagi?" tanya Aelke, Eric berpikir sejenak, lalu kemudian ia menggeleng. "Enggak ada, kak. Enggak akan ada yang berani selain aku sama kakak." jawabnya. Aelke menghembuskan nafas gusar dan langsung mengantongi amplop kecil tadi di sakunya.

Setelah mengontrol sampai ke WC umum restoran, Aelke beralih ke dapur. Lumayan sibuk disana karena pengunjung juga sudah ramai.

"Paling diminati sushi apa?" tanya Aelke pada salah satu koki yang baru selesai membuat seporsi sushi ikan tuna.

"Minggu ini lebih banyak yang suka sushi original sama mie hot plate yang baru dikeluarin sebulan lalu." jawabnya, Aelke mengangguk mendengarnya.

"Hei, Nona Aelke. Aku ada tawaran rasa baru sushi. Bisa dipertimbangkan?" Aelke mendekati Gaara yang berbicara padanya. Gaara menyodorkan sepiring sushi dengan bentuk dan isi yang unik.

"Aku cobain dulu ya.." ucap Aelke, Gaara mengangguk sambil tersenyum. Aelke meraih sumpit, melahap sepotong sushi dan menerka sensai rasanya.

"Sensasi rasanya eksotis. Yummy! Tapi coba tolong buatin satu kotak, nanti aku bakal suruh Morgan cobain dulu, baru dipikirin bisa dipasarin atau enggaknya." ucap Aelke, Gaara mengacungkan ibu jarinya.

Aelke dan Gaara akhirnya membuat sushi itu sama-sama. Aelke melihat keahlian Gaara mengolah sushi dan makanan lainnya. Koki seperti ini pasti mendatangkan keuntungan untuk restorannya.

"Kamu lagi masak begitu keliatan cantik." ujar Gaara tanpa pikir apapun lagi dengan ucapannya sampai Aelke mendelik heran.

"Haha, bisa aja." timpal Aelke.

"Hobi masak?"

"Begitu, lah..." jawab Aelke tersenyum puas saat sushi yang ia buat tak jauh beda dengan yang Gaara buat. Aelke membungkus sushi tersebut, dan akan memberikannya pada Morgan. Nanti Morgan sendiri yang akan memutuskan boleh atau tidaknya sushi itu untuk masuk ke daftar menu terbaru.

Saat Aelke keluar dapur, Gaara makin mengembang senyumannya. Entah senyuman untuk apa, yang pasti dia kelihatan bahagia.

***

Morgan sudah tes darah kembali hari ini. Sekembalinya Aelke, ia langsung dimintai keputusan atas sushi yang dibuatnya dan Morgan sepakat untuk meluncurkan menu baru.

"Enak, kok. Biar nanti didesain sama Eric. Kamu capek? Istirahat dong. Hari ini bayinya minta apa?" tanya Morgan, Aelke terdiam sejenak. "Kayaknya aku gak pengen apa-apa hari ini. Aku cuma ngantuk, itu aja." ujar Aelke dengan wajah lelahnya. Ia tadi bolak-balik mengambil cucian yang di laundry dan membantu Eric.

"Yaudah, mending tidur. Nanti aku bangunin." ucap Morgan, Aelke mengangguk lemah tapi ia menyempatkan diri untuk membasuh wajahnya di westafel.


Brug!!!
Prang....!!!

Baru saja selesai mengeringkan wajah dengan handuk, terdengar suara pecahan dari balkon kamar. Morgan terkesiap, Aelke langsung membuka pintu balkon dan mendapati vas bunganya pecah berantakan.

"Ada apa?" Morgan bangkit dan berjalan lemas dengan infus yang ia bawa di tangan. Aelke memungut kertas yang digumpal-gumpal dengan sebuah batu di dalamnya. Dengan gemetar, Aelke membuka gumpalan kertas tersebut dan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia gemetar, amat gemetar.

"Kenapa?" Morgan merebut kertas di tangan Aelke, sampai akhirnya ia tertegun saat melihat tulisan yang tertera disana.


Tersenyumlah, sampai nanti kusayat bibirmu hingga tak dapat tersenyum lagi!



Kritik dan saran sampaikan ya, makasih :)



#Mila @MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang