Dont Copy Paste this Amateur Story!
Hari kesekian setelah pertemuan Morgan dengan Audrey, semuanya terasa hampa dijalani. Terlebih Aelke, calon ibu muda itu merasa kesepian karena Morgan sangat sibuk dengan pekerjaannya dimana-mana sampai sering pulang saat Aelke sudah terlelap, dan berangkat saat Aelke belum terjaga dari tidurnya.
Aelke menelepon Morgan sejak tadi, namun tak ada jawaban sama sekali. Hanya terdengar suara kereta 'Tut, tut, tut,' berkali-kali namun, tak kunjung berujung dengan suara khas Morgan.
Bukan tanpa alasan, Morgan adalah pemilik 5 restoran sushi, dan satu restoran seafood di sisi pantai. Ia juga model busana pernikahan bersama Aelke, ia membantu perusahaan Alfa, dan menerima kesepakatan dengan Audrey yang harus ia ambil dengan terpaksa. Waktunya untuk Aelke jadi sempit, bahkan sedikit. Dan Aelke berusaha sabar untuk kesibukan Morgan, meski ia tak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.
"Mommy, aku pulang dulu yaaa... Mwach!" Zean yang sejak tadi bermain di rumah Aelke pamit pulang dan menyempatkan mengecup pipi mama keduanya itu. Aelke mengangguk dan berjalan menuntun jagoan Rangga itu. Mengantarkannya menuju pintu depan dan memastikan Zean ke rumahnya dengan selamat. Zeinifa tidak datang, Zean bilang, adiknya itu sedang asik main masak-masakan dengan Hana.
"Dadah mommy!" Zean melambaikan tangannya dan langsung masuk ke dalam Klinik. Aelke kembali ke rumah. Berusaha menelepon Morgan lagi. Ya, menelepon suaminya untuk kesekian kalinya. Aelke sudah dua hari menunggu Morgan mengantarkannya sekedar membeli alat-alat yang dibutuhkan jika nanti melahirkan. Meski masih 5 bulan, Aelke ingin menyiapkannya dari sekarang.
Jika tak ada Hana yang merupakan dokter kandungan terdekat dan seperti seorang kakak untuk Aelke, Aelke pasti kesulitan mengontrol kandungannya karena Morgan selalu sibuk. Ia bahkan tak tahu bagaimana perkembangan kandungan Aelke akhir-akhir ini.
"Bi, aku mau ke restoran dulu ya..." tukas Aelke memberitahu bi Parmi. Aelke langsung bergegas minta diantar supir menuju restoran. Ia bosan di rumah, siapa tahu Morgan ada disana.
***
Suasana meeting yang genting. Alfa dan Morgan sama-sama berjuang dalam pertemuan bisnis kali ini untuk menyelamatkan perusahaan dan mempertahankan saham. Alfa melirik Morgan, matanya merah. Morgan pasti kurang istirahat. Pemuda itu sangat baik hati mau membantu Alfa ditengah kesibukannya.
"Gan, diminum dulu!" bisik Alfa mendekatkan gelas kopi milik Morgan. Morgan tersenyum dan menyeruput kopinya perlahan, lalu berusaha memokuskan diri mengikuti jalannya meeting.
Setelah mencapai kesepakatan kedua belah pihak, akhirnya meeting selesai. Kali ini Morgan dan Alfa bisa bernafas lega karena hasilnya aman. Morgan dan Alfa menjabat tangan semua partner kerjanya, yang setelah itu mereka meninggalkan ruangan meeting.
"Kak, gue ngantuk. Pinjem ruangan lo dulu buat tidur bentaran. Gak tahan!" tukas Morgan sambil menguatkan kedipan matanya. Alfa terkekeh, "Silahkan... Yuk, ke ruangan. Kesian banget ade ipar gue." ucap Alfa. Morgan dan Alfa langsung berjalan menuju ruangan Alfa di lantai atas.
Sesampainya di ruangan, Morgan langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Sepersekian detik, ia sudah pergi ke alam mimpi dengan dengkuran halus. Alfa hanya menggeleng saja. Ia langsung kembali mengerjakan pekerjaan yang lainnya.
Morgan tidak tahu, Aelke menghubunginya berkali-kali. Ponsel Morgan tertinggal di mobil, dan sekarang ia kelelahan di kantor. Bagaimana Aelke?
***
"Morgan gak disini?" tanya Aelke pada Eric, Eric menggeleng.
"Emang dia kemana? Dari pagi gak kesini, kak." jawab Eric. Aelke menggeleng dan mengangkat bahunya tak tahu dengan wajah murung.
"Gak tau. Diteleponin aja susah gak diangkat-angkat." tukas Aelke.
Aelke beralih menuju ruangan Morgan dan duduk-duduk kesal disana. Tapi kali ini, Aelke tak menemukan Memo apapun.
"Sayang, papa kamu sibuk terus. Mama bete, deh..." Aelke mengelus perutnya sendiri yang sudah mulai membesar, dan kandungan Aelke memang cukup aman sejauh ini.
"Masa mama telepon berkali-kali enggak diangkat. Kesel tau." ujar Aelke lagi seolah mengajak bayi di dalam perutnya berinteraksi.
"Tau gak? Mama kangen sama papa. Akhir-akhir ini mama susah ketemu papa, sibuk terus." Aelke duduk di sofa yang tersedia disana. Ia tersenyum senang saat bayi di dalam perutnya menendang-nendang, seperti menimpali perkataan Aelke.
"Aaaa, anak baik. Mama curhat didengerin ya..." Aelke menikmati tendangan-tendangan kecil itu bahagia. Sedikit mengobati kesalnya.
"Duh, jangan keras-keras juga nendangnya. Mama sakit sayang..." Aelke memejamkan matanya. Kadang tendangan itu menggelikan, kadang sedikit menyakitkan.
Aelke cukup puas berinteraksi dengan calon malaikat kecilnya. Karena lapar, Aelke memilih pergi ke dapur. Mencari makanan enak.
Aroma makanan beraneka ragam langsung tercium. Aelke melihat-lihat bahan makanan. Ada beberapa koki disana menyapa hangat Aelke.
"Nyonya Winata apa kabarnya?" Randi menyapa Aelke.
"Baik, Ran. Pesanan nomor berapa itu?" tanya Aelke memerhatikan Randi yang dengan gesit menata dua porsi makanan berbeda.
"Nomor 12. Ah, udah siap. Gue ke depan dulu ya." ucap Randi, Aelke mengangguk. Aelke kembali berjalan, melihat ada cumi segar di atas meja. Ia mengedarkan pandangannya. Ada Gaara disana. Aelke mendekat.
"Gaara, bantu masaki cumi dong!" tukas Aelke, Gaara menoleh dan tersenyum. Ia langsung mengangkat ibu jari tangan kanannya.
"Cumi kecil apa cumi besar?" tanyanya.
"Yang itu, tuh!" Aelke menunjuk satu cumi yang tergeletak pasrah di atas piring, begitu menggoda untuk digoreng dan disiram saus pedas di atasnya.
Gaara langsung mengolah cumi putih besar menjadi bagian-bagian kecil. Aelke membuat saus tiram dan campuran cumi. Keduanya terlihat kompak membuat satu masakan.
"Aelke bakat banget masaknya." puji Gaara kagum, Aelke terkekeh saja mendengarnya.
"Biasa aja, Gaar, kan ibu-ibu rumah tangga harus bisa masak." ucap Aelke sambil menggoreng saus dan Gaara memasukkan potongan cumi ke dalam penggorengan. Harum aroma lezat cumi saus tiram langsung memanjakan hidung Aelke. Pasti rasanya sangat lezat.
Aelke mengambil nasi hangat dan menaburkan bawang goreng di atasnya. Ia langsung menarik kursi di dapur dan duduk menanti makanan siap. Gaara terkekeh melihat Aelke antusias makan. Mungkin ibu hamil itu ngidam lagi.
Sumpit sudah siap mencapit makanan. Gaara meletakkan seporsi cumi di depan Aelke. Aelke berbinar matanya. "Mari makan. Makan bareng dong..." ajak Aelke. Gaara duduk berhadapan dengan Aelke.
"Kamu aja yang makan, aku nemenin." ucap Gaara menolak, Aelke akhirnya makan sendirian. Setidaknya, dengan memasak bersama Gaara dan makan enak siang ini, Aelke melupakan rasa kesalnya seharian. Apalagi sampai saat ini, Morgan belum juga memberi kabar.
***
Alfa terkekeh melihat wajah bantal Morgan. Ia sudah tertidur 3 jam di ruangan Alfa. Morgan beralih menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
"Kak, gue pulang ya. Makasih tumpangan tidurnya." tukas Morgan sambil mengusap wajahnya memakai tissue.
"Ya, hati-hati. Eh, ini nih gaji lo. Makasih banyak udah bantuin gue. Ini buat Aelke dari Rani. Kasihin ya..." Alfa memberikan amplop cokelat dan sekotak kado. Morgan mengambil kado, dan menyerahkan kembali amplop kepada Alfa.
"Makasih kado buat Aelkenya. Kalo buat gaji, gak usah kak. Gue bantu lo niat tulus, gak mau dibayar." ujar Morgan.
"Gak bisa, Gan. Gue minta bantuan lo. Lo nyampe gak tidur karena ini. Please, terima." ucap Alfa tak mau uang pemberiannya ditolak.
"Bayarannya jangan duit deh, kak. Gimana?" tawar Morgan, Alfa mendelik, "Terus, apa?" tanyanya.
Morgan membisikkan kata-kata di depan telingan Alfa, Alfa tertawa renyah dan mengangguk setuju.
"Oke, traktiran rokok selama sebulan tanpa sepengetahuan Aelke. Haha..." Alfa tertawa. Morgan langsung pamit pulang dan berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai dasar.
Morgan menekan tombol di kunci mobilnya, terdengar suara 'Citcat' dari mobil Morgan yang otomatis terbuka kunci pintunya.
Morgan menatap ponsel yang tergeletak di dekat dashboard mobil. Ia membolakan matanya saat melihat ada 39 panggilan tak terjawab dari Aelke dan 13 pesan dari istrinya itu. Morgan melihat tanggal, ia langsung menepuk jidatnya, Morgan sudah berjanji akan pergi berbelanja peralatan bayi dengan Aelke kemarin. Ya, kemarin. Hari ini bahkan sudah dikatakan 'besok' jika dilihat dari hari kemarin, dan Morgan melupakan janjinya.
Morgan membaca semua pesan Aelke, pesan kesal. Hanya terlihat titik-titik di layar sms Morgan. Aelke pasti sudah sangat kesal. Dan Morgan menghembuskan nafas kesal saat Audrey mengiriminya sms juga.
From: Aud-
Gak lupa kan? Cepetan!
Morgan langsung melajukan mobilnya meninggalkan parkiran perusahaan Alfa. Kemana ia pergi? Ia akan menemui Audrey, bukan Aelke.
***
Aelke berjalan tergesa-gesa di rumah Morgan. Bukan, bukan rumah Morgan. Tapi orang tua Morgan. Ia baru selesai makan siang di restoran, langsung mendapat kabar jika nenek Morgan jatuh sakit. Eric yang mengantarnya sampai ke rumah. Karena sangat percuma sekali menghubungi Morgan, tak ada hasilnya.
"Ma, nenek dimana?" tanya Aelke pada Ny. Eliz yang kebetulan ada di ruang tamu. Aelke langsung bersalaman pada mama mertuanya itu.
"Di kamar bawah. Nenek gak kuat kalo di atas. Kamu sendirian? Mana Morgan?" tanya Ny. Eliz heran, Aelke tersenyum kikuk.
"Morgan lagi banyak kerjaan. Tadi aku dianter Eric, cuma Eric-nya langsung balik ke resto. Morgan nanti nyusul kesini, kok." jelas Aelke. Ny. Eliz tersenyum dan mengajak Aelke menengok nenek Morgan.
Ny. Eliz membukakan pintu kamar mamanya. Ada dua orang perawat tengah memasang botol infusan yang baru. Aelke mendekat, nenek Morgan yang dulu berjuang menjodohkan Morgan dan Aelke itu terbaring lemah.
"Nenek..." lirih Aelke mendekat dan mengecup kening sang nenek. Dua perawat itu langsung keluar meninggalkan Aelke dan sang nenek setelah pekerjaan mereka selesai.
"Kamu apa kabar?" tanya nenek dengan suara yang parau. Aelke duduk di kursi dekat ranjang nenek, dan menggenggam erat tangan ringkihnya. Umur nenek Morgan sudah hampir kepala 7.
"Aku baik. Harusnya jangan tanya aku. Nenek kenapa sakit gak bilang aku? Eric bilang, nenek sakitnya udah lama..." Aelke sedih sekali. Tapi nenek Morgan itu masih saja bisa membentangkan senyuman tulusnya di depan Aelke.
"Nenek sakit biasa, kok. Besok pasti sembuh.."
"Masa sakit biasa sampe infus? Sampe disuntik-suntik. Sampe pake selang oksigen. Nenek gak mau dirawat di rumah sakit aja? Aelke yang nemenin nenek, setiap hari." tawar Aelke.
"Nenek gak suka rumah sakit, Elke..." ujar sang nenek sedih, Aelke memeluk nenek kedua kesayangannya dengan erat, merasakan badannya yang hangat dan tubuhnya yang sudah renta.
"Nenek mau liat baby kamu sama Morgan. Jadi, doakan nenek sembuh..." bisik nenek, Aelke langsung terenyuh dan mengusap-usap lengan nenek.
"Pasti, nek. Pasti nenek bakal jadi bagian penting dari anak-anak aku sama Morgan." ucap Aelke sambil menahan air matanya. Aelke melepaskan pelukannya dan duduk di kursi lagi.
"Kemana Morgan? Kamu sendirian aja kesini? Apa dia gak perhatian sama kamu? Apa dia buat kesalahan lagi? Biar nenek yang kasih pelajaran kalo dia buat kamu kecewa..." ucap nenek Morgan panjang lebar, Aelke terkekeh mendengarnya.
"Dia ada kerjaan, nanti pasti kesini. Nenek tau, dong. Cucu nenek kan cowok paling baik dan suami yang bertanggung jawab..." jelas Aelke bergurau, meski dalam hatinya sendiri, Aelke tak tahu Morgan melakukan apa dalam pekerjaannya.
"Dan kamu istri terbaiknya..." sambung nenek Morgan tersenyum, Aelke ikut tersenyum.
Ny. Eliz datang dengan senampan kue kering yang masih mengepul asapnya. "Ael, makan dulu nih. Kue buatan mama, kangen deh liat kamu disini. Nginep ya..." ucap Ny. Eliz. Di rumahnya memang tidak ada anak perempuan.
"Wah, pasti enak nih, ma. Tunggu Morgan dulu deh, nanti pasti nginep." ujar Aelke sambil meraih sepotong kue dan meniup-niupnya.
"Potongan pertama buat nenek, get well soon ya..." Aelke menyodorkan sepotong kue di depan mulut sang nenek. Nenek membuka mulutnya, lalu mengunyahnya perlahan. Kebersamaan yang sederhana, namun membahagiakan.
Ponsel Aelke berdering nyaring. Aelke mengira itu Morgan. Tapi ia harus menelan kekecewaan, bukan Morgan yang meneleponnya. Tapi Hana.
Aelke lalu menyambungkan video call, Hana meminta Aelke mengaktifkannya karena Zean dan Zein ingin bicara.
Semenit kemudian, terlihat sosok dua bocah menggemaskan Zean dan Zein di layar ponsel Aelke yang lumayan lebar.
"Mommy.... Mana Oma? Aku mau liat Oma... Oma syakit ya??" suara cempreng Zeinifa seketika menggema. Aelke terkekeh dan memperlihatkan video call itu di depan nenek.
"Ih, Aa juga mau liat Oma.." sergah Zean sambil menyikut lengan adiknya.
"Hallo twins..." sapa nenek dengan suara lemahnya. Zean dan Zein membalas sapaan sang nenek antusias.
"Oma syakit apa? Aa mau kesana endak ada yang anter!" tukas Zean. Aelke dan Ny. Eliz yenga mendengarnya hanya tertawa kecil.
"Oma sehat loh..." jawab nenek.
"Oma boong. Udah gede kok masih boong. Oma idungnya pake selang yang papa punya disini. Itu Oma sakit..." cerocos Zeinifa, nenek Morgan sampai tertawa melihatnya.
"Oma mau Aa obatin?" tawar Zean, nenek mengangguk.
"Emang Aa bisa obatin?" tanya Zein heran, wajahnya terlihat sangat polos di layar ponsel.
"Bisa, nanti dibantu papa, wle..!" Zean menjulurkan lidahnya.
"Kalo dibantu papa, teteh juga bisa lah..." sungut Zein.
"Kok jadi berantem sih Aa sama Teteh??" Zean dan Zein seketika diam saat mendengar suara Aelke. Nenek memberikan ponselnya pada Aelke, katanya sekarang ingin bicara pada nenek dadakannya, Ny. Eliz.
"Mami....." seru Zean dan Zein serempak saat melihat Ny. Eliz di layar ponsel dan tersenyum pada mereka. Obrolan berlanjut sampai pulsa Hana habis disana dan video call mati sendiri. Aelke masih bisa tersenyum, meski hatinya sendiri gundah. Sampai senja habis digantikan malam, Morgan tidak juga memberikan kabar apapun padanya. Sesulit itukah memberi kabar? Padahal huruf-huruf bisa dikirim lewat pesan singkat.
TBC...
#Mila @MilaRhiffa
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Baby Twins (Baby Twins III)
RomansaWarn: Masih berantakan (Banyak bagian yang harus diedit tapi belum, maafkanlah. 😂) Aelke Mariska yang sudah resmi menyandang status sebagai Mrs. Winata memiliki impian terbesar, ia ingin melahirkan anak kembar seperti Zean dan Zeinifa. Namun ternya...