Bertahanlah...

2.7K 69 0
                                    



Kabar Morgan sakit tidak sampai ke telinga Aelke. Kini di rumahnya sudah ada sang Mama yang bergantian menginap dengan Mama mertuanya. Semua seolah melimpahkan kasih sayang pada Aelke agar ibu hamil itu kuat, meski semua tidak tahu ada hal-hal yang Aelke sembunyikan. Termasuk pertemuannya dengan Audrey.

Hari ini, Aelke ingin menjenguk Morgan. Awalnya Ny. Eliz menolak, mengingat Aelke sudah tinggal menunggu waktu untuk melahirkan, dan mengkhawatirkan Aelke akan tahu jika Morgan sakit. Tapi karena Aelke bersikeras ingin bertemu Morgan, akhirnya mereka sepakat untuk kesana.

"Siapa tahu ini hari terakhir aku jenguk Morgan, Ma..." ujar Aelke sambil menarik ujung gaun hamil yang ia kenakan.

"Hush! Ngomong apa sih, Aelke?"

"Ya... Takutnya nanti aku gak bisa lagi bertahan, aku harus ketemu sama suami aku, Ma." Ny. Eliz tercenung mendengar penuturan Aelke. Bukan kali ini saja. Sudah sering sekali Aelke mengucapkan kata-kata yang seolah menyiratkan ia tak akan bertahan. Entah bertahan untuk apa. Bisa untuk bertahan hidup, atau bertahan dalam masalah kehidupan.

Bahkan, Aelke pernah mengatakan jika harus Morgan yang memberi nama anaknya saat lahir nanti. Ia akan memasrahkan semua pada Tuhan. Aelke berandai-andai jika ia hanya bisa melahirkan anaknya, maka Morgan yang akan mengasuh anak-anaknya kelak. Ny. Eliz hanya bisa menepis semua itu, termasuk firasat-firasat buruk yang sangat mengganggu. Keadaan Aelke menantunya memang tak bisa ditebak.

***

"Kamu pucat, Gan..." Aelke mengelus pipi tirus Morgan. Pria itu membiarkan bakal janggutnya melebat, mungkin karena tidak begitu terurus. Aelke mengeluarkan gunting kuku, meraih tangan kanan Morgan dan mulai memotong kuku Morgan yang memanjang berantakan. Morgan menghela nafas gusar, rindu sekali dimanjakan dan memanjakan istrinya.

"Kamu baik-baik aja, sayang?" tangan kiri Morgan mengelus rambut kecokelatan Aelke, Aelke tersenyum dan mengangguk. Tangannya terus memotong kuku Morgan.

"Calon Papa, kapan pulang? Calon Mama kangen..." Aelke terkekeh saat mengucapkan itu, Morgan ikut terkekeh miris, terlihat sekali kelemahan Aelke meski ia berusaha menutupinya.

"Calon Papa pasti pulang..."

"Sebelum anak kita lahir?" tanya Aelke mendelik sambil bergantian memotong tangan kiri Morgan.

"Semoga, sayang..." pipi Aelke bersemu merah saat Morgan mengelus pipi mulusnya, rona merah muda yang Morgan rindukan saat Aelke malu-malu padanya. Tangan Morgan terasa kasar, ia pasti amat tidak merawat dirinya sendiri di tahanan. Semua penampilannya berantakan, tapi itu tetap suami tercintanya.

"Tuhan begitu baik. Dia memberikan aku istri yang hebat, yang tegar, dan penyayang." Morgan menggenggam tangan Aelke yang baru selesai memotong kuku Morgan dari kanan sampai kiri.

"Karena suaminya hebat. Sini kakinya, aku guntingin kukunya juga." Aelke sedikit menunduk meski sulit karena besar perutnya menghalangi.

"Gak perlu, sayang. Aku aja nanti." Morgan menolak dan mau Aelke duduk dengan tenang di hadapannya.

"Apa Audrey kesini?" pertanyaan Aelke membuat Morgan menautkan kedua alisnya.

"Dia nemuin kamu?" selidik Morgan curiga.

"Pertanyaan aku belum kamu jawab." tukas Aelke datar.

"Tolong, apapun yang dia katakan, jangan kamu lakukan. Aku bisa keluar dari sini, tanpa harus ikut kesepakatan dia. Dengerin aku, Aelke sayang." Morgan menatap Aelke sungguh-sungguh. Audrey memang sering menemui Morgan, pasti membicarakan kesepakatan bersama, sama seperti apa yang Audrey katakan pada Aelke.

"Terlambat, Gan. Aku sepakat sama dia. Asal kamu keluar sebelum anak kita lahir, dan kita kedepannya harus..."

"Jangan dilanjutin!" Morgan menyentuh bibir Aelke dengan jari telunjuknya sambil menggeleng lemah.

***

Aelke cukup menikmati kehamilan pertamanya. Saking nikmatnya, ia berharap anaknya kelak jadi anak yang tegar. Karena saat Aelke mengandung, banyak sekali masalah yang menerpanya.

Aelke duduk lemah di sofa bed, memerhatikan Zean dan Zein yang sedang main Monopoli. Mereka seolah benar-benar mengelola uang, memainkan peran, bersosialisasi dalam perekonomian, membeli saham dan rumah di negara-negara besar. Ya, meski hanya permainan saja.

"Teteh beli rumah di Roma. Yey! Ini uangnya! 10 dollar!"

"Ih murah amat. Sejuta dollar, dong. Aa banyak duit, nih!"

"Ih... Gak mau. Uang Teteh buat beli rumah lagi."

"Yah... Harus bayar pajak!"

"Aa dapet pelanggaran! Harus dipenjara...!"

Aelke tertegun saat mendengar ucapan Zein yang terakhir, ada kata 'Penjara'-nya. Itu cukup membuatnya mengingat Morgan.

Kelucuan Zean dan Zein di depannya cukup membuat Aelke tenang. Meski bukan anak kandung, mereka sudah seperti anaknya sendiri.

"Mommy! Uang Teteh banyak. Mau dibeliin apa?" Zein mengangkat uang-uangan Monopolinya ke atas, Aelke hanya terkekeh.

"Banyakan uang Aa. Biar Daddy bisa keluar, bisa pake uang Aa gak, Mommy?"

Aelke hanya diam dengan senyuman. Kedua anak kembar di depannya pun selalu berharap Morgan segera bebas.

Aira berjalan mendekat dituntun Rani. Gadis kecil itu duduk di antara Zean dan Zein menatap permainan yang asing di hadapannya.

"Aira mau main juga?" tanya Zean, Aira menoleh, menatap Zean kurang mengerti, gadis itu menggembungkan pipinya lalu tertawa renyah.

"Ih gemesin, deh!" Zein mencubit pelan pipi Aira yang menggemaskan itu.

Anak-anak sibuk bermain, Rani duduk di samping Aelke dan memeriksa keadaan Aelke. Jika diprediksi, Aelke sebentar lagi pasti melahirkan.

***

Aelke tengah melukis, itu yang ia lakukan saat tak tahu harus melakukan apa. Kali ini ia melukis pemandangan indah yang memperlihatkan sungai dengan pohon-pohon rindang menyejukkan mata.

"Aelke, apa kabarnya?" Aelke menoleh saat mendengar suara seseorang. Ia tersenyum, itu Nanda dengan suaminya, dr. Willy.

"Aku baik. Kalian gimana?"

"Kita baik. Keren banget lukisannya." Nanda memuji keindahan lukisan yang Aelke buat.

"Iseng aja. Duduk, deh. Aku ambilin minum." Aelke bangkit dari duduknya dan beralih menuju dapur, namun Nanda mencegahnya.

"Gak perlu. Tadi sempet ngobrol sama Mama kamu di depan, udah disediain minum sama makanan malah." sergah Nanda. Aelke mengangguk saja dan kembali duduk. Ia memang tengah berada di ruang tengah.

"Kakinya gak kambuh atau kenapa-napa, kan?" tanya dr. Willy khawatir.

"Enggak, dok. Paling suka pegel dan gak kuat naik tangga." jawab Aelke jujur. Ia bahkan tidak pernah lagi bisa tidur menatap bintang karena tidak ke ruangan atas.

"Ya, jangan naik-turun tangga. Gak baik."

"Sebentar!" Aelke terdiam dalam ringisan, Nanda dan dr. Willy mulai panik.

"Kenapa Aelke?"

"Awwwss... Sss... Saa-kit!" Aelke memegangi perutnya dan merintih kesakitan. Nanda sontak terkejut dan tak tahu harus bagaimana.

"Gimana ini?" Nanda mengguncang-guncang tubuh Willy.

"Udah waktunya melahirkan. Coba panggil bidan!" tukas dr. Willy saat melihat ada air bening mengalir sampai ke kaki Aelke.

"Tahan Aelke, aku bantu!" dr. Willy memapah tubuh Aelke yang masih mengerang kesakitan. Sedangkan Nanda langsung berlari keluar, suasana gaduh langsung terdengar saat Mama Aelke, Mama Morgan dan Rani ikut terkejut Aelke akan melahirkan.

Rani berlari keluar rumah, melihat ada Zean duduk di ayunan depan Klinik.

"Aa, panggilin Mama Hana. Bilangin Mommy Aelke mau melahirkan!" titah Rani sambil terengah-engah, Zean yang sudah merekam ucapan Rani di dalam otaknya langsung berlari ke dalam Klinik sedangkan Rani kembali ke rumah Aelke untuk mendampingi proses kelahiran anak Aelke dengan Morgan.

Ah, ya! Morgan. Dia ternyata belum keluar dari tahanan saat Aelke akan berjuang melahirkan anaknya ke dunia.

***

Dibantu Alfa, Morgan mati-matian meminta ijin keluar dari penjara untuk mendampingi Aelke melahirkan selama beberapa jam. Mendapat kabar Aelke melahirkan, Morgan kelimpungan sendiri. Alfa sampai bilang Aelke sempat menolak melahirkan hari ini padahal sudah pembukaan 6 dan menangis hanya karena tidak mau melahirkan jika tidak ada Morgan.

Setelah bernegosiasi dengan bantuan pengacara Morgan, akhirnya Morgan diperbolehkan mendampingi Aelke selama tiga jam ke depan dengan dikawal 3 orang dari kepolisian.

Di mobil Alfa, ada Morgan, pengacaranya, dan seorang pengawal yang dipercayakan. Sedangkan di belakang, ada dua orang polisi lagi yang juga akan mengawal Morgan dengan mobil berbeda.

Morgan mengusap wajahnya gusar berkali-kali karena tak tenang. Perjalanan terasa lambat dan menegangkan. Ia memikirkan Aelke yang mengerang kesakitan, ia juga memikirkan bagaimana jika anak yang dilahirkan Aelke hanya satu, tidak kembar seperti yang Aelke dambakan sejak lama.

30 menit kemudian, Morgan dan semua antek-antek kepolisian sudah sampai di kediaman Morgan dan Aelke. Morgan langsung berlari ke dalam. Mamanya dan Mama mertuanya sangat lega saat Morgan datang. Rani langsung meminta Morgan membersihkan tangan dan memakai baju steril. Aelke melahirkan di kamar bawah rumahnya sendiri karena untuk memudahkan semuanya, apalagi ada Hana. Semua terasa mudah.

"Mor-gan!" Aelke berbinar saat melihat suaminya datang dengan baju steril dan penutup kepala berwarna hijau. Morgan tersenyum dan mengangguk.

"Aku datang, sayang. Sekarang, kita mulai, lahirkan anak kita ke dunia." Morgan mengecup Aelke sekilas, Aelke sudah bercucuran keringat dimana-mana.

"Kalo Aelke gak bisa berjuang lebih lama, kita ambil jalan Caisar!" sergah Hana. Rani yang notabenenya adalah seorang perawat, ikut membantu di dalam.

"Lakukan apapun yang terbaik, asal Aelke sama anak aku selamat."

Aelke terlihat mengerang, Morgan menggenggam tangan kanan Aelke untuk menenangkannya dalam persalinan.

Jika bisa, Morgan ingin menggantikan posisi Aelke yang terlihat sangat menyakitkan. Berusaha mengeluarkan buah hati, dengan keringat dan perjuangan sejak lama. Aelke sempat mengeluarkan air mata, proses kehamilannya terlampau lama dan menyakitkan.

"Kalo aku gak bisa berta-han... Hh.. Hh.. Jaga anak kita, Gan..."


TBC...



@MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang