I'll Be Back

843 44 0
                                    


Dont Copy Paste this Amateur Story!




Langit di atas terlihat mendung. Hamparan rumput hijau seakan meminta hujan untuk basahi tubuh mereka. Angin berhembus dari selatan ke utara, menghembuskan rerumputan hingga bergoyang kesana-kemari bagai ilalang berbeda warna.

Aelke membuka mata, ia berbaring di atas rumput hijau itu bernaung langit mendung tanpa cahaya. Berbaring seorang diri tanpa siapapun lagi. Aelke merentangkan tangannya, membiarkan tubuhnya terlentang bebas, menikmati hirup udara yang keluar masuk dalam pernafasannya.

Ia lalu memejamkan mata, merasakan hembusan angin menggelitik wajahnya, menghembus rambut cokelatnya yang tergerai begitu saja.

Sentuhan hangat itu membuat Aelke makin memejamkan mata, seolah ada tangan lembut membelai wajahnya.

"Kamu tidak sendirian."

Aelke membuka matanya lagi, terhenyak menatap wajah lelaki yang berada tepat di hadapannya. Lelaki itu tersenyum, menatap teduh dirinya. Aelke berusaha menyunggingkan senyuman, namun sulit rasanya tersenyum meski Morgan ada di hadapannya, mungkin karena mendung di langit Tuhan masih membentang.

"Tutup matamu. Tak ada aku, kamu punya malaikat di dalam sanubarimu. Tuhan ada untuk kita. Aku pasti kembali." Morgan menutup kedua kelopak mata lentik istrinya. Aelke terpejam lagi, merasakan wajahnya dibelai singkat, lalu belaian itu tak lagi terasa.

"Aku pasti kembali."

Ibu hamil ini mengerjapkan matanya yang terasa berat enggan terbuka. Ia melihat langit-langit putih kamar terpampang di hadapannya. Dengan lemas, Aelke menoleh ke samping, hanya ada bantal guling keemasan, tanpa ada sosok Morgan yang terlihat saat ia membuka mata. Apa tadi hanya mimpi?

"Kamu udah bangun, sayang?" Aelke hanya diam saat Mamanya menyapa sambil membawa nampan berisi makanan. Ia memang tidak pulang ke rumahnya dan Morgan. Ia dibawa Alfa ke rumah orang tuanya.

"Kapan Morgan pulang, Ma?" tanya Aelke tanpa ekspresi, baru satu hari, Aelke menanyakan hal yang sama berkali-kali, ia tertekan.

"Secepatnya. Sekarang sarapan dulu. Kamu lemah." Mama Aelke membantu putrinya untuk bangun dan bersandar di kepala ranjang. Semalaman tubuh Aelke demam dan ia masih sering menangis.

Aelke menggeleng, ia tidak nafsu makan sama sekali. "Harus makan, inget bayi kamu? Dia butuh asupan makanan untuk hidup dan keluar pada saatnya, Aelke." ujar sang Mama tak menyerah. Aelke tertegun sejenak. Di perutnya ada malaikat, yang harus ia jaga sendirian meski berat. Bagaimana jika Aelke menginginkan ini dan itu saat Morgan tidak ada di sisinya?

"Ma, Morgan gak salah apa-apa." tukas Aelke begitu saja.

"Mama tau. Jangan pikirkan apa-apa dulu. Please."

***

Morgan kembali digiring polisi untuk keluar tahanan dan menuju ruang besuk. Ada Alfa dan Thomas membawa serta lelaki paruh baya yang dipercayai sebagai kuasa hukum Morgan.

"Ini Pak Haris, S.H. Beliau yang bakal urusin kasus kamu. Tolong buat kita percaya, kak. Kalo elo gak salah apa-apa." ujar Thomas.

"Gue gak ngelakuin semua tuduhan yang ditujukan ke gue. Apalagi soal restoran. Lo tau kan dimana bahan makanan selalu kita datengin." ujar Morgan, Thomas mengangguk.

"Gue udah liat semua bukti tuduhan soal penggelapan dana. Gue bakal bantu." tukas Alfa.

"Kita bisa mulai riset, ya?" tanya Tn. Haris, kuasa hukum Morgan. Morgan dan yang lainnya mengangguk. Mereka akan berjuang untuk semuanya asal Morgan bisa bebas dari tuntutan.

"Perusahaan ini, dimana kamu ikut andil?" tanya Tn. Haris.

"Disini saya hanya jadi notaris sebuah lembaga. Gak tau kenapa dituduh menggelapkan dana." jelas Morgan. Ia ingat jika nama perusahaan tersebut memang pernah ia bantu kelola, tapi itu dua tahun yang lalu.


***

Aelke duduk termenung di atas sofa bed. Entah memikirkan apa. Tapi sang Mama datang dan duduk di samping putrinya yang kalut itu.

"Ujian hidup selalu ada, sayang. Kamu pasti kuat." ujar sang Mama, Aelke hanya diam tak bergeming, menatap lurus ke depan, menakutkan jika anaknya lahir saat Morgan belum berhasil keluar dari tahanan.

"Ada temen kamu, katanya temen Morgan juga." ucap Mama, Aelke menoleh lemas.

"Siapa?" tanyanya.

"Gaara. Ngakunya sih Gaara namanya. Nah itu dia." ujar Mama Merry saat melihat Gaara mendekat dengan sekeranjang buah-buahan di tangannya.

"Turut prihatin atas apa yang terjadi sama Morgan ya, Ke." ucap Gaara memasang wajah sedihnya. Aelke mengangguk dan berusaha tersenyum.

Mama Aelke meninggalkan mereka berdua. Aelke memang sedang duduk bersandar di sofa bed ruang tengah yang berada di lantai dasar. Karena kandungan Aelke makin besar, Aelke tidak ditempatkan di lantai atas demi kesehatan bayi dan dirinya.

"Aku bawa Rainbow Cake, loh. Mau?" tawar Gaara berusaha menarik perhatian Aelke. Aelke menoleh sejenak saat Gaara menyimpan keranjang buah-buahan, lalu membuka kotak kue dan mengeluarkan Rainbow Cake dari sana.

"Gak mau, makasih ya." ujar Aelke menolak. Ia benar-benar tidak mau makan apa-apa.

"Serius? Enak banget, loh!" tukas Gaara tak menyerah, Aelke menggeleng. Tetap tidak mau. Jika Aelke makan enak, bagaimana suaminya disana? Apa dia makan enak juga?

Gaara tetap mengajak Aelke bicara sampai ibu hamil itu bisa tersenyum sedikit demi sedikit. Gaara lalu berpamitan pulang, dan berdalih akan pergi kerja ke restoran Morgan seperti biasa.

Saat Gaara hendak keluar, Rangga, Hana dan si kembar Zean Zein datang. Zean langsung berlarian mendekati Aelke bersama Zeinifa. Mereka sangat ceria dan berceloteh banyak di depan Aelke. Meski masih kecil, mereka mengerti apa yang Hana ajarkan di rumah tadi. Sesampainya di depan Mommy, mereka berdua harus ceria.

"Tadi itu siapa?" tanya Rangga pada Aelke. Bapak dua anak kembar ini duduk di pinggiran sofa bed.

"Koki di restoran Morgan, Ngga." jawab Aelke. Rangga terdiam mendengarnya, ia punya pikiran tidak enak pada sosok Gaara.

"Mommy, udah makan? Tadi Aa sama Teteh buat ini." Zean menunjukkan sekeranjang makanan yang mereka bawa. Ada banyak menu makanan, salah satunya Pisang Keju Cokelat kesukaan Aelke dan kedua anak kembar itu.

"Mommy gak laper, sayang." tukas Aelke menolak lembut, wajah Zein langsung merengut.

"Teteh buatnya pake cinta, sedih deh ditolak Mommy." ucap Zeinifa sedih, gadis bule ala Sunda ini menekuk wajahnya dengan kedua tangan, Aelke menghembuskan nafas gusar. Dan memperbaiki posisi duduknya.

"Suapin, ya? Mommy mau." ujar Aelke pada akhirnya. Hana dan Rangga hanya menonton. Tidak mengerti mengapa anak kembarnya begitu dekat dengan Morgan dan Aelke sudah seperti orang tua kandung mereka sendiri.

"Oke!" tukas Zeinifa antusias dan tangan mungilnya meraih sendok, memotong kecil pisang, lalu menggerakkannya sampai di depan mulut Aelke. Aelke membuka mulutnya perlahan, memakan suapan dari Zein.

"Aa juga mau suapin. Sini sendoknya, Teh!"
Zean merebut sendok yang Zeinifa genggam. Zein awalnya tak terima, ia ingin menyuapi Mommy-nya sendirian. Tapi Hana buru-buru melerai dan meminta keduanya bergantian.

"Aa, Teteh, Mama sama Papa mau jenguk Daddy. Mommy mau ikut?" tanya Zean, Aelke beralih menatap Rangga dan Hana meminta penjelasan pasti.

"Mau kesana, kak?" tanya Aelke, Hana mengangguk seraya tersenyum.

"Aku ikut." tukas Aelke antusias, Rangga dan Hana saling pandang, keadaan Aelke tidak baik kelihatannya.

"Kamu kan lagi lemes, Ael..." ujar Hana khawatir, apalagi pada kesehatan Aelke dan bayinya.

"Aku gapapa, kok." tukas Aelke berusaha terlihat segar. Aelke berdiri, ia merasakan mual seketika setelah beberapa potong pisang masuk ke dalam perut. Hana membantu Aelke berjalan menuju westafel di ujung tangga. Si kembar hanya duduk diam melihat Mommy-nya sakit. Mereka jadi merasa sakit.

"Papa, obatin Mommy, dong!" Zein menarik-narik lengan baju Rangga, Rangga tersenyum simpul.

"Kan Teteh mau jadi dokter, Teteh yang obatin, gimana?" tanya Rangga mengerling. Zein berbinar dan mengangguk senang.

"Kalo Aa mau jadi Pilot, bisa obatin Mommy?" tanya Zean, belum sempat Rangga menjawab, terdengar teriakan Hana dari arah tangga.

"Pa, Aelke pingsan!"


***

Baru saja Morgan hendak masuk kembali ke dalam sel, ia harus kembali keluar karena ada yang datang lagi. Jam besuk memang belum habis, Alfa sendiri yang mendapat kabar Aelke sakit tidak memberitahukannya pada Morgan.

"Lo ngapain kesini?" tanya Morgan datar saat melihat Audrey yang datang. Audrey tersenyum dan duduk di kursi tamu. Morgan ikut duduk disana dengan wajah datarnya.

"Santai, Gan. Gue prihatin, kenapa lo bisa sampe masuk penjara." ujar Audrey tersenyum miring. Morgan mendesis dan menatap tajam gadis di depannya.

"Lo di belakang semua ini, kan? Gak usah dok peduli." tukas Morgan berbisik, ada penjaga di dekatnya.

"Eh, asal tuduh bisa jadi fitnah, Gan. So, stop your judge!" ujar Audrey santai. Morgan langsung membuang nafas kesal.

"Kalo lo dateng kesini cuma mau ngomongin hal-hal gak penting, mending lo pulang! Lo manfaatin gue buat ikut urus perusahaan lo, udah gue jalanin. Tapi gue malah masuk sini. Lo mending gak usah muncul di depan muka gue lagi." ujar Morgan panjang lebar. Audrey hanya menyeringai saja mendengarnya.

"Flashdisk yang gue kasih ke elo mana?" tanya Audrey.

"Belom gue buka." singkat Morgan.

"Iya dimana?"

"Kenapa? Mau jebak gue lagi? Apa isinya, hah?" tanya Morgan kesal.

"Seloww mamen, sewot banget sih dari tadi. Gue mending pulang, deh. Selamat menikmati suasana dingin penjara, Morgan." Audrey berdiri dan membenarkan posisi rok pendek yang ia kenakan.

"Bagus, pulang sana!" usir Morgan. Audrey langsung pergi, namun ia membalikkan tubuhnya dan mengisyaratkan ibu jari dan telunjuk yang disatukan sampai terlihat seolah bicara 'Oke' dan setelah itu ia benar-benar pergi. Morgan menghembuskan nafas gusar.

Morgan kembali masuk ke dalam ruang tahanan. Kali ini jumlah tahanan bertambah dua orang menjadi lima orang bersama dirinya. Terbayang betapa sempit dan tidak nyaman tempat itu. Dingin dinding dan lantai polos tanpa warna itu adalah kesedihan mendalam bagi Morgan. Ia harus meninggalkan Aelke yang tengah hamil besar.

Apa Morgan bisa tidur di tempat seperti itu?
Tidak. Ia tidak bisa istirahat nyaman, hanya tidur sambil duduk, beberapa menit kemudian ia bangun. Berusaha tidur lagi, bangun lagi, dan seperti itu berkali-kali terulang.


***

Sudah tiga hari berada di tahanan, Morgan tidak melihat Aelke-nya datang lagi. Hampa memang, tapi itu yang ia mau. Aelke jangan sering-sering ke kantor polisi. Ia tidak mau calon bayinya merasakan kepedihan ayahnya yang berada di tempat memilukan.

Hari ini ada Dinda, Dicky, Bisma dan Rasya yang datang membesuk Morgan. Mereka semua berbincang untuk bisa mendatangkan saksi guna meringankan hukuman Morgan.

Bisma yang pernah bertemu dengan Audrey akan menyelidiki beberapa hal. Karena saat ini, yang dicurigai sebagai dalang dari semuanya adalah Audrey. Mereka harus mendatangkan saksi sebelum sidang pertama digelar.

"Gan, kita bawa makanan. Gue tau makanan disini gak akan enak." Dinda. Morgan tersenyum dan berterimakasih pada semua temannya.

"Makasih, ya." tukas Morgan lemas.

"Lo pasti jarang makan. 3 hari disini udah kurus begitu." ujar Dicky.

"Gausah sok mau ngalahin kebegengan gue, deh, Gan. Gue dari sananya begeng tapi seksi." timpal Bisma sambil terkekeh sendiri. Morgan hanya tersenyum tipis, kedatangan teman-temannya itu seolah menjadi pelipur lara meski yang ia rindukan adalah Aelke. Aelke istrinya.

Morgan jelas tidak tahu jika Aelke lemah saat ini. Ibu hamil itu jatuh sakit. Sakit fisik dan bathinnya.

"Pinjem telepon, boleh?" tanya Morgan pada Dicky.

"Mau telepon siapa?" tanya Dicky, ia khawatir Morgan akan menelepon Aelke. Alfa sudah berpesan jika Morgan harus tahu Aelke baik-baik saja.

"Aelke." jawab Morgan. Dicky langsung diam, Dinda menatap suaminya mengerti.

"Kenapa?" tanya Morgan curiga. Dicky mendongak dan memberikan ponselnya meski diikuti tatapan tak setuju dari Bisma dan Rasya.

Morgan menyambungkan nomor telepon Aelke, terdengar suara sambungan telepon disana.

"Hallo..." sapa Morgan. Ia tertegun mendengar suara siapa yang menggema di seberang sana.

"Teteh lagi sama Mommy? Teteh dimana?" tanya Morgan, Zeinifa yang mengangkat telepon Aelke.

"Oh. Nenek Merry ada, dong?" tanya Morgan. Zeinifa bilang sedang berada di rumah orang tua Aelke bersama Zean dan Hana. Sedangkan Rangga harus pulang dan menjalankan Klinik seperti biasa.

"Teh, Mommy mana? Daddy mau ngomong..." ujar Morgan. Dinda, Dicky, Rasya dan Bisma saling pandang. Takut bocah kecil yang belum mengerti apa-apa itu bilang jika Aelke sakit.

"Oh... Lagi bobo. Yaudah, kalo Mommy bangun, sampein salam dari Daddy. Miss you ya Twins... Salam buat Aa juga ya, Teh." Morgan menutup sambungan telepon setelah itu. Tinggal Dicky, Dinda, Bisma dan Rasya yang menghela nafas lega. Keadaan terkendali.


TBC...




Kritik dan sarannya ditunggu =)




#Mila @MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang