Rumah Kaca

1.6K 65 0
                                    

Morgan mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. Setelah konsultasi ke Rangga dan Hana lalu bermain dengan Zean dan Zeinifa, suami istri ini baru kembali ke rumah. Morgan tertegun, melihat Aelke yang malah murung di sisi ranjang. Dengan hati-hati, Morgan mendekati istrinya dan duduk di sebelahnya.

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Morgan, Aelke menundukkan kepalanya. Morgan menghembuskan nafas berat dan menyentuh pundak Aelke.

"Kenapa? Kok tiba-tiba jadi diem... Ganti baju, gih..." ujar Morgan lembut, Aelke beralih menatap Morgan seksama.

"Apa bener aku gak bisa punya baby twins?" tanya Aelke polos, Morgan menautkan kedua alisnya heran, tiba-tiba saja istrinya itu bertanya demikian.

"Siapa yang bilang, hm?"

"Buktinya, tadi konsul begitu." jawab Aelke murung.

"Kan itu ga pasti. Kita masih bisa berdoa, sayang..." ucap Morgan.

"Aku takut..." Aelke kembali menundukkan kepalanya dan itu membuat Morgan bingung. Sejak Aelke positif hamil, gadis itu banyak berubah keadaan hatinya. Ia bisa berubah mood yang awalnya riang jadi murung dalam waktu singkat.

"Takut kenapa?" tanya Morgan mengalihkan pandangan Aelke, dan mengangkat dagu istrinya perlahan.

"Takut kamu kecewa, kalo anak yang aku kandung bukan baby twins..." ungkap Aelke akhirnya, dan Morgan membolakan matanya.

"Kok mikir begitu? Aku gak mikir sejauh itu." tukas Morgan menahan tawa, sedangkan Aelke masih betah dengan wajah murungnya.

"Aku tau kamu pengen banget punya baby twins. Inget dulu waktu ngurus baby twinsnya Hana Rangga. Aku takut gak bisa wujudin kemauan kamu, takut kamu kecewa, dan ninggalin aku..." papar Aelke tanpa berani menatap Morgan padahal, Morgan tak sama sekali berpikiran seperti itu.

"Anak itu titipan Tuhan, gak bisa disetting sesuai keinginan kita, kan? Kamu salah anggapan. Aku emang pengen punya baby twins, tapi gak akan memaksakan kehendak." ujar Morgan dengan lembut menarik tangan kanan Aelke dan menggenggamnya.

"Jangan mikir yang enggak-enggak, ya, sayang. Mau anaknya satu, kembar dua, kembar tiga. Cewek atau cowok, aku terima dengan bahagia. Di perut kamu ada anak aku, yang ngandung anak aku itu kamu, dan itu udah kebahagiaan aku, gak harus sempurna, asal ibunya kamu, istri aku satu-satunya." jelas Morgan dengan wajah yang meyakinkan. Aelke tertegun dan mencerna ucapan suaminya, ia tersenyum dan balas menggenggam tangan Morgan.

"Terima kasih buat semuanya, Dear..." ujar Aelke menenang.

"Mending sekarang ganti baju, lekas tidur. Oke?" tukas Morgan dan Aelke menganggukkan kepalanya. Aelke bangkit, berjalan ke lemari dan memilih setelan piyama dengan warna biru muda, setelah itu ia ke kamar mandi.

Sepeninggal Aelke, Morgan keluar dari kamarnya dan beralih ke kamar sebelahnya. Kamar yang didesain menjadi sebuah ruangan kerja dengan galeri koleksi lukisan Aelke.

***

Setelah membersihkan wajah dan menyikat gigi, Aelke keluar dari kamar mandi.
"Kemana Morgan?" ujar Aelke, Morgan tak ada di kamar. Aelke menyisir rambutnya perlahan, dan mengelus perutnya yang masih datar.

"Semoga di dalem sini bukan cuma kamu, ya, sayang. Tapi kalian." gumam Aelke masih sangat berharap jika janin yang ia kandung adalah anak kembar.

Sudah pukul 23.00 WIB, Aelke belum bisa tidur, dan Morgan tak kunjung kembali ke kamar. Aelke beralih keluar kamar, melihat pintu ruangan kerja terbuka disana. Tapi Aelke memilih menuruni anak tangga dan membuatkan Morgan secangkir cokelat panas.

"Masih ada pekerjaan, sayang?" tanya Aelke yang sudah muncul di ruangan kerja dengan secangkir cokelat panas di tangannya.

"Duh kamu... Kenapa belum tidur? Repot-repot buatin minuman segala." ujar Morgan meraih minuman yang Aelke bawa. Aelke menarik kursi dan duduk di samping Morgan.

"Gak bisa bobo." celetus Aelke masih segar kedua matanya.

"Aku lagi beresin data keuangan restoran aja. Kamu bobo duluan, ya..." ujar Morgan melepaskan mouse laptopnya, Aelke menggeleng lembut.

"Aku temenin, nanti kita bobo sama-sama." timpal Aelke memerhatikan wajah Morgan yang sudah mengantuk. Morgan tersenyum tipis dan menyeruput minuman yang Aelke bawakan.

"Ibu hamil gak baik tidur malem-malem..."

"Tidur kan emang malem-malem.." celetuk Aelke, Morgan terkekeh.

"Jangan tengah malem maksudnya. Udah selesai, kita bobo, yuk!" Morgan mematikan laptopnya, lalu menggandeng tangan Aelke untuk kembali ke kamar.

Aelke dan Morgan sudah berbaring di ranjangnya. Lampu sudah dimatikan, namun Aelke belum mau terpejam.

"Kamu udah bobo?" bisik Aelke yang sedikit bangun lalu menatap Morgan yang sudah memejamkan mata, Morgan sontak membuka matanya lalu menatap Aelke heran, meski gelap, Aelke dan apa yang ada di hadapannya masih terlihat.

"Belum, kenapa? Gak bisa bobo?" tanya Morgan pelan.

"Temenin liat bintang sebentar..." ucap Aelke tiba-tiba, Morgan langsung menyingkap selimut dan duduk di hadapan Aelke.

"Liat bintang di luar maksudnya?" tanya Morgan meyakinkan.

"Emang ada bintang di dalem?" Aelke balik bertanya.

"Ada, bintang di dalem hati aku, ya kamu..." ucap Morgan, Aelke langsung tertawa mendengarnya.

"Gak usah gombal, deh. Ayo liat bintang!" Aelke langsung menarik tangan Morgan dan Morgan dengan susah payah menyeimbangkan langkah Aelke yang menarik-narik tangannya.

Mereka berdua sampai di balkon kamar lantai dua. Rumah Morgan dan Aelke memang hanya terdiri dari dua lantai, namun lengkap dengan kolam renang di lantai dasar yang terhubung langsung dengan taman kecil di belakang rumah.

"Bintangnya indah..." gumam Aelke berbinar-binar melihat banyaknya bintang malam ini. Sinar rembulan terlihat memantul dari kolam renang yang terlihat dari atas. Morgan ikut menengadahkan kepalanya menatap bintang-bintang dengan kedua tangan yang memegangi ujung pagar balkon.

"Morgan, aku minta sesuatu boleh?" tanya Aelke sambil terus menatap langit di atas sana.

"Boleh, minta apa, sayang?"

"Aku pengen bisa liat langit sambil tiduran di ranjang. Langit berbintang, atau langit hujan, dan semuanya bisa aku liat sambil beranjak tidur." ujar Aelke, Morgan tertegun, alisnya berkerut dan ia tak mengerti apa yang Aelke maksud.

"Gimana bisa?" tanya Morgan heran.

"Mau rumah kaca..." jawab Aelke sedikit merengek.

"Ini kamar kita ke balkonnya kaca semua, sayang. Ke kolam renang, dindingnya kaca. Di luar kaca, mau rumah kaca kaya gimana?"

"Atapnya kaca, biar bisa liat bintang tapi, gak harus keluar dan dingin-dingin begini." timpal Aelke, sepertinya ia mengidam lagi. Permintaannya konyol. Padahal rumah masa depan yang mereka tempati sekarang sudah didesain sesuai keinginan berdua.

Morgan menghembuskan nafas panjang, dan merangkul Aelke. "Dingin, ya. Aku coba penuhin permintaan kamu ya, sayang. Sekarang kita tidur..." ujar Morgan, Aelke mengikuti langkah Morgan menuju kamar mereka lagi. Morgan sudah sangat lelah, sedangkan Aelke belum mau tidur.

Morgan membaringkan tubuhnya, Aelke melakukan hal yang sama. Dengan sekali tarikan, Morgan berhasil membuat bad cover menutupi tubuhnya dan Aelke. Morgan memiringkan tubuhnya, berhadapan dengan Aelke dan mengelus lembut perut Aelke.

"Tidur, sayang. Have a nice dreams, ya..."

***

"Selama seminggu, kamu nginep di rumah Dinda ya. Temenin dia. Aku sama Dicky gak akan lebih dari seminggu kok, di Bandung," ujar Morgan sudah mengantarkan Aelke ke rumah Dinda dan Dicky. Ia dan Dicky ada proyek bisnis di Bandung dan harus menyelesaikan semuanya disana.

"Ael, jagain istri gue, ya. Dia lagi gak enak badan." ujar Dicky, Aelke mengacungkan ibu jarinya. Dinda melambaikan tangannya saat Dicky dan Morgan masuk ke dalam satu mobil yang sama. Suami mereka memang sedang merintis bisnis bangunan dari awal.

"Lo udah baikan?" tanya Aelke saat suaminya sudah pergi, Dinda yang masih pucat itu mengangguk dan mengajak Aelke masuk ke rumahnya.

"Temenin gue disini, ya. Akhir-akhir ini gue suka parnoan.." ucap Dinda. Dinda memang baru saja keguguran anak pertamanya bersama Dicky. Saat Dinda dan Dicky masih tinggal di apartemen, Dinda sering dihantui bayangan-bayangan aneh sampai ia terjatuh di tangga dan janin yang masih dua minggu itu tak bisa diselamatkan.

"Tenang aja. Asal jangan sedih terus, ya. Nanti pasti bakal hamil lagi." ujar Aelke tersenyum.
Dinda meraih ponselnya.
"Novia sama Ilham udah mau kesini katanya. Lo udah ke rumah barunya?"

"Belom. Di Kemang, ya?" tanya Aelke.

"Iya. Jadi lo besok pemotretannya disini. Gak sia-sia gue beli rumah eksotis begini. Lumayan si Ilham ngelirik, haha." Dinda tertawa renyah, Aelke mengeluarkan beberapa snack dari keranjang yang ia bawa.

"Lo jangan ngidam ya, Ael. Morgan kan lagi pergi..."

"Ngidam bisa diatur emang? Kalo gue ngidam, bantu gue dong..."

"Jangan yang aneh-aneh..."

"Palingan gue pengen makan bayi buaya, haha..."

"Gila lo!"

***

"Kenapa sih anak mama?" tanya Hana pada Zeinifa yang cemberut dengan bersedekap dada di depan Klinik.

"Mommy sama daddy pergi lagi, dan aku gak ada temen main lagi!" jawab Zeinifa kesal dengan bibir yang mengerucut ke depan.

"Mereka kan punya urusan sendiri. Main sama Aa Zean, yah." bujuk Hana, Zeinifa sontak menggeleng.

"Aa nakal. Endak mau!"

"Sama papa main keluar, yuk?" Rangga tiba-tiba sudah berada di depan Hana dan Zeinifa, gadis kecil itu memicingkan matanya, dan Rangga jadi kikuk sendiri.

"Kenapa teteh? Kok liat papanya serem begitu?" tanya Rangga menggoda.

"Papa kan sibuk obatin orang syakit... Mana bisa temenin teteh main.." ucap Zeinifa ragu, Hana dan Rangga terkekeh geli melihat ekspresi putrinya itu.

"Ada kakak-kakak suster. Kita ke taman depan, yuk! Waktu kecil, kamu sama Aa Zean sering diajak kesana sama mommy daddy..." ujar Rangga, Zeinifa langsung berbinar matanya.

"Iya, pa! Asik, ayo, pa!" Zeinifa melompat-lompat senang.

"Aa nya panggilin dulu, teh. Suruh ikut. Papa tunggu disini." Zeinifa langsung masuk ke Klinik dan mencari kakaknya. Hana tersenyum menatap Rangga dan siap dengan bekal makanan di keranjang. Piknik dekat maksudnya.

***

Novia memoles make up di wajah Aelke yang sudah mengenakan dress putih untuk pemotretan. Dinda datang memberikan katalog pada Novia.

"Si Reza masih di Bandung?" tanya Dinda.

"Iya. Dia bikin rumah disana. Gue sama Ilham buat redaksi cabang aja di Jakarta. Males di Bandung." jelas Novia sambil terus memoles wajah Aelke.

"Gimana rasanya jadi penganten baru?" goda Dinda. Novia terkekeh.

"Lo berdua juga kan penganten baru..."

"Ya baruan elo, lah!" sergah Aelke.

"Kita sama-sama pengantin tapi beda rasa. Haha..." Novia menepuk-nepuk tangannya setelah Aelke selesai dipakaikan make up.

"Si Bisma sama Rasya apa kabarnya, sih? Somse mereka." Aelke bangkit dan membenarkan dressnya.

"Tau, tuh. Mabok asmara kali.." timpal Dinda.

"Katanya Bisma selingkuh masa~" tambah Novia.

"Ah gak mungkin..." elak Dinda, Bisma selama ini lumayan setia pada pasangannya.

"Yo ah, mulai! Udah terik nih. Dinda, rumah lo kece juga, gue kontrak buat pemotretan beberapa edisi ya." ujar Ilham, Dinda sontak mengacungkan ibu jarinya senang.

***

"Nek, diminum dulu obatnya..." Thomas memberikan dua buah pil pada neneknya yang akhir-akhir ini sering sakit. Kesehatannya mulai menurun karena usianya yang sudah lebih dari setengah abad.

"Thomas, nenek bisa bertahan gak ya. Nenek mau liat cucu kesayangan dari Morgan..." ujar neneknya lemah. Thomas menghembuskan nafas gusar.

"Nek. Jangankan anaknya Kak Morgan, sampe aku punya anak pun, nenek pasti bakal liat." ujar Thomas menenangkan nenek kesayangannya.

"Nenek ngerasa udah gak tahan."

"Nenek harus bertahan. Demi Kak Morgan, aku dan semuanya." Thomas menaruh gelas bekas minum sang nenek, dan menggenggam erat tangan tua yang menenangkan itu.

"Nenek terhebat aku, orangnya kuat. Harus tetep kuat, sampe cucu dari Kak Morgan lahir, dari aku, dari Eric, dan nenek pasti gendong mereka semua." ucapan Thomas membuat sang nenek tersenyum.

"Jangan pernah bilang sama Morgan ataupun Aelke kalo nenek sakit, ya." nenek Morgan menangkupkan kedua tangannya di pipi Thomas, Thomas langsung mengangguk dan tersenyum menatap nenek kesayangannya.

TBC...


#Mila @MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang