Misteri

1K 47 0
                                    



Dont Copy Paste this Amateur Story!




"Siapa mereka?" Aelke gemetar, ia menyibakkan gorden ruang tamu untuk membiarkan sinar matahari masuk ke dalam rumah. Ia terkejut bukan main, ada beberapa orang yang mencurigakan di depan rumahnya sepagi ini. Aelke membalikkan tubuhnya, ia berlari kecil dengan dada yang bergemuruh takut. Ia menaiki anak tangga, harus secepatnya bicara pada Morgan, Morgan yang baru saja hendak turun mencekal lengan Aelke.

"Kamu kenapa lari-lari?" tanya Morgan heran, Aelke terengah-engah di hadapannya.

"Itu, Gan. Ada..."

"Ada apa?" Morgan berusaha menenangkan Aelke yang tegang itu.

"Ada, ada...." Aelke terbata-bata, Morgan akhirnya mengambil inisiatif turun ke bawah tak menghiraukan teriakan Aelke untuk melihat keadaan. Baru saja Morgan menyembunyikan lembaran kaleng kosong di balkon tadi, Aelke di bawah ternyata malah ketakutan entah pada apa.

Morgan mengintip dari gorden luar, terlihat sepi. Ia beralih berjalan menuju pintu utama dan membukanya. "Hfftt...!" gusarnya pelan. Morgan membalikkan tubuh, ada Aelke disana yang masih terlihat takut.

"Sini...!" titah Morgan, Aelke mendekat perlahan. Morgan menarik pergelangan tangan Aelke keluar halaman rumahnya, Aelke berdiri mematung saat melihat dua orang yang ia takutkan tengah duduk santai bersama Mang Ujang dan terlihat menikmati kopi dipagi hari.

"Maaf aku lupa jelasin. Ini Arya sama Doni. Mereka aku ambil jadi bodyguard buat jagain kita dan rumah ini." papar Morgan menjelaskan, Aelke mendelik. Arya dan Doni mendekati Aelke dan berkenalan dengan majikannya itu.

"Kok gak bilang dulu, sih, mau ada bodyguard?" tanya Aelke kesal.

"Ini aku bilang..." sergah Morgan.

"Tapi kan harusnya niatan kamu itu dirundingin dulu sama aku." Aelke tak terima, tak lama, dari gerbang muncul seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana mendekati Morgan dan Aelke.

"Pagi, Tuan. Saya siap bekerja hari ini." ucapnya ramah, Aelke menautkan sebelah alisnya makin heran. Apalagi wanita itu membawa koper.

"Pagi. Iya silahkan bekerja. Nanti saya antar ke kamar kamu. Nah, sayang, ini bu Parmi, dia bakalan bantu-bantu kamu urus rumah. Temenin kamu kalo aku gak ada." jelas Morgan, Aelke menyalami wanita itu dengan seulas senyuman. Setelah itu, bu Parmi masuk ke rumahnya, Aelke langsung meminta penjelasan pada Morgan dengan tatapan kesalnya.

"Demi ketenangan kita dan bayi kita. Aku tau kamu gak bisa cium bau deterjen, dan lama-lama di deket tempat lembab," Morgan menjelaskan dengan hati-hati.

"Tapi aku masih bisa urus rumah sendiri!" sentak Aelke mengekori Morgan yang berjalan menuju rumahnya.

"Aku gak bilang kamu gak bisa urus rumah, kan? Kita butuh pembantu. Buat bantu-in kita. Bukan buat apa-apa, jadi please, kamu tenang." tandas Morgan.

"Aku gak mau kamu makan masakan orang lain!" pekik Aelke, Morgan menghentikan langkahnya.

"Oke. Aku tunggu sarapan buatan kamu." jawabnya santai, dan Aelke sangat terlihat kesal sekarang.


***

Morgan, pemuda itu mengamati keadaan restoran setelah beberapa hari tak sekedar menatap dunia luar. Ia berjalan kesana-kemari memastikan restorannya berjalan baik dan tanpa kendala. Restoran Sushi Tei di Jakarta adalah restoran kebanggaannya. Yang ia dapatkan dari hasil investasi uang jajan sekolah bersama rekan kerja samanya, Randi.
Di depan restoran, sudah ada tempat penukaran tiket paket makan untuk mereka yang menang kuis ringan dari restoran. Dan berkat itu, antusiasme para pecinta makanan khas Jepang itu makin banyak dan menjadi pelanggan tetap. Apalagi, Morgan dibantu Thomas, Eric dan beberapa koki handal untuk terus berkreasi dalam pengolahan makanan Jepang menjadi Indonesian taste.

"Thom, udah kelilingnya?" tanya Morgan saat berpapasan dengan Thomas yang baru selesai memakai seragam kebesaran restoran.

"Udah lah. Aman, lo tenang aja. Gimana, sehat?" tanyanya.

"Sehat gue. Makasih, ya. Bonus akhir tahun gue tambahin!" ujar Morgan, Thomas mengacungkan ibu jarinya ke atas.

"Eh, resto yang di sisi pantai itu lagi renovasi, kemaren ada angin kenceng. Untung uang kas memadai." jelas Thomas.

"Terus? Sekarang gimana?"

"Udah lumayan."

"Ya udah, entar siangan gue kesana." tandas Morgan yang setelah itu langsung berjalan menuju ruangannya.

Sampai di ruangan, seperti biasa, dipagi hari selalu ada Memo kecil menyambut disana. Morgan tak peduli, bahkan jika kemarin Aelke melihat Memo itu ada setiap harinya. Memo yang tidak penting, setidaknya itu menurut Morgan. Apalagi kata-kata yang datang hari ini, 'Missing you badly...'

Morgan memasukkan Memo itu ke laci sembarangan. Tentunya ia tak sadar jika Aelke memasang CCTV di ruangannya. Dan saat teringat koki baru, Morgan langsung beralih menuju dapur.

"Hai Tuan Winata, akhirnya ketemu juga!" ujar Gaara menepuk pundak Morgan yang mendekatinya.

"Haha, gimana kerja disini? Nyaman?" tanya Morgan.

"So pasti. Masak itu panggilan jiwa. Lo sendirian?" tanya Gaara, sepertinya ia berharap Aelke ikut hari ini.

"Sendirian. Emang harusnya gue sama siapa?" tanya Morgan heran.

"Kan biasanya istri lo yang kesini. Ah, ya. Gimana sama menu yang gue buat? Minat dipasarin? Gue masih punya banyak menu andalan, cobain semua sama lo." ucapnya antusias.

"Enak, eksotis. Nanti dah, minggu ini kita pasarin. Biar menunya didesain dulu sama Eric." ujar Morgan. Gaara mengangguk saja. Cukup lama mereka berbincang, sampai akhirnya Eric datang dan memberitahu Morgan jika ada Alfa mencarinya.

***

"Kapan kita mulai? Emang masalah besarnya apa?" tanya Morgan pada Alfa yang datang ke restoran dan minta bantuan Morgan untuk menyelamatkan perusahaan besar milik keluargnya dan Aelke.

"Saham..." jawab Alfa gusar.

"Tenang, lah, kak. Gue selagi bisa pasti bantuin. Gimana kalo sekarang aja kita ke kantor?" tawar Morgan. Alfa mengangguk dan menyetujui tawaran Morgan. Tanpa Rani dan mamanya tahu, Alfa dan ayahnya memang merahasiakan keadaan kantor perusahaan yang dikelola sejak lama. Ada beberapa masalah yang terjadi, dan banyak hal yang harus diselamatkan.

"Meskipun saham kita diujung tanduk. Gue mohon, jangan bantu gue sama saham yang lo punya, kecuali gue gak ada pilihan lain." ucap Alfa serius, Morgan mengerti, ia akan membantu Alfa sebisanya.

***

Jakarta, malam hari yang ramai. Bartender diskotik penuh saat ini. Bau alkohol menusuk hidung itu seolah menjadi keindahan tempat tersebut. Ada seorang gadis disana. Ia menunggu seseorang, dengan meneguk beberapa tetes minuman keras di depannya.

"Maaf lama nunggu..." gadis itu menoleh, lalu tersenyum.

"Gak lama, pesen minum aja dulu." ucapnya santai sambil merogoh gas kecil dan menghidupkan api di ujung puntung rokoknya.

"Ada perkembangan?" tanya pemuda di hadapannya.

"Santai, sayang. Gue sama lo harus sama-sama nikmatin keadaan ini." ucap sang gadis sarkastik dan terdengar mengerikan.

Pemuda di hadapannya tersenyum culas, ia juga membakar ujung rokok dan siap mengawan dengan efek nikotin yang dihisapnya, "Gak ada yang nikmat selain permainan ini, haha..."

Suara musik makin menggila. Bukan diskotik namanya jika tak ada hal-hal aneh yang terjadi disana.

"Mana dia? Jadi dateng?" tanya pemuda itu sambil mengepulkan asap rokok.

"Kita tunggu aja, berani apa enggak dia." jawab sang gadis, ia mulai mabuk saat ini.

"Oke, gue terima tawaran lo semua." gadis dan pemuda yang berbincang itu sama-sama menoleh saat ada seorang gadis lagi datang dan duduk di samping mereka dengan santainya. Ia tersenyum miring, diiringi gelak tawa kedua manusia di hadapannya.

"Gue pastiin, lo gak akan nyesel sama tawaran kita." ujar sang gadis, sampai gadis yang baru saja datang itu mengerling. Ada kejutan di depan sana.

***

Senja makin beranjak. Aelke duduk di sisi kolam renang seorang diri. Morgan belum pulang. Ia akan pulang larut malam karena pekerjaannya bersama Alfa. Tentu saja Aelke tak tahu alasannya. Yang ia tahu hanya ada kerja sama antara Morgan dan kakaknya, Alfa. Bukankah selama ini Morgan paling gemar bekerja sama?

"Neng, camilan sore..." Aelke tersadar dari diamnya. Ada bu Parmi yang sudah duduk di sampingnya dengan sepiring pisang keju cokelat yang menggoda.

"Makasih, bu. Beuh, lezat amat...!" tukas Aelke dengan wajah 'Pengen'-nya. Ia memandang pisang bakar yang terlihat melambai ingin dilahap. Apalagi lelehan keju dan cokelat yang lumer dengan asap mengepul mengudara. Aelke menatap piring itu seksama. Mencium aroma manisnya, sampai bu Parmi memandang majikannya itu heran.

"Dimakan dong, Neng..." tegur bu Parmi. Aelke terkekeh dan mengangkat sendok kecil yang tersedia.

"Ibu gak buat? Masa aku makan sendiri? Berdua aja, ya..." tawar Aelke, bu Parmi sontak menggeleng dengan seulas senyum tulus di bibirnya.

"Buat Neng aja..." ucapnya. Aelke tersenyum, menyendokkan sepotong pisang keju cokelat itu lalu melahapnya. Sensasi manis, gurih dan lezat menyatu di lidah Aelke sekarang. Sejak siang tadi Aelke kesulitan makan nasi. Ia akan mual jika nasi sudah hampir masuk ke mulutnya, dan saat ini, Aelke sangat menikmati makanannya. Ia lapar!

"Enak banget, bu. Makasih, yaaa..." ujar Aelke dengan mulut yang lumayan belepotan.

"Sama-sama, Neng. Masuk, yu. Ibu hamil pamali sore gini masih di luar." ajak bu Parmi ramah, Aelke langsung berdiri dan berjalan memasuki rumahnya.

***

Klinik sudah mulai sepi. Rangga melepas baju dokternya dan beralih menelepon Rafael. Rafael bilang, ada undangan seminar minggu depan. Dan Rafael meminta Rangga untuk menjadi pembicara di acara tersebut.

Setelah obrolannya dengan Rafael berakhir, Rangga mendekati kedua malaikat kesayangannya yang asik diajari baca tulis oleh Hana.

"Pa, aku bisa baca ini." ujar Zean menunjukkan sebuah buku ejaan anak-anak dengan gambar yang menarik.

"Coba baca, papa mau liat!" ujar Rangga. Zean duduk berhadapan dengan Rangga, lalu berusaha membaca apa yang ia bisa.

"A-ku, su-ka, bo-la." eja Zean terbata-bata. Rangga tersenyum melihatnya.

"Bo-la, bu-lat." eja Zean lagi. Zeinifa mengerucutkan bibirnya melihat Zean. Rangga menatap putrinya aneh.

"Teteh kenapa?" tanya Rangga lembut.

"Kok Aa bisa baca? Teteh endak bisa?" tanyanya murung. Rangga menghela nafas perlahan.

"Bukan enggak bisa, sayang. Teteh belum bisa. Sini mama ajarin." sergah Hana menarik lembut tangan Zeinifa. Mental anak itu tak boleh turun hanya karena melihat kakaknya lebih mahir membaca dari pada dirinya.

"Eja pelan-pelan. A... Be... Ce...." Hana menuntun Zeinifa mengenal huruf terlebih dulu. Karena secara kemampuan, Zean lebih unggul dari Zeinifa.

Rangga beralih menuju dapur setelah melihat kemajuan membaca Zean. Ia membuat segelas kopi panas untuk dirinya sendiri. Melihat tong sampah penuh, ia langsung membuka pintu belakang dan membuang sampah padahal hari sudah malam.

Baru selesai membuang sampah, Rangga melihat sosok mencurigakan. Seperti ada seorang lelaki yang berdiri di belakang pagar tinggi rumah Aelke dan Morgan. Rangga penasaran, ia mengendap-endap saat itu juga berbekal keberanian dan cahaya senter dari ponselnya.

Dengan gerakan mulus, Rangga bersembunyi di balik pohon belimbing halaman belakang rumahnya. Ia dengan jelas melihat lelaki misterius itu mencoba melakukan sesuatu. Ia berancang-ancang melempar sesuatu dari tangannya. Tanpa bisa mencegah, lelaki itu melemparkan sesuatu dengan cepat dan tak lama terdengar suara pecahan kaca dari rumah Aelke. Rangga geram, ia langsung berteriak dan berusaha mengejar lelaki itu.

"Woi! Siapa lo!" teriak Rangga, lelaki itu dengan cepat melompat dan berlari menjauh. Dan setelah lama berlari di gang sempit kompleks, Rangga kehilangan jejak lelaki misterius itu.

Tinggal Aelke yang ketakutan di rumahnya. Morgan belum pulang, bu Parmi berusaha menenangkan. Dan dua bodyguard yang dipekerjakan Morgan itu tengah berusaha mencari jejak lelaki misterius yang belakangan ini mencari masalah di keluarga kecil Morgan dan Aelke.

"Abis dari mana, pa?" tanya Hana saat Rangga kembali dengan tong sampah di tangannya. Ia gagal membekuk orang misterius yang ia lihat.

"Buang sampah, sayang. Yuk, masuk!" jawab Rangga setenang mungkin. Ia harus tenang. Ya, harus tenang.

TBC...







#Mila @MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang