Saat Aelke putus asa dengan semua masalah yang bergulir di kehidupannya. Ada secercah harapan yang berada dalam dirinya sendiri, bertahan untuk calon bayinya. Bayi yang pasti membutuhkan dirinya, meski Morgan entah kapan bisa terbebas dari jeruji besi.
"Mommy, gak bosen? Film Masha melulu.. Aku mau nonton Barbie..." Zeinifa yang sejak tadi menemaninya menonton DVD itu memprotes, sudah lima kaset DVD berbeda yang Aelke putar, semua yang diputarnya adalah kaset Masha and The Bear.
"Enggak. Teteh mau liat Barbie? Yaudah Mommy puterin. Tapi Mommy mau nonton di Ipad yang punya teteh. Ada Masha and The Bearnya, kan?" tanya Aelke mengulurkan tangannya ke depan Zein sambil menggoyangkannya seolah menagih sesuatu.
"Nih!" Zeinifa memberikan Ipad-nya yang full kartun, namun film Barbie terbaru hanya Aelke yang punya. Aelke meraih Ipad yang Zein berikan, ia lalu berdiri, mendekati DVD Player dan mengganti kasetnya dengan kaset Barbie terbaru yang dibeli secara online.
"Ini kaset buat teteh, deh." Aelke menyerahkan dua kaset DVD Barbie terbaru pada Zein yang belum pernah ia tonton sama sekali karena memang dipesan untuk Zein. Aelke juga memberikan dua kaset Games untuk Zean.
"Kalo yang ini buat Aa." Zean yang dari tadi sibuk main PSP menoleh dan bersorak riang. Ia punya koleksi kaset Games yang baru.
"Makasih, Mommy!" tukas Zean dan Zein bersamaan. Sejak Morgan ditetapkan sebagai tersangka dan resmi dipenjara, Aelke kembali ke rumahnya. Hanya Rani dan Alfa yang menemani Aelke, dengan dua bodyguard yang pernah Morgan pekerjakan.
Rangga sudah memperlihatkan hasil rekaman CCTV dari rumahnya ke polisi, namun bukti itu kurang cukup karena tidak begitu jelas. Begitu juga CCTV di ruang kerja Morgan, lebih banyak menangkap sosok Audrey yang masuk dengan cepat dan menaruh Memo disana.
"Kapan Daddy pulang?" tanya Zean sambil menghempaskan PSP-nya. Sepertinya bocah itu mulai bosan.
"Secepatnya. Aa doain dong!" Tukas Aelke tersenyum. Ia mulai cukup sabar, meski rindu datang menyerang setiap hari.
"Aa doain, kok. Teteh tuh enggak pernah doain Daddy aku." sergah Zean malah membawa-bawa nama adiknya. Zein yang tengah asik menonton Barbie menoleh dan langsung protes.
"Aa ngapain panggil-panggil Teteh? Emang kalo Teteh doain Daddy harus bilang-bilang?" cerewet Zein mulai kumat. Aelke hanya terkekeh, mereka berdua menghibur meski sering ribut sampai menangis.
"Mommy, kapan dede bayinya keluar? Aku mau liat. Dede bayi itu mirip aku apa enggak." Zeinifa mendekati Aelke dan mengamati perut Aelke meski tak mengerti. Yang ia tahu, Mamanya Hana selalu bilang dalam perut ibu-ibu besar yang datang ke Klinik, ada bayi yang akan keluar. Zein selalu melihat ibu-ibu itu mengerang sakit, mengaduh, menjerit-jerit dan beberapa saat kemudian terdengar suara tangis bayi yang lucu. Di Kliniknya, hampir setiap hari banyak ibu-ibu yang melahirkan.
"Masa mirip Teteh? Emang Teteh ibunya?" tanya Aelke, Zeinifa terlihat berpikir, tapi sepertinya ia memang tak mengerti.
Berceloteh dengan Zein dan Zean selalu menyenangkan meski keduanya sering juga membuat Aelke kesal saat mereka berdua ribut dan menangis sama-sama.
Ponsel Aelke berdering, ada telepon dari Hana. Aelke menempelkan benda pipih kotak itu di telinganya setelah menekan tombol hijau dengan gambar telepon menelungkup.
"Teh, Aa, udah ditelepon Mama Hana, disuruh pulang." Aelke mendekati Zean dan Zein. Mereka berdua terkesiap, berdiri dan menenteng kaset DVD yang Aelke belikan.
"Makasih banyak Mommy. Ai laf yuu..." Zeinifa berjinjit dan mengecup pipi Aelke dengan bahagia, giliran Zean yang juga mengecup Aelke.
Mereka berdua Aelke antarkan sampai ke depan Klinik oleh Aelke. Perut Aelke makin membesar, tinggal menunggu waktu dalam hitungan hari, atau minggu untuk melahirkan anaknya ke dunia.
Aelke kembali ke rumahnya, berpapasan dengan Rani dan putrinya Aira. Kakak iparnya itu tersenyum manis, Aelke gemas melihat Aira yang juga sudah pintar berjalan dan berceloteh ini dan itu.
"Kakak ke Klinik dulu, ya. Mau beli vitamin buat Aira, sekalian periksa giginya dia. Mumpung deket Klinik." jelas Rani, Aelke mengangguk dengan senyuman di bibirnya.
"Jangan kemana-mana, ya. Kakak gak akan lebih dari setengah jam."
"Sip. Selamat periksa gigi dede Aira yang cantik ponakan Tante..." Aelke mengecup gemas pipi Aira yang gemuk dan merona itu. Mirip seperti kakaknya, Alfard.
Rani dan Aira berjalan kaki menuju Klinik yang memang bersebelahan dengan rumah Morgan Aelke. Tidak perlu waktu lama, hanya beberapa langkah saja. Klinik Anak Sehat 24 jam yang sudah mulai maju dikelola pasangan suami istri yang keduanya dokter handal.
Aelke memasuki rumahnya lagi dengan jalan yang lambat. Perutnya mulai memberat diajak berjalan, ia duduk di ruang tengah, sudah jarang ke lantai atas karena harus menjaga kesehatannya demi si calon bayi.
"Mama gak akan ngasih kalian nama, harus ada Papa disaat kalian lahir, dan Papa harus kasih kalian nama. Baik-baik ya, sayang."
Aelke mengelus perut besarnya dengan penuh kasih sayang. Ia masih menganggap anak di dalam perutnya kembar sampai menyebutnya 'Kalian'. Entah bagaimana, jika Morgan belum juga keluar saat anaknya lahir. Itu adalah kepedihan mendalam.
Pintu depan terdengar diketuk, Aelke menghembuskan nafas malas, ada saja yang mengharuskannya berjalan, padahal perutnya sudah lelah dibawa kemana-mana.
Aelke bangkit pelan, ia berjalan ke pintu utama dengan hati-hati. Ia memutar handle pintu dan membukanya. Jantung terasa berdetak lebih kencang, Audrey sudah kembali datang, ia pasti menanyakan hal yang amat membuat Aelke bingung setengah mati.
"Awas! Gue mau masuk! Cepetan...!" Audrey menyingkirkan tubuh Aelke tak begitu kasar, ia langsung masuk ke rumah Aelke dan celingukan kesana-kemari.
"Gimana? Apa jawabannya? Lo gak mau nunggu anak lo lahir, dan Morgan belum juga keluar, kan?" tanya Audrey tanpa basa-basi.
Wanita itu dengan lancang pula duduk di sofa bed yang selalu Aelke tempati akhir-akhir ini.
"Gue belum tahu. Apa gak ada pilihan lain? Dia suami gue. Gue gak mau kalo harus berbagi suami ataupun cinta sama lo!" sergah Aelke. Audrey tersenyum menyeringai mendengar jawaban Aelke. Ia seolah tengah memerhatikan kuku-kuku indahnya yang terbalut kutek mahal warna blink-blink. Ia mendongakkan kepalanya lalu terkekeh.
"Oke, jawaban gue terima. Tunggu sampe belasan bahkan puluhan tahun lagi. Morgan gak akan keluar!" tukas Audrey sarkastik. Ia bangkit dan mendekati Aelke yang tercekat mendengar hukuman belasan atau puluhan tahun yang dijatuhkan pada Morgan. Bagaimana nasib ia dan anaknya jika seperti itu? Aelke ingin menjerit saat ini juga.
Aelke hanya memerhatikan tingkah Audrey yang mengintip keluar dari jendela rumah Aelke yang sebagian terbuat dari kaca. Ia seolah mengendap-ngendap dan melihat sesuatu di luar. Aelke hanya diam, entah apa yang dipikirkan wanita menyebalkan itu. Audrey membalikkan tubuhnya, menatap Aelke yang perutnya sudah siap meledak beberapa hari lagi.
"Permintaan gue yang ini, harus lo penuhi! Seenggaknya Morgan lo gak akan sampe membusuk di penjara!" Audrey menatap Aelke dengan sorot mata tajam yang mengkilat-kilat. Aelke mulai gemetar. Apa lagi ini?
***
Meski sudah terhitung bulanan mendekam di penjara yang dingin dan seolah kejam tanpa kehangatan, Morgan belum juga bisa beradaptasi. Selain frustasi, bingung dan ingin keluar, Morgan akhirnya jatuh sakit. Pagi tadi ia ditemukan pingsan di kamar mandi penjara yang bau dan tidak terawat itu. Tim medis tahanan segera membawa Morgan. Sampai saat ini ia belum membuka matanya. Apa Aelke tahu?
Akhir-akhir ini Aelke jarang menjenguk Morgan. Karena kehamilannya tidak lagi memungkinkan untuk bolak-balik ke penjara dan Morgan memang melarangnya. Ia bersikeras tidak mau calon bayinya mengenal ayahnya pernah masuk penjara.
Ny. Eliz kebetulan memang datang hari itu untuk menjenguk. Ia terkejut mengetahui Morgan sakit dan sampai pingsan. Putra sulungnya lemah tak berdaya. Ny. Eliz sampai menitikan air mata, ia yakin putranya tak bersalah. Semua yang terjadi adalah fitnah!
Beberapa jam tak sadarkan diri, akhirnya Morgan membuka mata dalam lelah. Kelopak matanya terlihat gelap dengan kantung mata yang melebar.
"Kamu gak apa-apa, sayang?" sang Mama langsung mendekati Morgan dan memeluk putranya dengan penuh kasih sayang. Ia sangat takut Morgan tidak bisa bertahan dalam masalah-masalah yang melingkupi hidupnya saat ini.
"Ma-ma..." gumam Morgan terbata-bata. Sorot matanya sangat lemah.
"Ini Mama. Kamu kenapa? Mana yang sakit?" tanya Ny. Eliz dengan gusar.
"Aku gak apa-apa. Cuma kecapean aja. Aku dimana, Ma? Apa aku udah bebas?" pertanyaan Morgan cukup melantur, Mamanya sontak menggeleng dan hampir menangis. Tapi Morgan dengan cepat duduk di ranjang perawatan dan memeluk Mamanya lagi.
"Gak perlu nangisin aku, Ma. Aku gak apa-apa." ujar Morgan menenangkan.
"Ma.."
Ny. Eliz mendongak saat Morgan merenggangkan pelukannya. "Kenapa, sayang?"
"Apa Aelke aku baik-baik aja? Gimana keadaan calon bayi aku? Aku rindu mereka." ucapan Morgan membuat Ny. Eliz terdiam sejenak, ia lalu duduk di kursi yang bersebelahan dengan ranjang Morgan.
"Dia baik, sayang. Abis dari sini, Mama mau ke rumah kamu. Mau ikut jaga Aelke. Takut-takut udah harus melahirkan." paparnya lumayan pelan.
"Aku mau ada di samping dia saat berjuang lahirin anak aku."
"Semoga bisa. Doakan bisa, ya."
"Ma, Morgan rindu nenek."
"Mama juga begitu... Nenek pun pasti rindu kita disana,"
"Saudara Morgan?" seorang dokter medis tahanan itu masuk ke ruangan rawat Morgan.
"Ya, ini putra saya Morgan, dok. Apa dia baik-baik aja?" tanya Ny. Eliz buru-buru.
"Morgan terkena gejala typus. Ini obat yang harus diminum. Ketika keadaan Anda lebih baik, Anda harus masuk tahanan kembali. Terimakasih..." dokter itu memberikan obat kepada Ny. Eliz. Morgan tahu, itu obat-obatan dosis rendah, meski tak se-intensif dokter kepercayaan Morgan, Morgan bertekad untuk sembuh. Bagaimana ia bisa mengusut masalahnya sendiri dalam sakit?
Morgan duduk dengan gusar, melihat semua obat yang harus ia minum. Terbayang wajah Aelke-nya. Yang selalu membawakan obat saat ia sakit. Kali ini, tidak ada.
TBC....
Maaf ngaret, hari ini sampe End, kok. Kritik dan saran yaaa =)
@MilaRhiffa
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Baby Twins (Baby Twins III)
RomanceWarn: Masih berantakan (Banyak bagian yang harus diedit tapi belum, maafkanlah. 😂) Aelke Mariska yang sudah resmi menyandang status sebagai Mrs. Winata memiliki impian terbesar, ia ingin melahirkan anak kembar seperti Zean dan Zeinifa. Namun ternya...