4 month

1.1K 53 0
                                    


Dont Copy Paste this Amateur Story!






Bayi di perut Aelke sudah berusia empat bulan. Rencananya, hari ini ia akan mengadakan syukuran dan makan malam bersama keluarga dan teman-teman dekatnya. Morgan sendiri memperketat penjagaan rumah karena akhir-akhir ini teror selalu berdatangan dengan cara berbeda-beda. Seperti 3 hari yang lalu misalnya, ada bangkai tikus mengambang di kolam renang milik Morgan dengan tulisan-tulisan ancaman. Dan Morgan harus bisa menekan semua kemungkinan buruk yang terjadi untuk kelangsungan acaranya.

Aelke sudah bersiap diri. Ada Alfa, Rani, keluarganya dan keluarga Morgan berkumpul di rumah Aelke. Semuanya mulai disiapkan apalagi makanan. Semua sepakat untuk memasak langsung makanan yang akan disajikan, tidak ada makanan cathering.

Morgan memberikan beberapa lembar uang pada Aelke. Aelke akan belanja bersama Rani dan mama Morgan ke pasar tradisional dekat restoran Morgan. "Hati-hati di pasarnya ya, sayang..." ujar Morgan pamit ke restoran terlebih dulu, Aelke mengangguk dan pagi itu Morgan memberikan kecupan hangat untuk istri tercintanya.

***

Zean dan Zein tengah asik bermain bola-bola di kolam kering yang Aelke dan Morgan miliki. Mereka tidak main berdua, karena sudah ada Aira putrinya Rani dan Alfa, juga ada Arfa jagoan Rafael dan Irma. Mereka sudah berkumpul di rumah Aelke untuk meramaikan 4 bulanan kandungan Aelke. Aira yang sudah bisa berjalan itu antusias menyeburkan dirinya sendiri di banyaknya bola warna-warni. Sedangkan Arfa yang baru bisa merangkak dan duduk masih dipegang Irma bermain bola disana.

"Arfa cepet bisa jalan dong, sayang!" tukas Rafael mencubit putranya gemas. Jagoan kecil itu melompat-lompat antusias meski masih dipegangi Irma bagian tubuhnya.

"Om, lempar bola itu!" teriak Zean pada Rafael, Rafael beralih menatap sebuah bola yang lebih besar dan melemparkannya perlahan kepada Zean. Sedangkan Zein, asik mengajak Aira bermain lempar-lempar bola satu sama lain.

"Aira, tau endak ini warna apa?" tanya Zeinifa polos, Aira menatap bola yang dipegang Zeinifa dengan seksama. Ia mengerti, namun sepertinya tak tahu. Rani terkekeh melihatnya.

"Teh, Aira kan belom bisa ngoceh secerewet kamu, teh!" tukas Rani. Rafael dan Irma ikut tertawa melihatnya.

"Wah, teteh pinter dong ante?" ucap Zeinifa, Rani mencubit gemas pipi putri pasangan Rangga dan Hana itu, "Teteh mah pinter dong, siapa dulu tantenya..." timpal Rani.

Rafael mengajari Arfa berjalan dengan kedua tangan yang menahannya. Arfa selangkah demi selangkah berjalan meski masih dibantu. "Awas, jagoan charming mau lewat!" tukas Rafael. Arfa tertawa menggemaskan dan kaki mungilnya itu menendang bola yang kebetulan tepat berada di depannya.

"Yang jagoan mah Aa doang tau, Om!" sergah Zean membusungkan dada kecilnya. Hana yang kebetulan baru datang mencolek gemas hidung putranya. "Pede banget Aa..." ucap Hana.

"Ih, Aira nyebelin. Bola pink punya teteh tau!" Zein merebut paksa bola pink yang sejak tadi dipegang Aira. Aira sontak murung dan mulai menangis.

"Teh, udah gede ngalah, dong! Dede Aira nangis tuh! Diomelin om Alfa, loh!" Hana berusaha membujuk Zeinifa untuk mau menyerahkan bola pink pada Aira. Namun bukan Zein namanya jika keukeuh pada pendiriannya. Zein lumayan sulit dibujuk jika sebuah barang sudah didaulat miliknya oleh dirinya sendiri.

"Punya teteh, ma. Bukan punya Aira. Kan mommy buat kolam bolanya buat teteh..." sergah Zeinifa merengek. Ia mempertahankan bola pink yang menurutnya hanya miliknya.

"Teteh enggak mama ajak sekolah deh kalo nakal!" ucap Hana masih membujuk, Zein mengerucutkan bibirnya. Ia langsung melempar bola pink tadi sembarang arah. Ceritanya ngambek.

***

Acara berlangsung khidmat. Semua sanak keluarga datang termasuk teman dekat Aelke dan Morgan. Begitu juga Willy dan Nanda. Mereka datang berdua dan seperti biasa, mereka kompakan memakai baju yang serupa.

Aelke dan Morgan saling berbisik saat acara selesai. Keduanya terkekeh karena bisik-bisik mereka sendiri. "Lucu ya, sampe begini..." tukas Morgan terkekeh, Aelke ikut tertawa kecil. Tak menyangka berjodoh dengan Morgan. Dan semua teman dekatnya sudah miliki keluarga juga.

Rafael memerhatikan Morgan dan Aelke sejak tadi. Ia terharu, pasangan getir itu akhirnya bersatu meski jalannya terjal berbatu. Rafael tahu sekali kisah Aelke dan Morgan. Sampai Tuhan ternyata menjadikan Irma sebagai pendamping hidupnya setelah sekian lama Rafael mencari pelabuhan cintanya. Terlebih saat Ifa dijodohkan, meninggal, dan mempercayakan Arfa padanya. Sangat klasik kisahnya.

"Ini yang punya hajat bisik-bisik mulu masa~" ledek Rafael pada Morgan dan Aelke. Aelke hanya menjulurkan lidahnya.

"Kalo cuma bisikin ke Sigma-an gue sih gak usah bisik-bisik, cuy!" sergah Reza sambil mengepak kerah bajunya 'So Cool'.

"Gak usah kepedean!" tukas Morgan mencibir.

"Kapan nih Reza nyusul punya baby?" tanya Rani, Reza malah beralih menatap istrinya, Jessie. "Jessie sama gue lagi usaha!" tukasnya sambil terkekeh, Jessie hanya tersenyum mendengarnya.

"Gan, Aelke kalo ngidam serem, ye?" tanya Ilham, Morgan mendelik, "Serem banget. Pernah minta gue kawin lagi." celetuk Morgan begitu saja, Aelke langsung merengut.

"Enak amat jadi elo!" timpal Dicky cengengesan.

Dinda menatap Dicky lumayan kesal, "Kenapa baby? Kamu mau juga disuruh kawin lagi?" tanya Dinda sebal, Dicky terkekeh dan langsung merangkul Dinda, "Becanda, sih. Sensi amat nyonya muda-nya aku..." ucap Dicky.

***

Aelke menarik seutas tali seperti biasa jika hendak pergi tidur. Suasana bintang indah tak terlihat malam ini. Langit begitu mendung. Malah hujan sudah turun rintik-rintik.

Aelke berjalan sedih ke ranjangnya. Morgan masih duduk di sisi ranjang dan menatap Aelke heran. Setelah acara 4 bulanan selesai, gadis itu malah murung.

"Kenapa sih, sayang?" tanya Morgan. Aelke menekuk wajahnya, lalu mendekatkan dirinya pada Morgan. Morgan jadi kikuk sendiri, jarak wajahnya dengan Aelke kini hanya beberapa senti. "Kenapa, sih?" tanya Morgan lagi, hembusan nafas Aelke terasa menerpa wajahnya.

"Nanti anak kita mirip sama aku apa sama kamu ya?" tanya Aelke polos, gubrak! Morgan langsung tertawa mendengarnya.

"Apaan deh malem-malem ngelawak!" sergah Morgan, Aelke memicingkan matanya, ia merasa tengah bicara serius, bukan melawak.

"Mata aku sama kamu itu sama-sama sipit. Segaris kali ya anak kita..." ucap Morgan sekenanya, Aelke mengetuk-ngetuk dagunya sendiri. "Gak segaris, sih." tukasnya. Morgan mendelik, "Terus segimana?" tanya Morgan penasaran. "Setrip aja. Gak segaris. Wle!" Aelke menjulurkan lidahnya dan langsung beranjak ke ranjangnya. Morgan dengan gemas mencubit pipi Aelke. Aelke memeluk guling sekarang.

"Ceritanya sekarang lebih milih peluk guling dari pada aku?"

"Hft, dia udah tidur!" Morgan menggerutu kesal.

"Tidurlah dengan tenang. Mimpi di depan sana minta diwujudkan oleh kekuatan kita berdua. I love you..." Morgan mengecup kening Aelke, setelah itu ia ikut berbaring dan pergi ke alam mimpi.

***

Siang hari terik di rumah Dinda dan Dicky. Ini pemotretan ke sekian kalinya. Aelke dan Morgan berpose semesra mungkin untuk majalah Wedding edisi terbaru. Saat pertama kali diterbitkan, majalah tersebut laku keras karena publik melihat Morgan dan Aelke adalah pasangan serasi.

Ada yang beda pada Morgan dan Aelke kali ini. Mereka terlihat saling diam. Bukan tanpa alasan. Aelke melihat banyak sekali Memo di laci kerja Morgan, ia juga sempat melihat hasil rekaman CCTV selama beberapa hari. Terlihat ada seorang wanita yang selalu mengenakan masker jika masuk ke dalam ruangan Morgan diam-diam. Tidak terlihat siapa yang melakukan. Sangat tidak jelas meski sudah di zoom-in dan zoom-out berkali-kali.

Berbeda dengan Morgan. Ia diam karena lumayan kesal dengan Aelke yang malah makin dekat dengan Gaara jika tengah berada di restoran. Apalagi Aelke sering ikut masak dan membuat sushi sama-sama dengan lelaki itu.

Morgan berdiri menghadap kamera, Aelke meletakkan kedua tangannya di dada bidang Morgan dan berpose se-eksotis mungkin. Meski sama-sama diam, mereka harus tetap profesional.

"Senyumnya!" tegur Novia mendelik dari kamera yang ia pegang. Morgan dan Aelke sama-sama tersenyum menghadap kamera.
Ilham mengatur pencahayaan dalam pemotretan, menatap keganjalan antara Morgan dan Aelke. "Mereka kenapa, sih?" bisik Ilham pada Novia. Novia mengangkat bahunya tak mengerti, "Berantem kali mereka. Mereka kan dari dulu aneh..." timpal Novia.

Saat pergantian kostum, Dinda yang membantu Aelke memakai gaun saja merasa aneh. Aelke tak bicara apapun padahal, dia gadis cerewet. Aelke hanya diam dan menurut jika Dinda bicara ini-itu soal make up-nya.

"Ael, lo kenapa?" tanya Dinda hati-hati sambil memberikan high heels pada Aelke. Aelke menoleh, "Gue gapapa..." ujar Aelke. Aelke memakai high heelsnya. Ia berdiri, menata kembali penampilannya lalu berjalan ke tempat pemotretan. Disana sudah ada Morgan yang tidak sekedar menyapa Aelke sejak pagi tadi.

"Lo yang duduk..." ujar Ilham kepada Aelke, Aelke menduduki salah satu sofa, Morgan berdiri di belakang sofa.

"Gan, nanti rangkul Aelke dari belakang ya..." ucap Ilham, Morgan hanya mengangguk. Novia menyiapkan kamera, Ilham mengomando semuanya. Morgan merangkul Aelke dari belakang dan wajah Aelke menatapnya sedikit ke kanan.

"Oke, tahan!" teriak Ilham, Novia membidik momen itu.

"Senyumannya dong... Kenapa sih kalian..." gerutu Novia, Aelke dan Morgan sontak tersenyum. Kaku sekali pemotretan kali ini. Aelke menahan nafasnya, lalu ia hembuskan perlahan. Kenapa pria setampan Morgan menjadi suaminya? Aelke tak tahan dengan tatapan Morgan seperti tadi, meski hanya akting dan sekedar berpose saja. Tapi jika mengingat semua Memo di laci Morgan, Aelke benar-benar kesal.

***

Aelke melemparkan semua Memo yang ia ambil di restoran ke atas ranjang. Morgan menatap Memo-memo itu heran. Semua Memo yang selalu datang pagi hari itu Aelke bawa ke rumah.

"Dari siapa?" tanya Aelke datar.

"Aku gak tau!" jawab Morgan singkat.

"Kamu selingkuh?" Aelke menatap Morgan dengan tatapan mengintimidasi.

"Selingkuh? Gak ada untungnya buat aku."

"Jangan berbelit, deh. Itu semuanya dari siapa dan maksudnya apa? Sampe bejibun banget di laci kerja kamu." sentak Aelke memerah.

"Aku gak tahu. Itu gak penting, kan? Aku gak ngurusin apapun yang enggak penting." ucap Morgan. Aelke menatap suaminya itu kesal. Santai sekali, padahal Aelke sedang kesal.

Aelke berjalan keluar kamarnya dan langsung menuruni anak tangga. Morgan hanya diam saja saat Aelke keluar. Mungkin mereka berdua memang harus diam-diam berdua dulu agar semuanya tenang. Morgan beralih ke kamar mandi setelah Aelke benar-benar berada di lantai bawah.

Cahaya rembulan terlihat memantul dari permukaan kolam renang. Aelke mencelupkan kakinya. Mengelus lembut perutnya yang sudah mulai besar itu.

"Di dalem perut mama, kalian berdua, kan?" ucap Aelke, Aelke sangat berharap jika ia akan mendapatkan anak kembar, yang lebih menggemaskan dari Zean dan Zein yang pernah diasuhnya.

Aelke menggerak-gerakkan kakinya di dalam air, air jadi bergelombang dan sinar bulan yang terlihat disana menjadi cahaya bergelombang.

Setengah jam berada di sisi kolam, Aelke mulai merasakan hal aneh. Seperti ada yang mengawasinya. Suara jangkrik yang terdengar itu tiba-tiba terasa mencekam. Aelke beralih bangkit, mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru tempat. Halaman belakang yang menyatu dengan kolam renang itu seolah menyimpan misteri. Aelke baru ingat, ia harusnya tak sendirian di luar.

Sssssrrk!

"Apa itu!" pekik Aelke terperanjat saat ada suara seretan yang terdengar jelas. Aelke buru-buru masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya terhenti seketika saat lagi-lagi terdengar suara seretan.

Morgan yang melihat Aelke dari bawah langsung berlari kesana. Aelke terlihat ketakutan. Aelke berlari kecil meninggalkan kolam, namun seketika itu juga ada lemparan sebuah kotak yang mendarat dengan suara seretan yang keras. Kotak itu berhenti saat menabrak dinding rumah Aelke. Aelke menatap kotak itu nanar. Kotak yang menabrak dinding itu terbuka dan memperlihatkan isinya. Ada selembar foto disana. Aelke mendekat, hati-hati ia mengambil selembar foto itu.

Dengan nafas tertahan, Aelke mulai berkaca-kaca. Hatinya seketika sesak karena foto itu memperlihatkan Morgan tengah memeluk wanita lain yang terlihat seksi, dan tak jelas siapanya. Aelke gemetar, mengedarkan pandangannya ke semua tempat di rumahnya. Ada orang-orang yang berusaha menghancurkan keluarganya.

Morgan terengah-engah mendekati Aelke. Aelke beralih menatap Morgan, lalu menatap selembar foto di tangannya. Morgan jadi bingung sendiri, air muka Aelke berubah sendu dengan mata berkaca-kaca.

"Ka, ka-mu...." Aelke terbata-bata, Morgan mendekati Aelke dan merampas foto yang Aelke pegang. Morgan langsung merobek foto tersebut sedangkan Aelke sudah menangis tertahan sekarang.

Morgan merangkul Aelke, Aelke langsung menghempaskan tangan Morgan. Ia berjalan mendahului Morgan dan dengan cepat Morgan menarik tangan Aelke. Berapa banyak sesak yang harus Aelke terima sejak dulu, ia sadar memiliki suami yang terlalu tampan itu tidak selalu menyenangkan.

Dari siapa lagi teror-teror potret kedekatan Morgan dengan wanita lain? Aelke sudah sangat-sangat gerah. Morgan terus membututi Aelke sampai mereka berdua sudah di kamar. Morgan melihat jelas Aelke yang menangis. Pundaknya terlihat naik-turun dan itu membuat Morgan serba salah padahal, ia tidak melakukan kesalahan, kan?

Morgan menghela nafas perlahan, dan memeluk Aelke. Mendekap gadis yang tengah menangis itu dengan erat.

"Aku suami kamu. Tolong percaya aku, jangan orang lain." tukas Morgan memejamkan mata. Membiarkan Aelke menangis, mengeluarkan kekalutannya. Jika Aelke menangis karena foto tadi, itu karena Aelke menyayanginya. Morgan yakin, Aelke akan bertahan untuknya.



TBC...








#Mila @MilaRhiffa

Behind The Baby Twins (Baby Twins III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang