Chapter 2

4.6K 423 14
                                    

Hinata tidak terbiasa dengan perlakuan khusus. Semenjak penunjukannya sebagai persembahan, ia telah diperlakukan secara khusus selama berhari-hari. Kehadirannya di setiap waktu menjelang pagi di tepian sungai hanyalah sebuah awal. Hinata di sana untuk disucikan dalam aliran sungai. Bagusnya saat ini musim panas.

Baju lusuhnya ditanggalkan, dua orang wanita desa lalu membawa Hinata ke tengah sungai hanya dengan balutan selembar kain putih. Di sana ia diwajibkan membasahi tubuhnya hingga dagu dan bertahan melawan aliran sungai. Sekali lagi, bagusnya saat ini musim panas.

Dan karena musim panas pula Hinata harus menekuk lututnya demi mencapai ketinggian air yang ingin diraihnya. Sungai yang surut juga membuat Hinata berjalan lebih jauh ke tengah sungai.

Tapi ini tidak terlalu buruk, ini hanya mandi namun dengan proses dan tujuan penyucian. Hanya itu, selebihnya, ia hanya membasahi tubuhnya atas perintah pendeta.

Selesai dengan ritual paginya, ia diperintahkan untuk menghapal baris demi baris lagu sesembahan yang bertempo aneh. Selanjutnya saat matahari tepat berada di atas kepala, Hinata baru diperbolehkan makan. Menahan lapar tidak pernah menjadi masalah bagi gadis miskin itu. Namun yang tersulit adalah membaca. Hinata tak punya cukup nilai istimewa untuk memiliki hak membaca. Dia hanya anak petani, membaca diperuntukkan secara khusus untuk para bangsawan.

Belajar merupakan kendala pertama, yang kedua adalah tenaga pengajar yang tak pernah ramah.

Ketika malam akhirnya tiba, Hinata hanya diperbolehkan tidur di atas ranjang gantung yang tali tambang jeraminya disusun menyerupai jaring kasar tanpa alas. Dia bisa bertahan dengan itu.

Kuil yang letaknya jauh dari desa membuat Hinata merindukan rumah dan anggota keluarganya yang lain. Perasaan rindu menjadi hal terberat selama masa pengasingan ini.

Setelah dua minggu, Hinata akhirnya bertemu dengan seorang penjahit yang khusus didatangkan dari kuil utama di ibukota. Dia biksu bermata tajam yang bisa dengan cermat menentukan ukuran tubuh Hinata tanpa perlu mengukur. Jubah khusus untuk Hinata selesai dijahit setelah tiga minggu. Saat itu musim panas sedang masa puncaknya.

Jubah putih itu lebar dan serba tertutup. Untuk satu hari itu saja, saat Hinata mengenakannya, ia akan menjadi orang suci. Dan kemudian dia akan dibakar hidup-hidup. Hinata merasa miris.

Ada seorang cendekiawan yang sering membuat Hinata takut. Laki-laki tua itu sering menatapnya dengan pandangan mencurigakan yang bagi Hinata terlihat mesum. Terlepas dari posisinya dalam lingkungan masyarakat, tak ada yang tahu apa yang dipikirkan si tua bertubuh pendek itu. Kulitnya mungkin keriput, tapi mungkin semangatnya tidak.

Cendekiawan tua itu sering datang untuk mengunjunginya, duduk di sudut yang tepat agar ia bisa mengamati Hinata dengan lebih leluasa. Dia tidak pernah banyak bicara. Para biksu sering berhenti sejenak saat melewatinya, membungkuk dengan hormat dan menyebar senyum padanya. Mereka juga selalu menyediakan teh dalam teko tanah liat kecil beserta cangkir keramiknya. Harum aroma teh yang ringan bercampur dengan aroma tembakau yang kuat dari cerutunya.

Suatu senja saat Hinata tak diizinkan kembali ke kamarnya, ia tertahan di ruangan sendirian dengan si laki-laki tua. Hinata gemetar membayangkan apa yang bisa terjadi padanya bila ia ditinggalkan sendirian di sana.

Ruangan utama dengan langit-langit tinggi itu tidak berlapis dinding tebal. Pilar-pilar kayu berdiri membentuk kerangka utama ruangan seperti kebanyakan ruangan di kuil. Susunan papan membentuk dinding, dikombinasikan dengan pintu-pintu geser yang dipercantik lukisan penuh makna dan kisah.

Di udaranya selalu tercium aroma kertas dan tinta. Debu keemasan yang berterbangan di bawah sinar matahari menjadikan ruangan ini terasa hangat.

Namun semua itu tak lantas membuat Hinata merasa tenang. Khususnya setelah melihat si laki-laki tua bangun dan berjalan meninggalkan kursinya menuju Hinata.

Empress of the SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang