Chapter 3

3.4K 362 9
                                    

Dia memang terlahir dengan nama itu: Uchiha Sasuke. Tapi tak satu pun orang memanggil namanya secara langsung. Mereka terbiasa menyebutnya Pangeran.

Dulu saat Putra Mahkota masih ada, dia memang hanya seorang pangeran mengingat posisinya sebagai putra kedua dari Permaisuri terdahulu. Tentu, ada anak-anak lain dari para selir kerajaan. Namun tak ada yang bisa menandingi darah murni Putra Mahkota dan Pangeran.

Setelah menginjak usia sepuluh tahun, Sasuke resmi menerima nama Kibo no Miya yang berarti harapan. Nama lahirnya semakin terpendam dalam masa lalu. Orang-orang mulai memanggilnya dengan nama barunya yang juga merupakan bukti penobatannya sebagai penerus takhta kedua setelah Putra Mahkota.

Dan setelah Putra Mahkota menghilang, Sasuke melepas nama lamanya. Usianya enam belas tahun saat itu. Ayahnya mengadakan upacara meriah yang sebenarnya merupakan caranya melarikan diri dari kekecewaan. Masih lebih baik bila Putra Mahkota tewas dalam perang daripada kabur dari istana. Mereka melakukan pencarian, tapi selalu berakhir tanpa hasil yang memuaskan.

Dengan itu, Sasuke disematkan nama Nokutan no Miya sebagai peresmian posisi barunya menggantikan kakaknya.

Dia menjadi calon tunggal untuk posisi kaisar.

Dua minggu setelah ayahnya wafat, ia menduduki kursi takhta kerajaan sebagai kaisar. Namanya berubah menjadi Miryoku.

Tapi seperti yang dikatakan banyak orang; apalah arti sebuah nama?

Saat ini, bila ia melihat ke belakang ke masa lalunya, Sasuke tidak pernah terlalu memusingkan bagaimana orang memanggilnya. Entah itu Pangeran, atau nama-nama resmi kerajaannya yang lain.

Akan tetapi, ketika anak perempuan yang berdiri di hadapannya bertanya siapa namanya agar bisa ia selalu kenang, Sasuke tanpa ragu mengambil nama lahirnya untuk ia serahkan sebagai kenangan berharga. Lagipula dia hanya anak petani. Tak pernah ada anak petani yang punya kesempatan untuk memahami dunia lain selain dunia sempit mereka. Dan begitulah nama itu ia sebutkan dengan lancar. Begitu ringan seakan sehelai bulu baru saja terbang melayang di antara keduanya.

Sudah terlalu larut untuk meneruskan perjalanan. Sasuke sempat bertanya di mana rumah anak itu. Si gadis kecil menjawab letak desanya ada di balik gunung. Dari ibukota butuh waktu seharian dengan berkuda. Sementara waktu senja hampir berakhir.

Ia memutuskan untuk tinggal semalam di sebuah penginapan yang letaknya jauh dari lokasi penyelamatan. Masih di wilayah ibukota, tapi tidak terlalu menarik perhatian.

Sasuke bisa saja mengutus salah satu pengawal kepercayaannya meneruskan perjalanan bersama si anak yang kemudian diingatnya bernama Hinata. 

Bila memang dia memutuskan untuk mengambil jalan termudah, dia akan kembali ke istananya hanya dengan satu pengawal. Mereka berkuda, dan berada di ibukota. Kemungkinan diserang perampok sangat minim. Tapi Sasuke tidak memikirkan hal itu. Juga bukan tentang kursi di ruang takhta-nya yang kosong. Atau istana utama yang tertutup terlalu lama.

Tidak, yang Sasuke pikirkan adalah memberi Hinata waktu istirahat yang cukup sebelum memulai perjalanannya besok dengan Juugo. Sasuke tidak bisa mengantar anak itu secara langsung ke rumahnya. Dia seorang kaisar. Alasan itu dirasa lebih dari cukup.

Yang jadi masalah adalah pengaturan kamar.

Dua orang pengawal, seorang kaisar, dan seorang gadis petani. Ini bisa menimbulkan kecurigaan bila ia tidak pandai menciptakan pengalih perhatian.

Salah satu pengawalnya menghampiri meja registrasi. Mejanya terbuat dari kayu tebal. Kuas dan tinta berkumpul di satu sisi. Berdampingan dengan tumpukan kertas dan sebuah alat hitung konvensional yang berupa jajaran bola-bola kayu mungil. Pemilik penginapan merupakan seorang laki-laki tua yang tampak lelah. Kumis keperakannya tebal dan menutupi bibir atasnya.

Empress of the SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang