Terukage menahan tawanya. Sudah sejak tadi Sasuke bolak-balik di ruang kerjanya. Ekspresi wajah sang kaisar jauh dari kesan tenang yang biasa ia tampilkan. Keningnya berkerut, bibir bawahnya seringkali digigit. Kecemasan dan penyesalan terlukis dengan jelas dari tiap gerakan tubuh dan tarikan napasnya yang panjang.
Saat Sasuke berhenti melangkah, dia akan menoleh pada Terukage. Memandang kasim itu dengan pandangan yang seolah mengatakan, 'apa kau ini laki-laki mesum?'
"Kenapa kau tertawa begitu?"
Terukage memperdalam lekukan tubuhnya yang membungkuk. "Mohon ampuni kelancangan hamba, Yang Mulia. Terukage tua ini sungguh merasa bahagia."
"Bahagia? Kau sudah tidak waras, rupanya."
Terukage tersenyum, matanya berkedip senang. Namun karena kepatuhannya, ia membungkam mulutnya erat-erat.
Sasuke menarik napas begitu panjang sampai membusungkan dadanya. Ia merasa sesak tanpa alasan yang jelas. Dan akhirnya kalimat itu terlontar juga, "Kami melakukannya di lantai. Tanpa alas!"
Arah pandangannya tidak jelas, sang kaisar jadi terlihat seolah sedang berbicara dengan sudut ruangan yang tajam. Ia membayangkan lagi malam yang ia habiskan di Safir Timur bersama Hinata. Bagaimana segalanya bermula, bagaimana sebuah malam bisa terasa begitu menggairahkan, dan saat akhirnya ia terlelap, ada seorang gadis dalam pelukannya.
Namun pertanyaan yang paling ingin dihindarinya hanya satu. 'Apakah dia menikmatinya seperti Sasuke?'
Semalam terkesan seperti sebuah pemaksaan kehendak. Meski di lain sisi, Sasuke tak akan diputuskan sebagai pihak yang bersalah. Dia kaisar negeri ini. Apa pun yang ada di negeri ini berhak ia miliki. Tapi dengan pemahaman itu, Sasuke malah terpojok dengan menganggap dirinya sebagai pemimpin kejam yang tak berpikir panjang.
Habis mau bagaimana lagi? Ini adalah sesuatu yang tidak bisa dikendalikannya. Ia menginginkan gadis itu melebihi apa pun di dunia ini.
Entah karena pesona tersembunyinya, atau karena Hinata tidaklah sama dengan perempuan-perempuan yang pernah disodorkan pada Sasuke. Caranya melangkah masuk ke dalam dunia megah Sasuke seperti hewan liar yang menerobos pekarangan; tak terduga.
Tetap saja, sebagai laki-laki dewasa, Sasuke tak bisa merasa cukup hanya dengan satu pengalaman bermalam bersamanya. Dia menginginkannya lagi.
Kesadaran itu merenggut posisi terhormatnya dengan cepat. Sasuke harus rela memosisikan dirinya sebagai laki-laki ketimbang seorang kaisar bila yang dihadapinya adalah Hinata.
Dengan satu tarikan napas, bahunya menurun. Mata hitamnya yang gemilang tampak memudar dengan keraguan. "Aku ini binatang buas," desahnya penuh penyesalan.
"Yang Mulia adalah laki-laki," sahut Terukage. Tapi kalimatnya tidak cukup memberi Sasuke ketenangan yang ia cari.
Tiba-tiba Sasuke membalikkan tubuhnya. Ia berjalan dengan cepat ke arah kasim tua yang masih membungkuk dan tak bergerak di ujung ruangan.
Suaranya berubah menjadi bisikan, "Kau tahu di mana dia sekarang?"
Terukage mengangguk. "Hamba tahu, Yang Mulia."
"Di mana?"
"Di Istana Ibu Suri."
"Apa? Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau dia ada di sana?"
"Tenanglah, Yang Mulia. Anda tidak perlu merasa cemas. Beliau baik-baik saja."
"Baik-baik saja? Kau yakin? Ibu tidak akan melakukan apa-apa padanya, kan?"
Terukage menggeleng, lalu tersenyum.
Sasuke meluruskan punggungnya, bertahan beberapa saat sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangannya menuju Istana Ibu Suri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empress of the Sun
FanfictionREPUBLISHED.:Hinata-centric:. Dalam genggaman kekuasaan, Sasuke terbelenggu. Dalam ketidakberdayaan, Hinata berkuasa. Dalam limpahan kebebasan, Itachi mengorbankan segalanya. AU. SasuHina.