-Part 5-
The Rise and Fall
.
.
Mikoto tak sanggup melihat keadaan Sasuke yang terpuruk tanpa daya. Putra keduanya telah kehilangan banyak hal sebelumnya, dan sekarang dia juga harus kehilangan takhta.
"Ambil saja, aku tahu kau hanya seorang pengecut yang menyesal dan menginginkan kekuasaan."
Ia berdiri masih mengenakan jubahnya, tegap tak terbantahkan. Namun terperangkap dalam kurungan yang diciptakan enam orang prajurit pedang, anggota pasukan pribadi Tobirama.
Aula Utama seharusnya diisi dengan rencana penyusunan divisi khusus untuk melakukan investigasi pembantaian yang terjadi di Bangsal Jiwa pada malam kelahiran Pangeran. Para anggota dewan dan menteri resah bukan main. Keadaan yang tak terduga ini membuat semua orang cemas. Tak satu pun dari mereka yang menyangka pemberontakan telah lama terjadi. Dan pemberontakan ini, seperti yang sudah diduga, diakibatkan oleh perebutan takhta.
Perebutan takhta yang sifatnya sepihak.
"Kau tahu itu adalah hak lahirku."
Sasuke tak tahan dengan sikap kakaknya yang congkak. "Hak lahir? Kau membicarakan soal itu di sini? Saat ini? Sekarang? Tidakkah menurutmu ini sudah terlambat?"
"Tidak, sama sekali tidak," sahut Itachi tegas.
Ribuan prajurit yang loyal terhadapnya telah bersiaga di luar aula. Ratusan prajurit kerajaan lainnya tewas dalam usaha mereka membela Kaisar Miryoku. Dari segi jumlah pendukung, Sasuke telah kalah telak.
Pengkhianatan Tobirama yang paling menusuk jantungnya.
"Pergilah sekarang sebelum aku berubah pikiran." Itachi memandang Sasuke sekilas sebelum berbalik. Tatapan mata mereka yang berbagi darah sama, benar-benar berbeda. Keduanya berdarah kerajaan, keduanya memiliki hak menduduki takhta. Namun tak satu pun dari mereka yang merasa mereka bersaudara. Saat ini mereka berdiri dalam posisi yang bersilangan. Musuh yang juga saingan.
Mikoto memerintahkan anggota dewan dan para menteri untuk keluar. Dia tak ingin Sasuke dipermalukan lebih jauh. Semua laki-laki tak berdaya itu berhamburan tanpa pikir panjang. Prajurit membiarkan mereka pergi, yakin tak ada yang sanggup melawan kehendak Itachi.
"Apakah Anda sudah memikirkan tempat yang tepat untuknya, Paduka?"
Sasuke merasakan perih yang mendalam saat mendengar ibunya bertanya hal itu pada Itachi. Bahkan ibunya telah mengkhianatinya.
"Hamba rasa kastil di Osaka adalah yang paling tepat," lanjut Mikoto.
"Tolong, bawa dia pergi," kata Itachi, tak peduli membuang adiknya ke mana. Dia hanya ingin Sasuke tak lagi ada di sekitarnya.
"Kau sudah mendapatkan apa yang kaumau. Kau gunakan aku sebagai alat selama ini. Kau menikmati kehidupanmu di luar sana, dan aku terperangkap di sini."
Sasuke mulai melawan. Darahnya terasa mendidih karena amarah. Tapi dia tak ingin memperlihatkan emosi rendahan itu. Dia tak ingin dianggap kalah karena emosinya yang mungkin akan menjadi alasan kakaknya menganggap Sasuke sebagai laki-laki yang kekanak-kanakan.
Keluhannya bukan karena usia, keluhannya karena dia tak pernah diberi pilihan dalam keluarganya. Bahkan soal hak lahir. Dia tak bisa memilih untuk dilahirkan pertama. Sasuke menyadari itu, menerimanya dengan lapang dada, dan tak mengurusi masalah itu lebih lanjut. Dia enggan berlarut-larut dalam keterpurukan hanya karena dia dilahirkan sebagai putra kedua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empress of the Sun
FanfictionREPUBLISHED.:Hinata-centric:. Dalam genggaman kekuasaan, Sasuke terbelenggu. Dalam ketidakberdayaan, Hinata berkuasa. Dalam limpahan kebebasan, Itachi mengorbankan segalanya. AU. SasuHina.