Chapter 4

3K 369 23
                                    

Hempasan angin yang terasa asing membuat tubuh Hinata menggigil ketika laki-laki itu berlutut di dekatnya. Tubuh Hinata gemetar ketakutan. Dia telah salah perhitungan. Keberuntungan sedang enggan memihaknya.

"Kenapa?" suaranya yang berat dan dewasa teredam lapisan masker hitamnya. Mata gelap sosok misterius itu memperhatikan keadaan Hinata. "Kau kenapa?" tanyanya lagi.

Tangan kurus dan kotor terulur, lurus ke arah sang shinobi. Hinata menyerahkan tiga koin uangnya yang berharga. Mencoba untuk membeli nyawa dan pengampunan dari shinobi itu.

"Kau tinggal di sekitar sini?"

"M-maafkan saya, Tuan. S-saya pikir Anda orang lain."

"Kau tersesat?"

Hinata bungkam, hanya menggelengkan kepalanya.

Seorang anak perempuan tanpa pertahanan, tanpa perlindungan, yang tubuhnya kotor dan tak terawat. Tapi memiliki tiga koin logam yang bersih, juga terbuat dari perak. Dengan keadaan ini, shinobi itu sadar dia tidak sedang berurusan dengan seorang anak petani biasa. Dia bisa saja pencuri, atau seorang anak yang tidak bersalah yang sedang butuh bantuan.

Tapi dia bukan pahlawan. Dia seorang shinobi.

Seingatnya, hanya ada beberapa desa kecil di daerah perbukitan ini. Hampir semua orang tahu, daerah ini tanahnya kurang subur. Angin jarang membawa hujan. Secara geografis memang bukan lahan yang tepat untuk dijadikan area persawahan yang sempurna. Harus banyak menggunakan campur tangan manusia. Area ini lebih tepat bila digunakan sebagai area pemukiman. Airnya cukup bagus, tapi tanahnya terlalu berpasir untuk dijadikan lahan untuk bercocok tanam.

"Kuantar kau pulang."

Dengan kalimatnya, ia menolak untuk mendengarkan pendapat Hinata.

Hinata juga terlalu takut untuk memprotes keputusan shinobi bertubuh tinggi itu. Saat ini kesempatannya hidup semakin menipis bila ia melawan. Meski sebagian besar dirinya yakin, sang shinobi tak akan membunuhnya. Untuk apa membunuh anak petani?

Kuda diikat di bagian dalam hutan. Ia sengaja mencari petak tanah yang berundak dengan semak-semak tinggi. Bayangan pepohonan di sekitarnya akan menyembunyikan posisi kudanya dengan baik.

Demi mempercepat waktu, Hinata dia bopong seolah-olah anak itu karung beras di bahunya. Seperti yang ia duga, tubuh anak perempuan itu ringan. Dengan memfokuskan penggunaan chakra di kakinya, ia melompat tinggi. Pergerakannya seperti alunan nada angin yang menyatu dengan alam. Kegelapan yang menyelimutinya seakan membaur dengan cahaya senja yang semakin meredup dan menghilang.

Beberapa meter dari tanah, ia memilih satu cabang pohon yang kuat dan paling aman. Ia mengatur pijakannya dengan rapi, mengintai dalam diam.

Pemandangan yang ia temui sudah biasa ia lihat. Hal ini terjadi di mana-mana. Penduduk desa yang seharusnya menjadi perhatian utama justru dijadikan pihak yang paling dirugikan penguasa.

"Itu keluargamu?"

Suara pelannya melekat dekat di telinga Hinata. Posisi tubuh mereka yang saling berhimpitan membuat Hinata gugup. Bukan hanya ketakutan pada ketinggian yang tak pernah ia jangkau sebelumnya, tapi juga perasaan lain yang asing dan tak dikenalinya.

Hinata mengangguk, menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Keluargamu tidak akan mati. Orang-orang itu bisa kehilangan kepercayaan penduduk bila mereka membunuh keluargamu sekarang."

"Tapi ..."

"Kau juga tidak bisa kembali," lanjutnya dengan tegas. Laki-laki itu menarik napasnya, "Kau harus keluar dari desa ini."

Empress of the SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang