Chapter 10

2.5K 330 19
                                    



Hinata menunggu di serambi luar Mutiara Naga saat ia datang untuk kunjungan paginya menemui Kaisar. Ritual penghormatan yang setiap hari harus ia lakukan. Sudah lebih dari enam anggukan yang ia berikan pada biksu yang mondar-mandir di sekitar serambi yang sama. Hinata telah menunggu terlalu lama.

Bisik-bisik di sekitar istana telah menjadi perhatian utama Michi yang gagal mengubah keputusan Hinata kemarin. Para dayang yang berjalan melewati mereka memandang penuh arti, mengawasi lalu cekikikan setelah berjalan menjauh.

Wajah selir muda itu hari ini tampak kelelahan. Meski lapisan bedak telah dipadatkan Omasa untuknya dengan tujuan menutupi kelelahan di bawah matanya. Pipinya juga tampak pucat tidak seperti biasanya. Warna merah di bibir Hinata tampak seperti corengan dan bukan pewarna.

Dia tidak dalam kondisi terbaiknya.

Tubuh Hinata yang masih berdiri tampak goyah berkat tiga lapis kimono yang memberatkan bahunya.

Michi menangkap gerakan punggung Hinata yang tertarik saat ia melepas napas. Bahunya tampak sedikit berguncang ketika gadis itu mendongak.

Berdiri enam langkah di belakang Hinata, Michi bisa merasakan penyesalan yang besar mendorong Hinata untuk tetap bertahan, mempermalukan dirinya yang telah lama berada di sana, tak mendapatkan sedikit pun perhatian dari laki-laki yang telah membawanya masuk ke lingkungan istana.

Mungkin cinta bagi sang kaisar adalah sebuah benda mewah juga, yang tak seenaknya ia serahkan untuk diperlihatkan ke khalayak ramai. Tapi Michi sempat yakin, bahwa kaisarnya memang telah jatuh cinta. Karena itu, dia sangat senang saat tahu dia ditugaskan untuk menjadi dayang utama di Mutiara Emas dan melayani Hinata.

Michi telah membayangkan kesibukannya di Mutiara Emas. Mondar-mandir ke Dapur Istana memastikan hidangan yang paling tepat untuk disajikan saat Kaisar berkunjung. Atau mungkin memilihkan kimono-kimono besar yang ringan bila sang selir akhirnya dikaruniai anak. Seorang pangeran akan lebih baik.

Namun sepertinya, untuk saat ini, prediksi para menteri lah yang terjadi.

Hinata tak dipedulikan.

Dari arah paviliun luar, tampak Terukage bergegas menghampiri Hinata. Wajahnya memperlihatkan kecemasan yang tak disembunyikan. Keningnya berkerut, sementara tatapan matanya lurus tak berganti fokus dari Hoshako yang menantinya dengan gugup.

"Hoshako-sama." Terukage memulai dengan sebuah sapaan yang diiringi sebuah bungkukan penuh hormat. "Maafkan hamba," lanjutnya, menatap mata Hinata sesaat sebelum kembali menundukkan kepalanya. "Yang Mulia akan melanjutkan dengan Upacara Minum Teh bersama Permaisuri."

Michi nyaris mengambil satu langkah untuk mendekat. Tapi Hinata yang segera menyadari pergerakan dayangnya, mengangkat tangan kirinya, menahan amarah Michi yang kadang terlalu frontal untuk diurusi.

Bagaimanapun, Michi adalah seorang dayang senior. Kakak perempuannya pernah menjadi dayang utama saat Ibu Suri masih menjabat sebagai Permaisuri. Keluarganya memiliki keturunan yang baik. Dia dihormati seperti juga seluruh anggota keluarganya yang lain yang mengabdi pada kekaisaran.

Tak berapa lama setelah Terukage selesai mengatakan alasan kedatangannya, terlihat iring-iringan Permaisuri berjalan melewati paviliun luar. Mengisi koridor menuju serambi dalam dengan suara langkah dan desiran kimono mewahnya. Kakinya mengambil langkah-langkah kecil saat melewati Hinata dan rombongannya.

Terukage membungkuk dalam-dalam.

Hinata tak melupakan norma kesopanannya. Ia menundukkan kepala, merasakan hembusan angin yang menyebar aroma bunga dari tubuh agung Permaisuri.

Empress of the SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang